Mengajar dengan Mata Hati di Tengah Ragam Keterbatasan. Selamat Hari Guru!

I Putu Adi Sembara Jaya, seorang guru penyandang disabilitas/tuna netra |FOTO : I Putu Nova A.Putra|

Singaraja, koranbuleleng.com | I Putu Adi Sembara Jaya, tampak biasa saja, normal. Namun, dia adalah salah satu penyandang tuna netra.   Adi, berprofesi sebagai  guru di Sekolah Luar Biasa.  

- Advertisement -

Sejak tahun 2018, dia mengajar dengan status honor,  namun dia bersyukur saat seleksi CPNS tahun 2019, dia lolos dan kini menyandang status CPNS.

Menjadi guru telah dicita-citakan sejak kuliah. Pria ini alumnus dari Jurusan Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat. Dia kuliah di UPI Bandung dari tahun 2008 hingga 2014. Lalu sempat mencari pengalaman mengajar di sebuah sekolah inklusif di Bandung bernama Sekolah Kriya Usaha.

Kondisinya yang “low vision” itu sudah dialami sejak remaja. Ketunaan yang dialami karena kepalanya sempat terbentur bola saat bermain futsal hingga mengalami pendarahan pada  bagian otak. Dari situ, berdampak pada saraf mata dam membuat penglihatannya terganggu hingga kini. Pandangannya tidak sempurna, mata bagian kanan sudah tidak berfungsi, dan mata bagian kiri yang berfungsi namun tidak sempurna. Penglihatannya buram.   

Namun, ditengah keterbatasannya itu, Adi adalah seorang guru yang gigih dan penuh juang mendidik anak-anak didiknya. Bahkan ditengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, dia juga rajin turun ke rumah-rumah anak didiknya untuk mengajar secara luring (luar jaringan).

- Advertisement -

Adi, mengajar dengan mata hatinya. Dia meresapi dan memahami apa yang dialami oleh anak didiknya. “Saya pernah bersekolah di SLB A Denpasar karena kondisi saya yang alami tuna netra. Sehingga apa yang hari ini saya lakoni, saya memahami sekali kondisi mereka itu,” cerita Adi, di rumahnya di Gang III, Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Selasa 25 Nopember 2020.

Dan hari ini, 25 Nopember 2020, adalah hari Guru. Bagi Adi, hari Guru harusnya menjadi hari istimewa bagi semua guru. Guru adalah pejuang pendidikan, katanya. Terutama bagi mereka, guru yang masih berstatus honor atau guru kontrak yang masih berjuang dengan kesejahteraannya.

Guru honor belumlah sejahtera seperti seperti guru yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kesejahteraan guru honor bergantung berapa jam mereka harus mengajar dan dibayar dengan kemampuan dana BOS. Begitupun guru kontrak, mereka juga belum digaji dengan standar upah minimum kabupaten (UMK).

Adi, adalah guru yang sempat menjadi guru honor sehingga sangat paham soal kesejahteraan guru honor ataupun kontrak. Walaupun saat ini, dia sudah menyandang status CPNS sejak Nopember 2020 ini, dia berharap guru dengans status apapun, kesejahterannya bisa terus meningkat.

I Putu Adi Sembara Jaya saat mendatangi rumah siswa untuk mengajar secara luring |Foto : dokumentasi pribadi|

Ditengah keterbatasannya itu, pria yang punya angka kelahiran 3 Januari 1987 ini selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak didiknya. Dia mengakui, kadang menemui banyak kesulitan, namun kesulitannya itu selalu terbantu oleh teman-temannya.

Pengalaman rasa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dijalaninya dengan tulus. Apalagi, karakter dan kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus juga berbeda-beda. Yang terpenting, kata Adi, dalam kondisi apapun, pendidikan tetap harus berpegang pada tujuannya yakni agar anak didik bisa mandiri.

“Kami mengajarkan hal-hal yang dekat dengan diri mereka. Misalnya, cara menghitung kancing baju. Mengajarkan mereka untuk memasukkan kancing baju ke lubangnya dan hal lain yang dekat dengan kehidupan kita saja. Bagi mereka itu masih sulit,” tutur Adi.

Adi mengaku, banyak pelajaran yang bisa dipetik ketika bercengkerama dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Salah satunya kesabaran dan keiklasan.

Adi punya harapan, sebagai seorang guru, suatu saat dirinya bisa memberikan yang terbaik bagi sekolah dan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Karena anak-anak berkebutuhan khusus ini sama hak hidupnya dengan orang-orang normal. Mereka harus dihargai juga. Selama ini banyak yang minder, walaupun sudah ada banyak yang sukses,”  tuturnya.

Harapan lain, Adi berhara bisa ada kesamaan persepsi antara guru dengan orang tua anak berkebutuhan khusus terhadap anak-anak. Itu harus dilkaukan dengan pola kegiatam parenting. Selama ini, intensitasnya masih jarang. Kegiatan parenting ini penting untuk memberi stimulasi perkembangan dan potensi anak-anak berkebutuhan khusus.  

Jika kesabaran dan keiklasan menjadi pengalaman rasa dari Adi sebagai guru yang menyandang status disabilitas, namun ada pengalaman lain dari guru-guru dari tempat lain di Buleleng.  

Komang Dian Kusumawati, Guru kontrak |FOTO : Rika Mahardika|

Komang Dian Kusumawati adalah seorang guru kontrak yang bertugas di SD Negeri 1 dan 2 Paket Agung. Ia kini dipercaya untuk menjadi wali kelas 3. Sebelum berstatus kontrak, Ia awalnya menjadi guru honorer pada sekolah yang dulunya bernama SR tersebut sejak tahun 2013.

Upah yang diterimanya saat itu beragam. Bergantung dari besaran dana BOS yang diterima sekolah. Mulai dari Rp200 ribu, Rp300 ribu, hingga Rp500 ribu. Hingga kemudian ditahun 2016, Ia lolos dalam rekrutmen guru kontrak yang digelar Dinas Pendidikan Buleleng, sampai dengan saat ini dengan upah sebesar Rp1,2 juta.

 “Kalau kesejahteraan uang segitu jaman sekarang tidak mencukupi tapi tetap bersyukur. Dibandingkan orang lain yang belum bekerja apalagi sekarang banyak yang dirumahkan,” ujarnya saat ditemui di sekolah,  Selasa, 24 November 2020.

Perempuan kelahiran 15 Januari 1981 ini mengaku jika sejak awal tidak pernah berniat menjadi guru. Setelah tamat SMA, Dian melanjutkan jenjang pendidikan dengan menempuh jurusan pariwisata di sebuah sekolah ternama di Nusa Dua.

“Kalau dibilang cita-cita sih bukan, karena dulu saya kuliah pariwisata dan pernah bekerja di hotel, itu memang passion saya. Tapi karena pulang kerja sampai larut, orang tua tidak mengizinkan dan menyuruh saya kuliah PGSD dan sampai sekarang menjadi guru,” jelasnya.

Kecintaannya dalam dunia pendidikan pun muncul secara otomatis. Saat awal-awal menjadi guru honorer dengan upah yang minim, Dian pun mengaku cukup berat. Namun semuanya bisa terobati ketika tiba di sekolah. “Setelah dijalani terasa biasa saja dan enjoy. Menghadapi dan mempelajari karakter anak-anak. Dinikmati saja kan tidak semua bisa menjadi guru,” tuturya.

Namun semuanya terasa berbeda ketika terjadinya pandemi COVID-19. Pemerintah memutuskan untuk tidak menerapkan pembelajaran tatap muka, melainkan dengan pembelajaran jarak jauh dengan sistem daring maupun luring.

Pembelajaran jarak jauh dengan sistem daring memang tidak memberikan banyak kesulitan. Karena seluruh siswa tinggal di lokasi perkotaan yang mudah terhadap akses internet. Selain itu, seluruh siswa juga memiliki sarana dan prasarana pendukung. Namun kerinduan mendalam yang dirasakannya adalah bisa berinteraksi dengan siswa.

“Kalau pas luring, itu orang tua yang datang ke sekolah untuk mengambil tugas. Tapi kita tidak tahu bagaimana karakter anak-anak, bagaimana kemampuannya. Kalau belajar di kelas kan bisa kita menilai langsung,” ucapnya.

Kini, saat situasi pandemi, guru tetap memiliki kewajiban untuk memberikan pembelajaran kepada para siswa. Tidak peduli statusnya apakah sebagai guru honorer, guru kontrak, ataupun PNS. Beban mereka tetaplah sama, untuk meningkatkan kualitas pendidikan generasi penerus bangsa.

Keterbatasan teknologi juga jadi cerita bagi guru PJOK SMPN 3 Tejakula I Wayan Rupa Marjaya yang penuh juang mengajar anak-anak ditengah Pandemi COVID-19.

Pembelajaran jarak jauh tidak semudah yang dibayangkan para guru di lapangan. Banyak kendala yang harus dihadapi, seperti keterbatasan jaringan telekomunikasi, terutama di daerah-daerah yang kurang sinyal seperti di Desa Sembiran, kecamatan Tejakula. 

Selain itu, kendala lain yang harus dihadapi adalah masalah sarana yang digunakan siswa dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh berupa telepon pintar. Hal itu disebabkan tidak semua siswa memiliki telepon pintar untuk kegiatan pembelajaran jarak jauh karena faktor ekonomi. 

Dengan berbagai kendala tersebut, Guru PJOK SMPN 3 Tejakula, I Wayan Rupa Marjaya  memiliki inovasi dengan cara memberikan materi kepada siswa secara perwakilan supaya tidak terjadi kerumunan.  

Jadi setiap dusun dibuatkan kelompok, kemudian setiap kelas VIII sampai kelas XI dipilih perwakilan perkelas  satu atau dua orang untuk datang ke sekolah diberikan materi, selanjutnya siswa yang ditunjuk meneruskan tugas kepada teman kelompoknya. 

“Kami bagi kelompok siswa yang ada di setiap dusun datang ke sekolah, nanti perwakilan kelompok datang ke sekolah untuk diberikan materi selanjutnya mereka yang mengkoordinir ke teman-teman yang dekat dengan rumahnya” ujar guru PJOK SMPN 3 Tejakula I Wayan Rupa Marjaya

Proses pembelajaran seperti ini, diakui Rupa Marjaya sudah berjalan dari awal pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh. Sebelumnya pihak sekolah mengalami kesulitan dalam mencari cara dalam memberikan materi agar siswa tetap bisa mengikuti proses belajar mengajar. 

Akhirnya metode ini digunakan sampai sekarang di SMPN 3 Tejakula. Rupa Marjaya yang juga sebagai kaur kesiswaan menjelaskan, pihak sekolah memilih menggunakan metode ini karena dianggap pas dengan kondisi di desanya.  

“Kita yang tahu kondisi disini seperti apa. Bagaimana caranya kita tetap menjaga kesehatan siswa namun tetap materi bisa tersampaikan dengan baik” sambungnya

Sistem pembelajaran seperti ini, lanjut Rupa Marjaya dengan cara perwakilan kelompok siswa ke sekolah pada hari Senin sampai Rabu, sedangkan untuk hari kamis hingga sabtu siswa disuruh mengerjakan tugas yang diberikan, selanjutnya tugas dikumpul. 

“Dengan total siswa kurang lebih 250 orang, jadi kita ambil per kelompok sekitar 10 orang atau lebih”lanjutnya

Pria yang tinggal di Dusun Kanginan, desa Sembiran ini mengakui sampai saat ini para siswa secara bertahap sudah ada yang memiliki telepon pintar.  Hal itu kemungkinan  dorongan dari teman-teman lainya yang sebelumnya sudah mempunyai telepon pintar. Namun pihaknya berdalih tetap pembelajaran secara daring belum efektif karena faktor sinyal  yang kurang mendukung.

“Siswa secara bertahap ada yang beli handphone, karena ada saja di grup whatsapp yang masuk. Namun pembelajaran daring belum bisa diterapkan karena kendala sinyal,” ucapnya

Rupa Marjaya mengaku belum pernah mendatangi rumah siswa karena terkendala akses transportasi. Karena ada beberapa siswa yang tinggal di perbukitan jadi akses menuju jalan ke rumah siswa harus extra, jadi para guru tidak melakukan hal tersebut. 

Rupa Marjaya  tidak akan menduga hal seperti ini terjadi. Ia pun berharap pandemi COVID-19 segera berakhir sehingga proses pembelajaran bisa seperti dulu. (*)

Pewarta : Tim Koranbuleleng.com

Editor : I Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts