Cakra Yadnya di Bali Berkontribusi Pada Perputaran Ekonomi Masyarakat

Singaraja, koranbuleleng.com| Kehidupan Umat Hindu di Bali salah satunya sangat identik dengan Upacara Yadnya, yakni sebuah kegiatan Agama Hindu dalam bentuk Ritual. Ada lima upacara yadnya yang dikenal dalam Hindu atau yang disebut dengan Panca Yadnya. Yakni Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya.

Putu Maria Ratih Anggraini

Ketika membahas tentang Upacara Yadnya, maka tidak bisa dilepaskan pula dengan sarana dan prasarana yang digunakan. Biasanya, jika sedang dalam masa persiapan, umat hindu mulai disibukkan dengan aktivitas untuk membeli berbagai sarana. Salah satunya adalah mempersiapkan buah. Hal itu biasa terlihat ketika menjelang pelaksanaan Upacara Dewa Yadnya, mulai dari hari Raya Purnama, Tilem, Saraswati, Pagerwesi, atau juga Galungan dan Kuningan. Beberapa hari sebelumnya terlihat pasar-pasar ramai oleh pembeli yang mencari buah-buahan.

- Advertisement -

Sebenarnya, jika semua Umat Hindu di Bali menggunakan sarana lokal, hal ini akan menguntungkan petani yang menghasilkan tanaman buah-buahan. Karena buah yang dihasilkan laku untuk dijual, bahkan sampai dengan harga yang mahal.

Akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Putu Maria Ratih Anggraini, M.Fil.H menyebut jika konsep Hindu sebenarnya berkontribusi terhadap perekonomian yang ada di masyarakat atau dengan kata lain ikut berkontribusi terhadap perputaran perekonomian masyarakat disebut sebagai konsep Cakra Yadnya.

Ia menyebut jika masyarakat membeli produk lokal sebagai sarana upacara yadnya, maka diyakini memberikan multipel efek bagi perekonomian.

“Inilah yang dimaksudkan perputaran Cakra Yadnya. Semua sarana lokal digunakan. Sangat membantu petani di Bali apalagi saat situasi seperti saat ini di tengah lesunya perekonomian,” jelasnya.

- Advertisement -

Ratih mengatakan, jika merujuk dalam pandangan Hindu, pemanfaatan sarana termasuk penggunaan buah-buah import untuk kegiatan Yadnya memang tidak disalahkan. Terlebih lagi dasar dari upacara Yadnya itu sendiri adalah tentang rasa tulus iklas.

Yang keliru kata Ratih, bila buah-buahan impor tersebut hanya dijadikan motivasi untuk pamer apalagi hanya ingin menunjukan identitas sebagai kaum yang ekonomi atas. Tentu hal tersebut tidak dibenarkan dalam ajaran agama Hindu.

“Kita paham semua, bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak pernah mengharuskan harus mempersembahkan ini dan itu. Beliau tidak pernah meminta agar umatnya mempersembahkan upacara dengan sarana yang selalu mewah dan mahal,” kata Ratih.

Menurut Ratih, jika merujuk pada satu sloka, disebutkan bahwa “Dengan sebiji buah, sekuntum bunga dan selembar daun, kau persembahkan kepada-Ku jika dengan tulus ikhlas maka akan Ku terima,”

Dari sloka tersebut sudah jelas bahwa Tuhan tidak pernah minta apapun dan dengan cara apapun kita menyembahnya, maka akan sampai kepada Nya. Namun karena kembali kepada rasa setiap individu, maka setiap orang akan berlomba-lomba mempersembahkan sesuatu yang terbaik dan terindah pada saat upacara Yadnya berlangsung.

“Dengan persembahan itulah kebahagiaan pada diri manusia akan senantiasa muncul. Tetapi alangkah baiknya, ketika buah lokal bisa kita persembahkan saat Hari Raya Galungan maupun hari-hari suci lainnya. Karena sangat membantu perputaran ekonomi masyarakat di Bali. Sehingga semua bisa merasakan dampaknya.” Ujarnya.

Walaupun Tuhan tidak pernah minta dan mengharuskan kepada umatnya untuk mempersembahkan sesuatu dan bahkan dalam kitab suci pun tidak ada menyatakan tentang keharusan suatu persembahan, namun dalam Bhagawadgita disebutkan bahwa Tuhan menciptakan manusia melalui yadnya maka melalui upacara yadnya pula manusia akan mencapai tujuannya.

“Oleh karena itu yadnya juga dimaksudkan sebagai cetusan rasa terima kasih, dalam pelaksanaan yadnya sarana pendukung yang tidak pernah lepas adalah upakara atau banten,” ucap Ratih.

Kemudian disisi lain Ratih melanjutkan, walaupun Tuhan tidak pernah mengharuskan umatnya untuk menghaturkan berbagai macam persembahan, tetapi karena rasa bhakti umat Hindu maka setiap orang akan berlomba-lomba untuk membuat banten.

“Selain itu adanya juga rasa syukur yang mendalam ke hadapan Beliau sehingga apa yang menjadi miliknya, itulah yang secara suci berlomba-lomba dipersembahkan. Maka akan muncul suatu perasaan yang kurang pas jika umat Hindu datang ke Pura tanpa membawa persembahan, minimal yang dinamakan canang,” pungkasnya. |K-RM|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts