Singaraja, koranbuleleng.com | Anggarkasih Prangbakat yang jatuh setiap enam bulan sekali dirayakan masyarakat hindu Bali dengan melakukan upacara dewa yadnya. Hari raya yang jatuh pada Wuku Prangbakat, Saptawara Anggara, serta Pancawara Kliwon ini dimaknai oleh masyarakat hindu sebagai hari kasih sayang terhadap mahluk hidup yang ada di seluruh alam semesta serta pembersihan diri dan perenungan diri dari apa yang telah diperbuat dan apa yang akan direncanakan nantinya.
Anggarkasih Prangbakat ini dalam lontar sundarigama disebutkan bahwa, “Nahanta waneh, rengen denta, Anggara Keliyon ngarania Anggara Kasih, pekenania pengasianing raga sarira. Sadekala samana yogia wang amugpug angelakat sealaning sarira, wigenaning awak, dena ayoga wang apan ika yoganira, Betara Ludra, merelina alaning jagat teraya, pakertinia aturakna wangi-wangi, puspa wangi, asep astanggi muang tirta gocara”.
Yang Artinya antara lain adalah“Yang perlu diperhatikan ketika Anggara bertemu dengan Kliwon yang juga disebut sebagai Anggara Kasih. Anggara Kasih adalah hari untuk mewujudkan cinta kasih dan rasa kasih sayang kepada semua mahluk. Sehingga pada hari itu sepatutnya melakukan peleburan bencana, dan merawati diri dari segala kecemaran”
“Kecemaran yang dimaksudkan disini yakni kecemaran dari bhuana agung maupun bhuana alit. Pembersihan diri bisa dilakukan dengan cara melukat diri kita dari hati yang paling dalam. Serta bisa juga dilakukan dengan perenungan suci untuk memusnahkan kecemaran yang ada di alam semesta ini terutama kecemaran pikiran yang melekat dalam diri kita masing-masing karena hari ini merupakan hari yang sangat baik untuk melakukan peleburan” Jelas Dr. Dra. Ni Wayan Murniti, M.Ag. dosen pendidikan agama hindu di STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Ia menjelaskan bahwa umat hindu di bali sangat menghormati hari suci ini dengan selalu melakukan persembahyangan sesuai dengan kemampuannya, serta disesuaikan dengan desa kalapatra yaitu dengan mengadakan persembahyangan di tempat suci masing-masing untuk pembersihan bhuana agung dan bhuana alit. Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap pelaksanaan yadnya tidak bisa dipaksakan yang terpenting ialah melakukannya dengan tulus ikhlas.
Senada dengan Dr. Dra. Ni Wayan Murniti, M.Ag. salah satu dosen filsafat hindu di STAHN Mpu Kuturan Singaraja Ketut Agus Nova, S.Fil. H, M.Ag menyebutkan bahwa didalam wuku prangbakat dominan masyarakat Bali melaksanakan upacara dewa yadnya. Didalam pemujaannya Anggarkasih Prangbakat sudah barang tentu diutamakan itu ialah sikap saling menghormati sesama mahluk hidup yang merupakan ciptaan Tuhan baik dengan menghaturkan saka sidan berupa canang sari di kemulan, atau pejati di merajan maupun tingkatan upacara yang lebih besar.
Makna yang terkandung dalam wuku prangbakat ini selain sebagai hari kasih sayang juga merupakan wujud pembersihan diri, dan perenungan diri untuk melakukan intropeksi terhadap diri sendiri dari apa yang telah diperbuat serta apa yang akan direncanakan dikemudian hari. Anggarakasih merupakan payogan Ida Sang Hyang Ludra. Sedangkan untuk sarana yang digunakan dalam upacaranya adalah canang reresik, canang puspa wangi-wangian, menyan astanggi dan asap harum dihaturkan ke hadapan Dewa Sang Ludra.
“Jadi didalam Anggarkasih Prangbakat banyak masyarakat di Bali yang melaksanakan upacara melaspas atau pujawali karena di hari suci Anggarkasih Prangbakat dimaknai sebagai hari kasih sayang yang dapat membawa berkah didalam anggar kasih tersebut” Ujar Agus, Rabu 9 Februari 2022.
Dibalik ituada legenda yang dipercayai dibalik kesuian wuku Prangbakat, kata Agus. Wuku Prangbakat ini diceritakan dalam kisah Watugunung dan Dewi Sinta. Kedudukannya dalam wuku di kepercayaan Hindu berada pada posisi ke-22 dari 30 wuku yang ada. Wuku prangbakat mengambil nama dari anak Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta yang memiliki korelasi erat dengan wuku menail karena dalam kisahnya Raden Prangbakat merupakan saudara kembar dari Raden Menail. (*)
Pewarta : Made Wijaya Kusuma