Ternyata kekayaan Kabupaten Buleleng dalam hal objek pariwisata sastra tidak hanya selesai pada sejumlah tempat, peristiwa, dan permainan atau tradisi yang berhubungan dengan Babad Buleleng; Desa Kalianget, rute perjalanan I Nyoman Jayaprana dari puri menuju Teluk Trima; tempat-tempat yang berkaitan dengan A.A. Pandji Tisna; jejak Pantai Lovina dalam sastra; cerita Sampik dan Jayaprana di Desa Banyuning yang dijadikan lakon drama gong; dan Tejakula, sebuah desa di Buleleng Timur yang menjadi habitus epos Ramayana pada kesenian wayang wong.
Buleleng, khususnya Kota Singaraja memiliki destinasi pariwisata sastra yang tidak kalah penting: SMAN 1 Singaraja (SMANSA). Ini merupakan sekolah tertua di Bali dan Nusa Tenggara yang pada awalnya bernama Sekolah Menengah Atas Singaraja. Di sekolah yang berdiri tanggal 1 November 1950 inilah I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang terkenal dengan nama Putu Wijaya, sastrawan dan dramawan paling berpengaruh di Indonesia, dulu bersekolah. Sekolah ini menyimpan jejak Putu Wijaya dan berdaya tarik tinggi jadi tujuan kunjungan wisata, khususnya para pelancong sastra.
Jejak Putu Wijaya di sekolah ini dapat dipahami dengan menggunakan perspektif ilmu sastra pariwisata (literary tourism). Wisata sastra adalah praktik mengunjungi kota-kota dan situs-situs yang berkaitan dengan karya fiksi dan penulisnya. Menggabungkan sastra dengan pengalaman perjalanan dan budaya. Pariwisata sastra sama sekali bukan hal yang baru karena telah dipraktikkan selama beberapa abad. Penggunaan perangkat elektronik untuk berpartisipasi dalam pengalaman pariwisata sastra telah menjadi populer dan telah menambahkan beberapa cara baru pada bentuk pariwisata ini.
Minat untuk bepergian ke tempat-tempat yang terkait dengan penyair dan novelis tumbuh pada abad ke-19, ketika menurut catatan sejarah, para pelancong yang penasaran mulai mengunjungi rumah-rumah, kuburan, dan tempat favorit para penulis terkenal. Wisatawan juga mengunjungi situs dan begitu pun kota yang dijelaskan dalam puisi dan novel terkenal.
Wisata sastra mengajak pembaca untuk membuat pengalaman fiksi menjadi hidup. Wisata sastra memungkinkan wisatawan untuk membenamkan diri dalam budaya lokal, sambil meningkatkan pengetahuan mereka tentang penulis dan sastra.
Untuk memenuhi selera kelompok pelancong khusus ini, banyak kota telah memanfaatkan fenomena ini dengan menciptakan tur berjalan kaki dan bersepeda ke rumah penulis terkenal, tempat-tempat di mana mereka menulis, dan kedai minuman yang mungkin telah mereka kunjungi. Demikian pula jika masih ada sebuah sekolah yang dulu adalah seorang sastrawan pernah menjadi siswanya, sebagaimana Putu Wijaya di SMAN 1 Singaraja.
Wisata sastra adalah jenis pariwisata budaya yang melibatkan perjalanan ke tempat-tempat yang memiliki hubungan dengan sastra. Pariwisata sastra adalah perjalanan yang berkaitan dengan sastra (tempat-tempat yang terkait dengan penulis tertentu: kampung halaman, rumah, kuburan atau buku. Pariwisata sastra didorong oleh oleh keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkait dengan karya sastra atau penulisnya).
Keunikan wisata sastra SMAN 1 Singaraja dan Putu Wijaya yakni pada destinasi yang ditawarkan, yakni sekolah. Pada umumnya, destinasi wisata jenis ini adalah rumah, makam, tempat-tempat yang disebut di dalam karya sastra, tradisi yang berkaitan dengan sastra, dan kegiatan sastra terjadwal yang dihidangkan kepada para wisatawan. Tetapi Kota Singaraja memiliki sebuah sekolah yang menyimpan jejak sastrawan bangsanya, yakni Putu Wijaya yang pergi ke kota di Bali Utara ini, meninggalkan Desa Malkangin di Kota Tabanan, di Bali Selatan.
