Singaraja, koranbuleleng.com | Menjelang matahari terbenam, Pemuda di Desa adat Padang Bulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali sudah menyiapkan daun kelapa kering (danyuh) yang telah diikat, pada hari Pengrupukan, satu hari sebelum Hari Suci Nyepi. Daun kelapa kering itu disiapkan sebagai sarana untuk menjalankan tradisi perang api, atau warga setempat menyebut tradisi mapupt.
Tradisi ini dilaksanakan setelah warga desa adat melakukan ritual pecaruan, sebagai symbol untuk menyimbangkan alam. Angkasa sudah gelap, rasi bintang mulai kelihatan. Saat itulah, sejumlahpemuda desa adat Padang Bulia mulai melakukan peperangan dengan sarana daun kelapa kering itu.
Daun kelapa kering itu disulut dengan api. Warga sudah menyiapkan tempat bagi dua orang pemuda untuk melaksanakan amuk-amukan itu. Mereka saling menyerang dan saling berbalas dengan memukulkan daun kelapa berisi api it uke badan mereka. Danmereka melakukan secara bergantian dengan puluhan pemuda.
Kelian Desa Adat Padangbulia I Gusti Ketut Semara menjelaskan, tradisi yang juga disebut mapuput ini mengandung sarat makna dan filosofi salah satunya untuk meredam amarah atau hawa nafsu yang timbul di dalam diri manusia. “Bagaimana kita umat Hindu di dalam melaksanakan catur Brata penyepian agar bisa mengekang hawa nafsu yang sifatnya bisa menggangu catur Brata yang dilaksanakan itulah yang disimbolkan dengan meamuk-amukan yaitu memadamkan api amarah yang ada di dalam diri kita sendiri, ” jelasnya.
Gusti Ketut Semara mengatakan tradisi ini juga mengandung makna dan nilai kebersamaan dalam ikatan persaudaraan antar warga desa. “Memang kalau dilihat dari segi tradisi meamuk-amukan lain dengan Kata ngamuk. kita menyambut tahun baru saka secara bergembira, bersuka ria, dengan melaksanakan tradisi Meamuk-amukan ini.” imbuhnya.
Sementara itu, salah seorang Pemuda desa yang ikut dalam tradisi ini, Putu Yoga mengatakan, tradisi ini sudah turun temurun dilaksanakan setiap malam pengerupukan. Dia berharap tradisi ini semakin dikenal sebagai warisan budaya Desa adat Padang Bulia. ” Ini sudah menjadi tradisi, dan dari remaja saya mengikuti ini,” ujar Yoga. (*)
Pewarta : Kadek Yoga Sariada (YS)
Editor : I Putu Nova Anita Putra (NP)