Undiksha dan Tanah Sorgum

Dr. I Wayan Artika,S.Pd.,M.Hum

Bali telanjur ikonik sebagai pusat pariwisata dunia. Hal ini disebabkan oleh politik penjajahan untuk mengeruk semua kekayaan Hindia Belanda. Ketika Bali tidak memiliki tanah yang luas seperti di Jawa atau kandungan tambang; maka Belanda tidak kalah akal. Eksotisme Bali dikemas dan dijual di Eropa, bermula dari brosur-brosur pelancongan era kolonial yang disebar di sejumlah ekspo.

- Advertisement -

Ikonik lain Bali, seperti keindahan sawah, pura, pantai, aktivitas budaya, arsitektur  puri, pasar tradisional selalu wajib dikaitkan dengan pariwisata. Bagaimana Bali membangun pendidikan modern, seperti yang dilakukan oleh Raja Buleleng terakhir, A.A. Pandji Tisna, yang juga sastrawan, membangun perguruan Bhaktiasa di Singaraja; demikian pula yang dilakukan oleh pinisepuh Perguruan Rakyat Saraswati (Tabanan dan Denpasar); sepertinya tidak menarik dikaitkan dengan Bali.

Karena itulah, banyak yang tidak menyadari peranan penting pembangunan pendidikan di Bali. Dalam pembangunan pendidikan utuk menyediakan tenaga guru misalnya, Singaraja juga semakin dilupakan jasanya, sebagai sebuah kota pendidikan. Di kota inilah cika-bakal universitas modern yang kini berkembang di Bali, dirintis, dengan pendirian dua kursus: Perniagaan dan Bahasa (1955). Kelak keduanya menjadi fakultas keguruan  yang induknya berpindah-pindah, satu kali Universitas Airlangga (Surabaya) dan kali lain di IKIP Malang (Malang) karena saat itu di Bali belum berdiri universitas negeri.

Singaraja yang terpencil di utara, ditinggali oleh mahasiswa dari seluruh Indonesia. Setelah mereka tamat dan menyandang gelar sarjana pendidikan, kembali ke daerah asal. Inilah sumbangan Singaraja kepada pembangunan pendidikan Indonesia. Semua ikhtiar historis itu tercatat dan tersimpan rapi dalam sejarah panjang sebuah universitas negeri, lahir dari sebuah kursus, menjadi satu fakultas yang berjarak ratusan KM dari universitas induknya di Malang dan Surabaya, cukup lama menjadi satu fakultas  dari Universitas Udayana, akhirnya “nekat” melepaskan diri menjadi STKIP (hanya ada dua di Indonesia, STKIP Negeri Singaraja dan Gorontalo), lalu berjuang untuk menjadi IKIP Negeri Singaraja, yang pada akhirnya kini mantap menjadi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).

Kehadiran Undiksha di kota ini mungkin kurang disadari penting dan tidak membanggakan masyarakat. Sementara itu, pemerintah daerah setempat terasa memandang Undiksha sebatas “numpang” tempat saja. Undiksha dipandang sebagai sumber pemasukan warga kota, seperti sewa pemondokan, jual makanan, jasa foto kopi, bintu, penyewaan jas saat wisuda, bisnis kudapan kegiatan mahasiswa, toko-toko bunga (florist). Kehadiran Undikhsa dengan jumlah mahasiswa 14 ribu telah mendorong pertumbuhan berbagai sektor ekonomi di kota ini.

- Advertisement -

Masyarakat melihat mahasiswa Undiksha sebagai sumber pendapatan baru. Harga pondokan misalnya semakin mahal.  Sementara itu, tidak ada fasilitas-fasilitas kesejahteraan mahasiswa yang disediakan oleh pemerintah setempat, misalnya rumah tinggal gratis bagi banyak mahasiswa dari luar Bali yang tergolong kurang mampu.

Pemerintah daerah juga tidak membantu pendirian perpustakaan besar berskala universitas yang dipersembahkan kepada semua perguruan tinggi yang ada di Singaraja. Tidak juga ada tempat-tempat kegiatan belajar mahasiswa di luar kampus, yang dikelola oleh pemerintah setempat, khusus bagi pelajar dan mahasiswa. Justru sebaliknya, ketika mahasiswa menggelar konser, harus menyewa gedung kesenian dan petugas pajak hiburan “membuntuti” panitia.

Tidak semua kota di Bali beruntung. Hanya Singaraja yang memiliki universitas negeri. Hal ini (harusnya) menjadi kebanggaan. Dapat dibayangkan, kota ini sepi tanpa Undiksha. Sudah saatnya megubah paradigm promosi wilayah, yang hanya berpaku pada aset pariwisata, budaya dan pantai, juga sudah waktunya memasukkan kampus.

Yang mana hal ini berkonsekuensi moral kepada pemerintah setempat bahwa, univeritas di kota ini juga harus mendapat perhatian dan diwujudkan dengan mendapat pembangian “kue” anggaran untuk pembangunan berbagai fasilitas kampus, sehingga pembangunan universitas semakin pesat dan canggih.

Kampus bergerak sendiri dan jalinan kemitraan yang tulus dan bermakna masih jauh dari harapan. Pemerintah harus juga merangkul dan melibatkan civitas dalam berbagai agenda pembangunan. Hal ini bermata ganda, satu sisi membantu pembangunan di kabupaten Buleleng dan pada sisi lain, mahasiswa bisa “magang”.

Ada berbagai alasan untuk melibatkan kampus dalam pembangunan. Kampus memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi tinggi. Kampus memiliki mahasiswa yang dapat dikerahkan dalam bingkai kerja sosial dan pemagangan. 

Sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan perguruan tinggi dalam rangka Kampus Merdeka, membuka terus-menerus pintu kerja sama dengan pemerintah setempat harus menjadi perioritas. Undiksha misalnya, membangun basis kemitraan lokal dengan wilayah belajar, pengabdian, dan kerja di seluruh Kabupaten Buleleng.  Kabupaten ini adalah potret dunia dengan segala persoalan manusia atau potret kecil Indonesia.

Dalam ragka implementasi Kampus Merdeka, dengan spirit membelajarkan mahasiswa di luar kampus, di samping merintis kerja sama dengan pihak lain, Kabupaten Buleleng yang dikelola oleh Bapak Bupati, harus dijadikan basis kerja sama.

Undiksha juga, di samping berkiprah di jaringan kemitraan internasional, juga harus membangun basis lokal yang solid di tanah Den Bukit, tempat dulu jagung gembal atau buleleng (sorgum) tumbuh subur menjadi pangan utama masyarakat jauh sebelum revolusi hijau.

Dengan basis kerja sama lokal di kabupaten ini, mahasiswa dapat dengan mudah memperoleh tempat belajar di berbagai dinas di Pemkab Buleleng. Hal ini semakin meningkatkan dan mengasah kemampuan mahasiswa mengenali persoalan-persoalan lokal, yang kelak akan menjadi bekal pengalaman berharga untuk bekerja di daerah lain Indonesia.

Di samping berkiprah di dunia, Undiksha juga harus membangun pijakan kuat di bentangan wilayah pesisir atau dalam kemiringan di bagian utara Bali. Undiksha tentu telah memiliki berbagai hasil studi tetang Den Bukit, dari cerita lisan, lontar, ragam hias khas Bali Utara, bahasa Bali Aga, kemaritiman, tanaman anggur, potensi ikan, vegetasi danau, pariwisata, alam prasejarah, hingga arsitektur kota kolonial dengan model desain kota masa depan berkonsep water front.

Hasil-hasil riset tersebut adalah modal dalam membangun basis lokal, menjadi sebuah universitas yang berpijak di bentangan wilayah  politis suatu pemerintahan kabupaten. Dengan prinsip ini, pembatasan/kavling ruang  bagi Undiksha semakin kuat dan jelas. Data riset tentang Buleleng dengan seluruh aspeknya adalah kekayaan penting yang dibutuhkan bagi pembangunan wilayah dan kota-kota kecamatan yang pada umumnya dibangun di pesisir kecuali satu kota di pegunungan, Kecamatan Busung Biu.

Untuk memantapkan data tersebut, sudah waktunya Undiksha memilki satu pusat studi dan dokumentasi tentang Buleleng. Mungkin ini bisa menjadi daya tarik untuk menggaet perhatian pemerintah setempat dan dunia untuk semakin memaknai secara praktis kehadiran Undiksha di tanah sorgum. (*)

Penulis :  Dr. I Wayan Artika, Dosen Undiksha, Pegiat Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts