Rumah sangat sederhana yang ditempati sejumlah warga lngkungan kayu buntil, Kelurahan Kampung Anyar |FOTO : Rika Mahardika|
Singaraja, koranbuleleng.com| Sebanyak empat orang warga dari Lingkungan Kayu Buntil Barat, Kelurahan Kampung Anyar, Kecamatan Buleleng mendatangi gedung DPRD Buleleng Selasa, 24 November 2020. Mereka datang untuk meminta pendampingan terkait masalah Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang saat ini dalam mediasi Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng.
Kedatangan mereka diterima Ketua Komisi I DPRD Buleleng Gede Odhy Busana di ruang komisi I DPRD Buleleng. Tidak banyak yang disampaikan warga saat itu. Mereka hanya meminta DPRD Buleleng melakukan pendampingan, karena RSS yang saat ini ditempati oleh warga sedang dalam persoalan. Karena Pemerintah disebut meminta dana sebagai pengganti sertifikat. Saat ini, persoalan itu pun tengah dimediasi oleh Kejari Buleleng.
“Kami merasa keberatan masalah bangunan kami yang dipatok harga Rp 25 juta sebagai pengganti sertifikat, sehingga kami datang ke DPR minta pendampingan,” singkat salah seorang warga Wayan Bagiada.
Sementara itu, Gede Odhy Busana mengaku sudah menerima apa yang menjadi aspirasi beberapa warga. Hanya saja, Ia menyarankan agar mengirimkan surat pengaduan resmi berbentuk laporan. Sehingga hal itu bisa ditindaklanjuti.
“Kami menyarankan biar ada pengaduan tertulis dan konstruktif dulu, biar tidak kami di Komisi I bergerak tanpa sepengetahuan pimpinan. Kalau sudah ada perintah dari pimpinan coba nanti kami mediasi oknum warga dengan pemerintah sudah jelas permasalahannya dan tidak memihak,” ujarnya.
Untuk diketahui, permasalahan RSS di Lingkungan Kayu Buntil Barat sempat mencuat pada tahun 2015 lalu. Sebanyak 98 warga yang di lingkungan tersebut melalui SK Bupati tahun 1994, mendapat bantuan pembangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS) dari pemerintah.
Mereka pun sepakat mencicil sebesar Rp4.000 per bulan selama 20 tahun. Hanya saja dalam perjalannya warga penerima bantuan bangunan RSS dengan luasan tak lebih dari 20 meter persegi itu melakukan wanprestasi.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Barang Milik Daerah BPKPD Buleleng Made Pasda Gunawan ditemui di ruangannya menegaskan jika angka Rp25 juta yang disebutkan oknum warga bukanlah untuk pengganti biaya sertifikat, melainkan harga bangunan RSS yang ditempati setelah dikaji oleh tim appraisal tahun 2017 lalu.
“Ketika 20 tahun berlalu dari tahun 1994 hingga 2014 lalu warga menganggap rumah itu sudah milik mereka. Ternyata tidak seperti itu karena ada wanprestasi. Selain itu yang tercatat sebagai aset Pemda adalah bangunan sedangkan tanah tidak tercatat,” jelasnya.
Diskusi penyelesaian antara warga Kayu Buntil Barat dan Pemerintah sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu.
Dalam proses penyelesaian itu Pemkab pun akhirnya mendatangkan tim appraisal untuk mengukur berapa harga bangunan RSS di tahun tersebut. Dari hasil pengukuran tim appraisal mengeluarkan angka Rp24 juta. Namun karena alasan kesulitan ekonomi warga setempat tidak dapat dilakukan.
Pasda menyebut jika lahan yang ditempati warga untuk bangunan RSS merupakan tanah negara bebas sehingga dilakukan proses penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama warga yang menempati RSS. Namun setelah terbit, SHM itu kini masih ada pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, karena bangunan diatas lahan tersebut sedang bermasalah.
“Seluruh penerima RSS di Kayu Buntil juga sudah diundang oleh Kajari Buleleng untuk sosialisasi kembali dengan menghadirkan seluruh warga bertahap pada tanggal 17, 18, 19, 20, 23 November di wantilan pura yang ada di lingkungan Kayu Buntil. Seluruh proses penyelesaian pun akan ditentukan oleh Kejaksaan apapun hasilnya kedepan,” tegas Pasda.
Sementara itu Kepala Lingkungan Kayu Buntil barat Ketut Bukit ditemui di Kayu Buntil Selasa sore kemarin mengaku tak mengetahui dan tak pernah mengizinkan oknum yang mengaku warganya mengadu ke dewan.
Menurutnya, upaya sosialisasi kembali dan win-win solution yang diambil pemerintah sudah sangat tepat. Terlebih saat ini sudah dibantu SHM atas nama warga yang menempati. Hanya saja angka di tahun 2017 lalu belum bisa dipenuhi masyarakat karena kondisi ekonomi.
“Kalau tidak setuju dan keberatan kita bisa memohon harga yang seringan-ringannya dengan kondisi ekonomi saat ini,” ujarnya. |RM|