Singaraja, koranbuleleng.com | Di jantung kota Singaraja, beberapa meter di sebelah barat Catus Pata, ada gedong Kirtya. Menyatu dengan area kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng. Eksistensi Gedong Kirtya sebagai musem lontar sudah sejak lama. Bahkan, par apemikir dari masa Belanda menduduki Indonesia, Gedong Kirtya sangatlah tersohor.
Usia lontar yang dimuseumkan hingga ratusan tahun. Namun, sebagian dari isi Gedong Kirtya, ada yang dipajang di Pusat Dokumentasi (Pusdok) Provinsi Bali.
Gedong Kirtya kerap menjadi rujukan bagi pemikir dan peneliti dunia. Bahkan, Gedong Kirtya membantu dalam perumusan Agama Hindu di era kemerdekaan dan awal terbentuknya Parisada. Gedong Kirtya juga menjadi mematahkan tentang keyakinan keliru bahwa lontar tidak bisa dipelajari oeh orang awam. Justru Museum Gedong Kirtya menjadi museum kesetaraan.
Beberapa waktu lalu, Pemkab Buleleng bekerjasama dengan STAHN Mpu Kuturan sempat menggelar webinar bertajuk “Koleksi Gedong Kirtya Sebagai Rujukan Para Pemikir Bali dan Dunia” di Rumah Jabatan Bupati Buleleng, Kamis 3 September 2020 lalu.
Dalam webinar tersebut, menghadirkan sejumlah narasumber. Seperti Filolog sekaligus Peneliti Lontar, Sugi Lanus, Anggota Komisi IV DPRD Bali, Ir. I Gusti Ayu Aries Sujati, Kepala Dinas Kebudayaan, gede Dody Sukma Oktiva Askara, M.Si dan Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Gede Suwindia, S.Ag, M.A.
Filolog, Sugi Lanus menegaskan bahwa Gedong Kirtya adalah titik terpenting dalam sejarah kepustakaan lontar Bali. Banyak Sulinggih dan para peneliti Belanda mengumpulkan salinan lontar-lontar dibantu para raja dan cendikiawan Bali dari sebelum kemerdekaan sampai awal kemerdekaan.
Memasuki abad XXI kegiatan terhitung menurun. Menurunnya intensitas keseriusan Pemda Bali pada Gedong Kirtya terhitung semenjak pemindahan kota provinsi dan mulai dibuatnya Pusat Dokumentasi Bali, yang juga meminjam berbagai koleksi Gedong Kirtya.
“Dualitas Kirtya dan Pusdok ini sesungguhnya tidak perlu menjadi hambatan, malah peluang, tapi kenyataannya keseriusan Pemerintah mengurus Gedong Kirtya melemah, bahkan menjadi tempat buangan, demikian pengakuan banyak pihak yang saya temui di Kirtya,” ujar Sugi.
Sugi bercerita pendirian Gedong Kirtya tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh utama pada masanya, Herman Neubronner van der Tuuk (23 February 1824 – 17 August 1894) dan F.A.Liefrinck (1853–1927) yang telah bekerja sebagai petugas dan pejabat pemerintahan kolonial Belanda mengumpulkan data dan mengkoleksi lontar-lontar di Lombok dan Bali.
Dari usaha rintisan mereka berdua ini kemudian dilanjutkan dengan membentuk team kurator. Para Resident Bali dan Lombok. Pemikir dan pendeta, antara lain I Goesti Poetoe Mahajoen, Tjokorda Gdé Raka Soekawati, Ida Njoman Dangin, Ida Bagoes Tantra, Padanda Gdé Anom Manoeaba, Padanda Gdé Ketoet Boeroean, Padanda Gdé Pamaron, Anak Agoeng Anom, I Njoman Kadjeng, Raden Soedjono, I Wajan Bhadra dan Dr. C. Hookyas
Gedong Kirtya juga pernah menerbitkan majalah dengan membahas isu-isu yang ada di Bali.
“Selama kira-kira enam tahun Kirtya menerbitkan sebuah majalah yang membahas tulisan orang Bali secara berkala untuk para intelektual Bali. Majalah ini bernama Bhawanagara, ditulis dalam bahasa Melayu dan Bali. Mededeelingen yang berbahasa Belanda, yang juga meliput topik Bali, mencapai 14 edisi,” jelasnya.
Sugi menyebutkan bahwa Gedong Kirtya menjadi rujukan penyusunan dan pedoman Parisada dan para pemuka agama atau sulinggih. Khususnya saat menyusun buku-buku pengajaran dan penyuluhan Agama Hindu dari sebelum kemerdekaan dan sampai kini.
Koleksi Kirtya menjadi sumber-sumber untuk mempelajari pemikiran filsafat, etika, sejarah kerajaan, teologi, sastra dan lingustik bagi para peneliti dunia dan masyarakat Bali, dari sebelum kemerdekaan dan sampai kini.
Sugi menambahkan Gedong Kirtya menjadi momentum terbukanya lontar Bali bagi semua masyarakat, dan sangat terbuka untuk umum. Semua masyarakat bisa memegang dan membaca lontar tanpa direcoki oleh tingkatan status manusia. Di Gedong Kirtya, kata Sugi Lanus, masyarakat Bali bebas untuk literatur kuno menjadi lebih meningkat.
“Gedong Kirtya adalah monumen yang dulu dianggap tenget dan magis, atau terlarang bagi kelompok di luar brahmana, menjadi tidak berlaku lagi. Hooykaas bersaksi dari Agustus 1939 hingga Desember 1941 ada ribuan pengunjung Bali mendapat kesempatan lontar-lontar Bali yang dulu mereka tidak bisa akses dengan berbagai alasan,” jelasnya.
Selama ini, ada kepercayaan yang keliru bahwa lontar tidak dibaca atau tidak boleh disentuh dipelajari masyarakat umum telah digugurkan oleh kehadiran Gedong Kirtya dengan koleksinya. Jasa Kirtya terbesar bagi masyarakat Bali adalah “mematahkan gugon tuwon” kalau lontar-lontar tidak bisa dipelajari masyarakat umum. Kirtya adalah monumen keseteraan dalam akses pengetahuan tradisional.
“Masyarakat dan Pemerintah Buleleng sudah sepantasnya bangga dengan keberadaan Gedong Kirtya, asset pendidikan dan berbagai kepentingan lainnya, termasuk pariwisata, sudah sepantasnya berserius menimbang kembali dan memperhatikan secara nyata dengan kebijakan anggaran untuk riset-riset dan pengembangan SDM di Kirtya sendiri,” pungkasnya.
Sementara itu Anggota Komisi IV DPRD Bali, Gusti Ayu Aries Sujati menjelaskan Gedong Kirtya perlu dipertahankan dan dilestarikan serta dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang membuat aman, nyaman para pengunjung.
“SDM Gedong Kirtya dan Dinas Kebudayaan perlu berkolaborasi dengan penyuluh dan koordinator Bahasa bali yang ada dikabupaten agar tidak tumpang tindih pekerjaanya,” harapnya.
Alat operasional penyuluh Bahasa Bali perlu ditingkatkan seperti alkohol, minyak sereh, kemiri, sarung tangan, masker.
“Kolaborasi dan sinergitas perlu ditingkatkan oleh beberapa pihak yakni Desa adat, Desa dinas, Dinas Kebudayaan Kabupaten dan Provinsi, Dinas Pendidikan, Akademisi, Budayawan, dan seniman,” urai Aries. |NP|