Cek Fakta Wajib Kedepankan Etika dan Transparansi

Singaraja, koranbuleleng.com | Pemeriksa fakta atau fact checker terhadap informasi berupa teks foto atau video yang beredar di masyarakat harus mengedepankan etika dan proses pemeriksaan yang dilakukan secara transparan atas metoda dan referensi yang dipakai.

Trainer Cek Fakta bersertifikat Google, Reinardo Sinaga mengingatkan pentingnya pemeriksa atau pengecek fakta untuk memperhatikan etika pemeriksaan saat memberikan training cek fakta secara virtual yang dihelat Asosiasi Media Siber (AMSI) Wilayah Bali selama tiga hari, 6-8 Nopember 2020.

- Advertisement -

Reinardo memberikan tools, teknik dan pemeriksaan fakta yang perlu dilakukan untuk memverifikasi fakta atas informasi atau berita yang beredar di dunia maya seperti media sosial. Ada beberapa metode dan tools yang tersedia bisa dimanfaatkan di internet atau browser seperti google, yahoo atau bing.

Demikian juga, beberapa tools lainnya juga tersedia saat memeriksa fakta video atau foto dengan menggunakan Yandex, Facebook dan lainnya untuk memastikan apakah bohong atau sesuai fakta.

Sembari memberikan contoh beberapa video seperti dalam kasus anggota DPD RI Arya Wedakarna yang viral di Bali, hingga kasus-kasus terkait Pilkada di Tanah Air. Peserta training diminta melakukan pengecekan penelusuran memakai tools yang telah diberikan.

Pada bagian lain, seiring membanjirnya informasi, masyarakat dibuat bingung resah dengan beredarnya foto atau video yang dipotong, diduplikasi oleh pelaku kemudian dirangkai, digabungkan satu dengan lainnya kemudian disebar.

- Advertisement -

Cilakanya, masyarakat yang kurang literasi informasi dan literasi media, tidak bisa menyaring kebenarannya kemudian langsung mendistribusikan atau membagikan ke jejaring sosial seperti WhatsApp atau WA dan Facebook

Padahal, banyak diantara foto atau video yang beredar berisi informasi yang tidak benar atau hoax, disinformasi dan misinformasi, hanya penggalan atau potongan video tidak secara utuh ditampilkan, kemudian dibumbui narasi yang menyulut kebencian atau permusuhan SARA dan kepentingan tertentu.

Edo, sapaan, Reinardo, juga mencontohkan, untuk mengelabuhi pembaca, biasanya pelaku menggunakan potongan foto-foto atau berita dari media yang memiliki nama-nama mirip dengan media besar yang sudah kredibel.

Penyebar hoax biasanya, memakai foto-foto lama digabungkan dengan foto baru, dibuat semirip mungkin, seolah-olah sesuai dengan narasi yang dibuat. 

Atau juga, isi berita dipotong, tidak ditampilkan secara utuh kemudian diisi dengan narasi yang dibuat untuk kepentingan membunuh karakter atau menyerang pihak lain sebagaimana kerap terjadi saat pertarungan di Pilkada.

Namun, dengan menguasai tools yang sudah ada seperti google maps, google earth, wikimedia, maka akan bisa diketahui, kapan, dimana foto diambil. 

Demikian juga dengan video, bisa diambil foto atau penggalan video kemudian dilakukan pengecekan, akan diketahui kapan dan dimana dibuat.

“Salah satu cara paling gampang ya memeriksa media tersebut di web Dewan Pers, apakah terdaftar sebagai media tervirifikasi atau tidak,” kata Sekretaris AJI Pontianak ini

Meskipun diakui, banyak juga media yang memegang teguh Kode Etik Jurnalistik (KEJ), namun namanya tidak muncul di Web Dewan Pers, karena berproses untuk pendaftaran dan verifikasi.

Setidaknya, media-media yang memiliki kredibilitas dan terdaftar di Dewan Pers, tentu tidak akan membuat konten atau berita-berita yang tidak terverifikasi ataupun hoax.

Hal lain yang perlu diingat para pemeriksa fakta atau fact checker, saat melakukan penelusuruan fakta harus menjelaskan secara jujur dan transparan atas metode yang dipakai kepada pihak yang akan dilakukan pengecekan.

Pemeriksa fakta, juga harus memperhatikan etika pemeriksaan, yakni tidak boleh, mengskplorasi lebih jauh atau membeberkan hal-hal yang sudah menyangkut ranah pribadi atau di luar apa yang hendak diperiksa. Sebut saja, menyebutkan identitas keluarga, tempat tinggal, pendidikan anak-anaknya, hingga akun-akun pribadi.

Jadi, seorang fact checker tidak melakukan doxing atau menyebar informasi pribadi terhadap narasumber atau subyek yang tengah diperiksa karena hal itu bisa berdampak buruk terhadap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga. 

Jangan sampai, karena identitas sumber itu dipublikasikan secara luas dan detil justru akhirnya menjadi korban perundungan atau bullying di ranah dunia maya seperti medsos.  

“Hampir sama dengan tugas jurnalistik saat memeriksa, harus menghormati hak-hak narsumber utama atau primer, tidak mencari-cari sumber-sumber lainnya yang tidak terkait ” tutur editor media siber JUBI yang berpusat di Papua ini.

Pelatihan Cek Fakta merupakan kerja sama AMSI dan Google News Initiative (GNI) ini diikuti 28 peserta baik dari jurnalis, editor, pemimpin redaksi dan pengelola media siber di Bali berlangsung selama tiga hari 6-8 November 2020, secara daring atau webinar dengan memanfaatkan google meet. |NP*|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts