“Slow Living” Menjadi Gaya Hidup Masa Kini, Bagaimana Praktiknya?

Penulis :  I Ketut Suweca

Slow living adalah sebuah gaya hidup yang digandrungi belakangan ini. Banyak orang yang tadinya hidup serba terburu-buru, dituntut oleh pekerjaan yang bejibun yang sering membuahkan stres, mulai ditinggalkan.

- Advertisement -

Sebagai gantinya, banyak yang mulai menerapkan gaya hidup yang lebih perlahan dengan penuh kesadaran dan penghayatan dalam setiap tahapannya.

Dan, ternyata gaya seperti ini banyak diminati, alih-alih pola hidup sebelumnya yang serba sibuk dan serba tergesa-gesa.

Sebuah situs menyebutkan, istilah “slow” berasal dari gerakan slow food yang dimulai di Italia pada tahun 1980-an yang menentang budaya cepat saji dan industri makanan besar.

Konsep “slow” kemudian berkembang menjadi gerakan yang lebih luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti mode, perjalanan, kerja, dan konsumsi.

- Advertisement -

Lantas, bagaimana menikmati gaya hidup slow living dalam keseharian?

Bukan Bermalas-malasan

Seperti disebutkan di atas, gaya hidup yang satu ini dimaksudkan untuk menyudahi kebiasaan terburu-buru atau tergesa-gesa dalam menjalani hidup sehari-hari.

Kalau kita punya kecenderungan seperti itu, kini saatnya sedikit lebih lambat, lebih pelan. Alon-alon.

Gaya hidup slow living sama sekali tidak identik dengan gaya hidup bermalas-malasan. Bukan juga gaya hidup yang apatis terhadap kemajuan. Bukan pula membiarkan diri menunda-nunda penyelesaian pekerjaan.  

Sebaliknya, gaya hidup yang satu ini lebih menekankan pada pemaknaan terhadap proses tindakan atau kegiatan, yang darinya terdapat sejumlah manfaat yang bisa dipetik. Mari kita kupas detailnya berikut dengan contoh-contoh yang relevan.

Pertama, hidup slow living mengantarkan kita pada kualitas hasil pekerjaan yang lebih baik. Mengapa? Karena, pada saat mengerjakan kita akan fokus pada satu pekerjaan saja.

Pikiran, tenaga, dan segenap sumber daya yang ada tidak terdistraksi oleh hal-hal lain. Seperti fokus cahaya suryakanta yang bisa membakar kertas, upaya fokus pada satu pekerjaan akan lebih menjamin hasil yang jauh lebih baik.

Kedua, menerapkan skala prioritas. Mungkin kita memiliki lebih dari satu pekerjaan atau tugas yang mesti diselesaikan.

Untuk mengerjakannya, tetapkan skala prioritas terlebih dahulu. Mana pekerjaan yang lebih penting dan mendesak, itulah yang diutamakan. Sedangkan yang lain, bisa kita kerjakan setelahnya.

Dalam mengerjakannya pun mesti secara bertahap, sedikit demi sedikit. Mengurai pekerjaan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil akan membuat kita merasa lebih ringan dalam mengerjakannya.

Berbeda halnya kalau kita memandang sebuah pekerjaan sebagai pekerjaan besar yang memberatkan dan bisa melunturkan semangat. Akan jauh lebih mudah mengerjakan pekerjaan yang besar dengan memilahnya menjadi bagian-bagian kecil.

Seperti menulis buku setebal tiga ratus halaman, kita bisa cicil menulisnya setiap hari 3-4 halaman, misalnya. Lambat-laun akan menjadi buku setebal yang kita harapkan.

Ketiga, lakukan mindfulness. Artinya, hayati setiap apa yang sedang kiat kerjakan. Hindari membiarkan pikiran ke mana-mana sembari mengerjakan sesuatu. Fokus ke pekerjaan itu, nikmati prosesnya dengan penuh kesadaran.

Dengan mindfulness, kita menjadi benar-benar menyadari apa yang kita lakukan saat ini dan berfokus padanya untuk hasil yang lebih baik.

Setiap detik, setiap menit, dan setiap jam yang kita lewati, benar-benar kita rasakan, hayati, dan nikmati prosesnya.

Keempat, kurangi multitasking. Banyak orang merasa bangga dengan multitasking. Mereka bangga betapa mereka mampu mengerjakan banyak hal dalam suatu satuan waktu tertentu.

Sebenarnya multitasking bukan tidak boleh atau tidak baik, hanya pola ini lebih mengantarkan si empunya pada stres bahkan depresi lantaran dijejali pelbagai pekerjaan yang menumpuk dan tanpa jeda. Bagai orang yang lari jarak jauh tanpa istirahat sama sekali.

Para multitasking yang pada awalnya mungkin akan merasa hebat dan bangga atas capaiannya, tapi pada akhirnya akan menyerah.

Mereka kemudian menyadari bahwa mereka punya keterbatasan, baik secara fisik maupun dalam kesanggupan secara mental. Kebosanan, keletihan, stress dan bahkan penyakit akibat kerja akan menjadi alasan untuk mengurangi beban kerja.

Kelima, berani mengatakan “tidak”. Terkadang orang lain, terutama atasan atau pimpinan memberikan pekerjaan berlebihan kepada kita.

Kita pun akhirnya merasa itu menjadi beban yang memberatkan, apalagi terjadi berulangkali. Tak peduli, hari libur, Sabtu, dan Minggu pun, kita diberikan pekerjaan yang mesti segera diselesaikan.

Bagaimana menghadapi hal ini? Apakah kita akan menerima semuanya dengan begitu saja? Boleh juga.

Akan tetapi, jika kita merasa sungguh terbebani sehingga tak ada waktu untuk me time atau untuk keluarga, kita berhak mengatakan “tidak” terhadap atasan atau bos kita. Tentu saja menolaknya secara santun tanpa menyinggung perasaannya.

Keenam, miliki waktu santai bersama keluarga. Di samping waktu me time yang khusus untuk sesekali memanjakan diri, perlu juga waktu untuk kita luangkan bersama keluarga. Keluarga adalah bagian penting dalam hidup kita dan menjadikan hidup lebih bermakna.

Oleh karena itu, kita perlu menyediakan waktu untuk keluarga kita. Misalnya dengan bersantai sejenak di rumah, berkunjung ke pantai, atau ke tempat wisata, dan lainnya. Tujuannya adalah untuk menikmati kebersamaan dan memperkokoh hubungan satu sama lain.

Ketujuh, nikmati keheningan. Sebagai manusia rohani, kita juga memerlukan ketenangan batin. Maka, sisihkan waktu untuk tenangkan diri. Duduk tenang dan bermeditasi adalah salah satu pilihan. Tarik dan keluarkan nafas dengan penuh kesadaran.

Boleh juga kita mengarahkan meditasi ke langkah spiritual, misalnya seraya memejamkan mata kita berucap syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas karuniaNya kepada kita dan keluarga.

Dengan duduk hening dan bermeditasi, rohani kita akan terasa lebih tenang dan lebih bahagia.

Kedelapan, terhindar dari stres.  Pekerjaan yang banyak, berat, dan menumpuk, bahkan terbengkalai, seringkali membawa stres yang tak tertanggungkan.

Sampai di sini, mungkin kita tiba-tiba bertanya kepada diri sendiri: apa yang sesungguhnya sedang saya cari dalam hidup ini?!

Stres yang terjadi terus-menerus bukan mustahil akan mewujud menjadi berbagai penyakit, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, depresi, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, gaya hidup slow living boleh menjadi pilihan. Dengan gaya hidup ini kita bisa lebil menikmati hidup, bekerja secara berkualitas, dan tetap sehat dan bugar dalam menjalankan semuanya.

Tentang Penulis :

Dr. Drs. I Ketut Suweca, M.Si adalah alumni Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana dan bekerja sebagai staf pengajar STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja.  

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts