Singaraja, koranbuleleng.com | Kopi itu, diminum oleh kaum adam maupun hawa. Dalam rutinitas rumahan, biasanya perempuan punya tugas untuk menyeduh, dan lelakinya yang menyeruput di teras-teras rumah sebelum memulai aktivitas. Kadangkala, biar lebih romantis, satu gelas kopi bisa diseruput berdua oleh pasangan suami istri.
Atau ada cerita lagi dari pedesaan. Di ladang-ladang pertanian atau perkebunan di Buleleng, seperti di daerah Desa Bengkel, Desa Umejero, Desa Munduk atau desa-desa lain sekitaran itu, para petani setiap pagi berangkat menuju ladang. Sudah menjadi kebiasaan, mereka juga berbekal kopi dalam rupa serbuk di keranjangnya, termasuk memasukkan gula putih sebagai pelengkapnya. Tentu selain itu, keranjang itu juga ada bekal makanan lainnya.
Tatkala istirahat mengolah ladang, mereka menyeduh kopi itu dibawah rindangnya pepohonan perkebunan. Entah dibawah pohon cengkeh, pohon kopi ataupun tanaman besar lainnya. Nikmat berasa karena kelelahan bisa terobati.
Dari cerita-cerita nyata itu, Kopi bukan hanya sekedar tradisi untuk diminum, tapi juga rasa dan cara menghilangkan kepenatan. Dan dijaman yang terus berkembang, kopi kini bisa menjadi teman ngobrol di coffe shop. Di Singaraja atau kota lainnya, mulai tumbuh coffe shop dengan memunculkan brand-brand kopi lokal di Buleleng.
Kini, Kopi menjadi bagian dari sebuah bisnis bergengsi, tentu tumbuhnya diantara perkembangan pergaulan yang lebih modern lagi. Bahkan tidak jarang, perempuan menjadi pelopor dalam industri kopi ini. Jadi, sekarang keterlibatan perempuan dalam industri kopi ternyata tak bisa dipandang sebelah mata.
Seorang perempuan, Komang Budiani, dari Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Buleleng memelopori itu dengan secara getol mengembangkan potensi kopi lokal di daerahnya. Kini, kopi menjadi minuman segala kalangan.
Budiani menceritakan awal mula ia tertarik mengembangkan usaha kopi. Beberapa tahun yang lalu ketika ia bekerja di Mataram, Lombok sebagai pelaku wisata. Karena kondisi wisata yang anjlok ia memutuskan untuk kembali ke Bali.
Sesampai di Bali perjuangannya tidak segampang yang dibayangkan. Awal mula kembali ke Bali ia sempat berjualan dedak. Namun melihat potensi kopi di Wanagiri sekitar 16 tahun yang lalu, ia akhirnya menjatuhkan pilihan untuk mengelola lahan milik mertuanya.
Sempat tidak didukung karena sebagai seorang perempuan yang dipandang sebelah mata. Akhirnya dibuktikan saat ini ia membentuk Kelompok Wanita Tani pada waktu itu.
“Saya coba gali potensi di kopi di Wanagiri, kita bentuk Kelompok Wanita Tani . Awalnya Respon mereka biasa saja. Karena waktu itu kita butuh uang, akhirnya kita bentuk koperasi,” ujar Budiani dalam ajang Pamer Kopi Buleleng, di Coffee Shop Ko-Vaitnam, Jumat 2 September 2020.
Di awal perjalanannya sempat menemui kegagalan, seiring perjalanan waktu dan usaha. Hingga akhirnya koperasi yang didirikan semakin maju, dan sekarang sudah punya produk kopi arabika dan robusta dari kopi lokal desa Wanagiri.
Tak hanya itu pihaknya juga sudah bisa membeli sebidang tanah untuk di jadikan tempat produksi kopi. “Kita lakukan step by step. Awalnya roasting dengan manual setelah kita ajukan bantuan kita dibantu pemerintah, akhirnya diberi mesin roasting dan sampai saat ini masih dipakai“ sambungnya
Budiani mengakui, jika pademi COVID 19 berakibat pada penurunan omset hingga 50%, namun hal tersebut tidak menjadi halangan untuk terus memproduksi. Ia percaya dan yakin akan bisa maju dengan kopi.
“Harus percaya dan yakin, kita akan bisa maju dengan kopi” tuturnya di ajang Pamer Kopi Buleleng yang diselenggarakan Koperasi Pangan Bali Utara bekerjasama dengan Coffee Shop Ko-Vaitnam. Agenda pamer kopi ini tidak bisa dilepaskan dari potensi Kopi Buleleng yang sebenarnya berlimpah.
Data menunjukkan, kopi sebagai salah satu komoditi perkebunan terluas di Buleleng. Saat ini luas lahan pertanian kopi di Buleleng mencapai 11.033,87 hektar. Seluas 9.422,87 hektar diantaranya merupakan lahan pertanian kopi robusta dan 1.611 hektare sisanya merupakan lahan pertanian arabika. Setiap tahunnya Buleleng mampu menghasilkan sebanyak 4.524,38 ton kopi robusta dan arabika. Kopi robusta sebanyak 3.986 dan 538,26 ton kopi arabika.
Ketua Koperasi Pangan Bali Utara, Dede Tobing Crysnanjaya mengatakan, kegiatan Pamer Kopi Buleleng ini juga serangkaian dengan Hari Kopi Internasional pada tanggal 1 Oktober. Kegiatan ini juga merupakan upaya untuk mempopulerkan dan membumikan kopi Buleleng.
Selain itu, kegiatan juga mempertemukan antar pemain kopi di Buleleng dengan harapan dapat saling bertukar pikiran mengenai kopi di wilayahnya masing-masing. Sehingga kopi lokal Buleleng bisa menjadi tuan di tanah sendiri.
“Berbicara masalah kopi adalah berbicara tentang rasa. Disini kami per temukan pelaku-pelaku kopi dan juga pecinta kopi. Kami berharap dengan adanya ajang ini, dapat membantu memasarkan produk mereka ditengah pandemi ini,” jelasnya.
Tobing menambahkan, kegiatan ini juga diisi dengan eksibisi kopi. Ada tujuh brand kopi lokal Buleleng yang turut memamerkan produknya dalam kegiatan ini.
“Mereka diantaranya Kopi Gesing, Kopi Moola Pedawa, Kopi Banyuatis, Kopitem Sekumpul, Kopi Blue Tamblingan, Amerta Giri Wanagiri dan Wanagiri Bali Coffee.” pungkasnya.
Selain memamerkan beberapa produk kopi lokal Buleleng, kegiatan Pamer Kopi Buleleng juga diisi dengan diskusi tentang potensi kopi. Pada hari pertama kegiatan ini menghadirkan narasumber Ketua KWT Sari Amerta Giri Komang Budiani, yang membahas tentang proses yang dilakukan oleh para perempuan tani di Desa Wanagiri, Ketut Sudisma pemilik brand Kopitem Sekumpul yang membahas tentang anak muda yang mencoba membangun usaha kopi dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada.
Kegiatan ini dilaksanakan di Coffee Shop Ko-Vaitnam jalan Bisma Nomor 76 Singaraja selama dua hari. Dihari kedua, Sabtu 3 Oktober 2020 menghadirkan narasumber Putu Ardana pemilik brand kopi Blue Tamblingan yang membahas tentang perkembangan kopi di dataran tinggi Buleleng. Komang Sukarsana pemilik brand Kopi Bali Arabika yang membahas tentang potensi dan peluang bisnis kopi Buleleng di Bali dan Indonesia, dan terakhir Gede Pusaka Direktur Kopi Banyuatis dan Kopling dengan bahasan tentang legenda kopi di Buleleng yang hingga saat ini masih bertahan di Buleleng.
Pewarta : Edy Nurdiantoro
Fotografer : Yoga Sariada
Editor : I Putu Nova A.Putra