Singaraja, koranbuleleng.com| Kapal Rumah Sakit Apung Laksamana Malahayati milik PDI Perjuangan bersandar di dermaga timur, Pelabuhan Celukan Bawang, Desa Celukan Bawang, Gerokgak. Rumah sakit Apung besutan Megawati Soekarnoputri ini membawa tujuh tim medis dan 14 awak kapal. Mereka siap melayani pemeriksaan Kesehatan secara gratis bagi warga Indonesia di seluruh pesisir Indonesia.
Pelabuhan Celukan Bawang adalah persinggahan ke 25 dari kapal yang mempunyai kecepatan 6 knot atau 12 Mil/jam itu. Rumah sakit apung ini akan beradadi Pelabuhan Celukan Bawang dari 1 – 17 oktober 2023. Mereka akan melayani pemeriksaan Kesehatan secara gratis bagi warga sekitar. Atau, siapapun yang hendak melintas ke Pelabuhan Celukan Bawang dan ingin memeriksakan Kesehatan, tim medis selalu siap. Selama sandar, tim medis dan awak kapal akan melayani pemeriksaan dari pagi hingga sore hari.
Rumah sakit apung ini diluncurkan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri pada 10 Juni 2023 lalu di Tanjung Priok, Jakarta. Setelah itu, kaal ini sudah berlayar menjelajah sebagian perairan Indonesia dan menuju wilayah-wilayah terpencil membawa misi pelayanan Kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Kapal ini akan terus berkeliling Indonesia menyambangi sudut-sudut daerah Indonesia.
Nakhoda kapal, Kapten Krisner Sihotang mengaku selain pelayanan Kesehatan kapal ini juga mengangkut 15 ribu jenis obat-obatan untuk diberikan kepada warga di wilayah terpencil. Di dalamnya, juga disiagakan sebuah ambulance jika sewaktu-waktu dibutuhkan penjemputan warga pada saat sandar di Pelabuhan.
Jika dalam perjalanan stok obat-obatan menipis, maka awak kapal akan berkomunikasi dengan kantor sekretariat PDI Perjuangan Pusat di Jakarta. “Tugas dari kapal ini membawa layanan Kesehatan diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia, terutama di wilayah terpencil dan jauh dari jangkauan fasilitas Kesehatan. Kita hadir di situ,’ ucap Krisner Sihotang.
Koordinator Tim Medis RS Apung Laksamana Malahayati, dr. Yanuar Sahat Siahaan mengatakan kapal ini memang dibentuk sebagai rumah sakit apung. Di dalamnya terdapat fasilitas kamar bedah, ruang pemeriksaan medis, apotek, serta gudang obat-obatan.
Layanan pemeriksaan Kesehatan yang diberikan mulai dari pemeriksaan Kesehatan ringan seperti cek tensi, pemeriksaan darah, pemeriksaan mata, layanan kesehatan bagi ibu hamil dan anak-anak, serta pemeriksaan kesehatan bagi para lansia.
Kedatangan RS Apung ke sejumlah wilayah juga atas permintaan dari masing-masing DPD atau DPC PDI Perjuangan di masing-masing wilayah. ”Seperti kedatangan kami di Pelabuhan Celukan Bawang ini sebelumnya ada permintaan dari DPD PDI Perjuangan Bali,” kata Yanuar ditemui di sela pelayanan Kesehatan warga di Pelabuhan Celukan Bawang, Kamis 13 Oktober 2023.
Sekretaris DPC PDI Perjuangan Buleleng, Gede Supriatna mengaku bangga dengan kedatangan rumah sakit apung ini ke Buleleng. PDI Perjuangan melayani warga dengan cara tidak biasa, mendatangi wilayah-wilayah terpencil menggunakan kapal dan memberikan layanan Kesehatan.
DPC PDI Perjuangan Buleleng akan melibatkan sejumlah kadernya untuk membantu kelancaran pelayanan Kesehatan yang dilakukan oleh RS Apung Laksamana Malahayati selama berada di Pelabuhan Celukan Bawang.
“Kami juga punya kader yang berprofesi sebagai dokter, mereka siap menerjunkan timnya untuk mendukung bakti sosial pelayanan Kesehatan gratis dari RS Apung Laksamana Malahayati,” kata Supriatna.
Selama ini, kata Supriatna, pelayanan Kesehatan menjadi prioritas bagi PDI Perjuangan. Bakti sosial yang sering dilakukan oleh PDI Perjuangan selalu diisi dengan pemeriksaan Kesehatan secara gratis di pelosok pedesaan di Buleleng.
Supriatna juga mengapresiasi pihak otorita Pelabuhan Celukan Bawang yang telah ikut membantu kapal RS Apung Laksamana Malahayati untuk sandar meberikan pelayanan Kesehatan. Sejumlahpekerja di area Pelabuhan juga dipersilahkan untukikut melakukan pemeriksaan Kesehatan tersebut.
Sementara itu, Bendahara DPD PDI Perjuangan Bali, Dewa Mahayadnya mengatakan sesuai perintah partai,PDI Perjuangan harus terus berada di tengah-tengah rakyat. Kedatangan RS Apung laksamana Malahayati ini membuktikan PDI Perjuangan hadir langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. ”Dan kami sebagai kader PDI Perjuangan di daerah mendukung penuh pelayanan Kesehatan bagi warga yang dilakukan oleh tim medis. Kami dukung untuk kepentingan rakyat,” ujar Dewa Mahayadnya.
Nama Kapal diambil dari Nama Pahlawan Nasional Laksamana Malahayati
Penamaan kapal rumah sakit Apung Laksamana Malahayati ini diambil dari nama pahlawan nasional asal Aceh, Laksamana Keumalahayati atau Malahayati. Dia adalah pejuang dari Aceh.
Laksamana Malahayati menjadi laksamana perempuan pertama di Indonesia yang mempunyai pasukan para perempuan juga.Dia bertempur dengan Belanda untuk mempertahankan NKRI. Dia bertempur untuk mengawal kedaulatan perairan di Aceh Besar dan Selat Malaka.
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri mengambil nama kapal RS Apung Laksamana Malahayati karena terinspirasi dari pejuang perempuan asal Aceh, Laksamana Malahayati. Megawati mengaku sangat mengagumi dan bangga terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Malahayati di masalalu.mampu memukulmundur pasukan temnpur penjajah dan membunuh komandan prajurit dari pasukan tempur Belanda, Cornelis De Houtman.
Dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan tertulis ayah Malahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh berkuasa pada tahun 1530 sampai 1539.
Remaja Malahayati menghabiskan waktu di lingkungan istana. Dai juga mengenyam Pendidikan di akademi militer matra angkatan laut kesultanan Mahad Baitul Maqdis, Aceh. Saat baru berusia 35 tahun (diperkirakan tahun 1585), Malahayati sudah dipercaya menjabat Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah. Kalaitu kekuasaan dipegang oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.
Perang pertama yang dilakoni Malahayati adalah melawan kolonialisme Portugis di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586. Kala itu, suaminya Malahayati yang bernama Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief memimpin pertempuran. Dia juga menjabat sebagai Kepala Pengawal Sultan.
Dalam perang itu, Angkatan perang dari Kesultanan Aceh berusaha mencegat kapal-kapal perang Portugis. Armada perang Kesultanan Aceh yang terdiri dari kapal-kapal kayu sukses memukul mundur pasukan Portugis, namun suami Malahayati justru gugur dalam pertempuran tersebut.
Posisi mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin kemudian digantikan oleh Malahayati untuk meneruskan perjuangan sang suami. Ia diberi pangkat Laksamana, merupakan perempuan pertama sebagai pemimpin pertempuran. Dari situ, Laksamana Malahayati membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.
Ia menamakan pasukan elite tersebut dengan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda. Jumlahnya pun tak main-main, mencapai 2.000 orang. Mereka seluruhnya adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani.
Apalagi kala belajar di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati ditempa oleh instruktur-instruktur perang tangguh dari Turki, seperti ditulis dalam Malahayati: Srikandi dari Aceh. Sultan Aceh kemudian mendaulatnya sebagai panglima armada laut alias laksamana dan merupakan perempuan pertama di dunia yang menyandang jabatan itu. Sultan juga membekali pasukan Inong Balee dengan 100 unit kapal perang ukuran besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan.
Dikutip Indonesia.go.id, Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatra dan Malaya.
Mereka juga membangun Benteng Inong Balee di sebuah perbukitan tak jauh dari pesisir Teluk Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Tempat perlindungan pertama yang seluruhnya dibangun oleh kaum hawa tersebut memiliki tinggi tembok sekitar 100 meter dan cukup aman untuk menahan serangan musuh.
Benteng tersebut menjadi koloni pasukan Malahayati sekaligus pusat pelatihan tempur Inong Balee. Pasukan Malahayati juga menjalankan misi khusus yakni mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan samudra Aceh kala itu.
Sampai akhirnya pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin berisi pasukan perang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar. Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.
Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara yang tak disukai. Hal serupa juga dialami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.
Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dan bersiaga. Sultan pun memerintahkan Laksamana Malahayati mengusir dua kapal Belanda tersebut. Pertempuran di tengah laut tak terelakkan. Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang itu. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang di ujung rencong Malahayati.
Seperti dikisahkan sejarawan Marie van C Zeggelan lewat bukunya Oude Glorie yang terbit pada 1935, Belanda disebutkan banyak kehilangan pasukan mereka, dan sebagian yang masih hidup termasuk Frederik de Houtman dijebloskan ke hotel prodeo alias penjara.
Tak hanya cakap sebagai panglima perang di lautan, Malahayati juga dikenal sebagai juru runding yang piawai. Pemerintah Belanda mengajukan pembebasan para tawanan perang mereka yang ditahan pihak Kesultanan Aceh termasuk Frederik de Houtman. Sultan pun mengutus Malahayati untuk maju ke meja perundingan menghadapi Belanda. Sebuah syarat pun diajukannya, yaitu Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka timbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit yang dipenjara.
Malahayati juga dipercaya menerima utusan khusus Ratu Elizabeth I bernama James Lancaster yang juga seorang saudagar dagang besar pada masanya. Lancaster mengunjungi Aceh pada 5 Juni 1602 memakai kapalnya, Red Dragon. Ia mengutarakan maksud kepada Malahayati untuk membeli rempah-rempah Aceh, seperti halnya saat mengunjungi Maluku dan Banten. Misi itu berlangsung sukses karena Malahayati setuju dengan tawaran yang disampaikan Lancaster bahwa mereka hanya ingin berdagang dan bukan berperang.
Malahayati wafat pada 1615 dan dimakamkan di dekat bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Oleh Presiden Joko Widodo, Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.
Selain disematkan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL), Malahayati juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Pelabuhan Malahayati yang dimulai sejak masa Sultan Iskandar Muda, sebelum 1970 digunakan sebagai pelabuhan transit. Lalu sempat dialihfungsikan menjadi tempat persinggahan kapal dan menjadi mangkrak pascatragedi tsunami 2004. Baru pada 2007 Pelabuhan Malahayati kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor asal Aceh ke kawasan Eropa dan Timur Tengah. (*)
Pewarta : I Putu Nova Anita Putra