Kegiatan pariwisata sastra dengan objek SMANSA (sebutan populer untuk SMAN 1 Singaraja) sangat potensial dikembangkan. Putu Wijaya adalah sastrawan, sutradara, dan dramawan yang sangat berpengaruh di Indonesia yang sudah jelas sangat populer di kalangan masyarakat. Hal ini merupakan daya tarik sangat kuat. Yang perlu disiapkan adalah mengumpulkan informasi dan arsip mengenai jejak Putu Wijaya ketika bersekolah di SMANSA.
Dokumen-dokumen sekolah bisa digali untuk menemukan berbagai informasi atau dokumentasi Putu Wijaya, seperti nomor induk, daftar siswa dalam suatu kelas, foto-foto, salinan surat tanda tamat belajar atau ijazah, dll. Di samping itu bisa dipastikan gedung atau ruangan kelas tempat Putu Wijaya belajar bersama teman-temannya seangkatan. Atau jika masih mungkin, sebuah bangku tua yang dulu diduduki dan posisi pavorit Putu Wijaya di kelasnya, mungkin ia selalu memilih bangku di dekat jendela yang bentuknya sedemikian khas, rancangan Gedung bersejarah SMANSA dari seorang arsitek kolonial.
Pada awalnya SMANSA memiliki satu gedung berlantai tiga yang merupakan satu-satunya gedung sampai beberapa tahun sejak sekolah ini berdiri di Jalan Pramuka. Gedung ini sangat bersejarah dan sampai saat ini masih asli. Hal ini tampak dari tangga dan jendela serta rangka baja yang menjadi unsur utama konstruksinya. Pastilah di gedung ini dulu Putu Wijaya belajar dan menghabiskan waktunya. Karena itulah, gedung ini merupakan “menu” yang disajikan kepada wisatawan. Pihak sekolah tentunya berbangga karena tetap bisa memertahankan keaslian bangunan ini.
Para wisatawan diajak memasuki gedung ini dan menemukan elemen-elemen yang masih asli dan tetap berfungsi bahkan menjadi land mark sekolah ini. Maka dalam rangka ini, sejarah gedung perlu disusun sebagai daya darik informasi yang disampaikan kepada wisatawan. Mengingat betapa penting peranan sekolah ini dalam melahirkan seorang sastrawan, dramawan, dan sutradara sekaliber Putu Wijaya, tidak berlebihan jika gedung ini dinamai dengan Gedung Putu Wijaya. Ruang kelasnya juga bisa dinamai dengan judul-judul novel Putu Wijaya, seperti “Stasiun”, “Telegram”, “Perang”, “Bila Malam Bertambah Malam”, dll.
Pihak sekolah bisa mengosongkan satu kelas di gedung ini untuk menyimpan dan menyajikan visualisasi yang berhubungan dengan kehidupan Putu Wijaya, semacam kelas Putu Wijaya atau museum Sastra Putu Wijaya dan sekalian sebagai pusat pengembangan Gerakan Literasi Sekolah. Di sinilah seluruh karya Putu Wijaya tersimpan. Di sinilah berbagai dokumen tentang Putu Wijaya dan karyanya dikoleksi dan dipajang. Tempat ini dapat digunakan sebagai perpustakaan khusus.
Apakah kunjungan wisatawan tidak menggangu aktivitas belajar? Nah ini justru menjadi daya tarik tersendiri pula. Wisatawan mendapatkan pengalaman baru tentang suasana persekolahan di Indonesia, khususnya di Kota Singaraja ketika mereka berwisata ke Bali. Ini merupakan suatu bonus. Sementara itu, siswa dibiasakan untuk tidak terganggu dengan kunjungan wisatawan. Bahkan siswa bisa memanfaatkan kunjungan wisatawan untuk melakukan kontak langsung dengan para wisatawan walaupun dalam waktu yang singkat.
Yang dipersiapkan sehubungan dengan mengembangkan SMANSA sebagai destinasi pariwisata sastra di Kota Singaraja adalah melakukan studi dan pengumpulan dokumen atau materi yang berkaitan dengan Putu Wijaya. Semua dokumnen yang berhasil dikumpulkan akan dikaji atau dikurasi oleh ahli sastra dan ahli pariwisata. Pariwisata sastra SMNSA akan memberi sumbangan bagi pengembangan industri pariwisata.(*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika (Akademisi Undiksha)