Ni Luh Wanda Putri Pradanti bersama boneka Jegeg Bulan |FOTO : Sinta Yani|
Singaraja, koranbuleleng.com | Anak yang dibesarkan melalui sastra lisan maupun tulisan sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya, terutama dalam pembentukan karakter. Sebuah penelitian dari psikologi sosial, David McCleland menemukan fakta bahwa dongeng atau cerita rakyat suatu negara memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
McCleland yang ketika itu memakai sampel Negara Inggris dan Negara Spanyol menemukan perbedaan perkembangan kedua negara tersebut, ditinjau dari indikator dongeng yang ceritakan ke anak-anak mereka.
Dongeng di Inggris mengandung semacam virus untuk berprestasi yang disebutnya sebagai virus n-Ach. Unsur dari virus yang ditularkan dari dongeng tersebut adalah optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak gampang menyerah. Pembaca dan pendengar dari cerita tersebut, yakni anak-anak Inggris tertular virus n-Ach.
Sedangkan di Spanyol, dongeng-dongeng yang berkembang lebih banyak mengandung imajinasi yang meninabobokan anak. Penelitian McCleland juga menjelaskan nilai n-Ach di suatu negara berjalan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi negara tersebut dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
Lalu, bagaimana dengan kondisi aktivitas mendongeng di Indonesia? Nyatanya, mendongeng sudah banyak ditinggalkan oleh orang tua zaman sekarang, karena dianggap sesuatu yang kuno. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa cerita anak dalam bentuk buku berpengaruh terhadap kepribadian anak dan meningkatkan daya literasinya.
Pentingnya dongeng untuk anak mendorong Wanda, perempuan asal Desa Temukus, Buleleng mengabdikan diri dalam dunia mendongeng dan cerita anak. Bersama boneka tangan yang ia beri nama Jegeg Bulan, Wanda sering membagikan konten mendongengnya dan mampu memberikan inspirasi untuk banyak orang.
Perempuan yang bernama lengkap Ni Luh Wanda Putri Pradanti, tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi seorang pendongeng. Ini bermula ketika Wanda menjadi salah satu tenaga pengajar di Yayasan Gemah Ripah Pacung, sekolah non-formal yang bernuansa bermain sambil belajar. Anak pertama dari tiga bersaudara ini selalu dituntut untuk memberikan materi dengan cara-cara yang menyenangkan kepada siswanya.
Berkat tuntunan dan arahan dari Marga Van Akkeren dan Frank Van Akkeren, sepasang suami istri yang berasal dari Belanda, sekaligus pendiri Yayasan Gemah Ripah Pacung, kemampuan mengajar Wanda melalui mendongeng mulai terasah. Percaya diri Wanda semakin meningkat ketika anak-anak sangat antusias dan fokus mendengarkan ceritanya. Dari sana, sarjana Pendidikan Matematika Undiksha ini mulai sadar bahwa dirinya memiliki potensi dan kemampuan dalam mendongeng.
Berlatar belakang pendidikan matematika, Wanda malah diminta untuk mengajar bahasa Inggris di Yayasan Gemah Ripah Pacung. Tentunya ini menjadi hal baru untuknya. Dalam mengajar, Wanda digerakan untuk membuat cerita sendiri lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan didiskusikan.
Mulanya, cerita yang dibuat oleh Wanda masih patah-patah karena belum mampu menuangkan ide dalam bentuk kata-kata. Dia tiada henti memperbaiki cerita-cerita anak dwibahasa yang dibuatnya dan mampu disampaikan kepada anak-anak secara ekspresif. Anak-anak begitu bersemangat mendengarkan ceritanya. “ Hal yang membanggakan adalah ketika imajinasi anak-anak tumbuh dengan pesat dari dongeng yang saya ceritakan.” tutur Wanda.
Lingkungan belajar di Yayasan Gemah Ripah Pacung memberikan vibrasi positif untuk Wanda. Marga Van Akkeren yang kerap ia panggil dengan sebutan Oma selalu memberikan masukan dan apresiasi sekecil apapun karya yang diciptakan oleh Wanda. Kurang dari satu tahun, Wanda sudah mampu menguasai keterampilan mendongeng dan menulis cerita anak. Diapun mulai memberanikan diri mengikuti berbagai kompetisi mendongeng serta terlibat di beberapa komunitas mendongeng.
Tahun 2020, Wanda berhasil menciptakan tiga buah buku cerita anak dengan judul De Ga Ingin Kulit Jerungga, Kebaikan Oleh Semua, dan The Tales We Tell. “Biasanya, output dari mereka yang pernah menjadi bagian dari Yayasan Bermain Sambil Belajar (BSB) ini adalah orang-orang yang berkualitas. Mereka memiliki kreativitas dan percaya diri yang tinggi.” Tutur Wanda.
Karakter boneka tangan yang ia beri nama Jegeg Bulan pun muncul dari keinginan Wanda untuk menciptakan personal branding-nya sendiri. Ilmu yang didapatkannya dari selama dua tahun mengajar di BSB diimplementasikan dengan sangat baik olehnya. Selama mengajar, Wanda biasanya dibekali dengan media boneka tangan atau boneka jari, dan bahkan membuat pertunjukan-pertunjukan tertentu. Selesai mengajar di BSB pada tahun 2020, Wanda membeli boneka tangan yang ia ajak berinteraksi dalam mendongeng.
Dia belajar secara otodidak untuk menampilkan karakter Jegeg Bulan serta melatih suara perutnya agar tidak terlihat berbicara ketika mengisi suara Jegeg Bulan. Wanda juga belajar untuk mensikronisasi antara suara yang dikeluarkan oleh Jegeg Bulan dengan gerakan mulutnya. Berkat kegigihannya dalam belajar, Wanda mampu menampilkan pertama kali sosok Jegeg Bulan di Rumah Tukik Singapadu-Gianyar.
Dia juga membangun kanal youtube dengan nama “Main Cerita”. Orang tuanya menjadi orang pertama yang menonton dan menyukai videonya sebagai bentuk dukungan kepada Wanda. “Orang tua tentunya sangat mendukung dan sering memberikan masukan. Selain itu, Oma yang walaupun tinggal jauh juga tetap memberikan masukan dan apresiasi untuk saya.” ujarnya.
Perjalanan karir Wanda tidak semulus seperti yang orang bayangkan. Anak dari pasangan Putu Budiasa dan Ni Luh Sriwedari ini sering sekali diragukan kemampuannya. Semasa kuliah, Wanda belum memiliki ketetapan hati untuk fokus ke satu bidang.
Dia mencoba berbagai hal dan banyak yang berhenti di tengah jalan sehingga dianggap tidak memiliki jati diri. Wanda pernah menjajaki bisnis kuliner kue, namun berhenti karena merasa tidak memiliki kemampuan dalam memanajemen orang di dalam bisnisnya. Hal tersebut dianggap sebuah kegagalan bagi orang lain, namun tidak bagi Wanda. “Apakah berhenti itu berarti gagal? Menurut saya ini adalah proses saya untuk menemukan passion dan jati diri saya.” Ujar Wanda.
Kesempatan menjadi bagian dari Yayasan Bermain Sambil Belajar merupakan sebuah anugerah untuknya, karena ia mampu menjadi Wanda yang dikenal saat ini. Wanda bercerita bahwa, aktivitas mendongeng mengantarkan dia untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, salah satunya mendongeng untuk anak-anak yang mengidap penyakit kanker di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
Ini tantangan yang cukup besar untuk Wanda karena harus mampu memberikan keceriaan bagi mereka melalui dongeng. Rasa bahagia yang tidak terhingga dirasakan oleh Wanda ketika anak-anak sangat antusias mendengarkan ceritanya. Namun, pilu juga dirasakan oleh Wanda saat melihat anak-anak yang benar-benar sangat sakit, dan belum bisa mendengarkan dongengnya.
Dongeng sudah menjadi bagian dari hidup Wanda. Bahkan saat ini dia mengelaborasikan dongeng dengan pelajaran matematika ketika ia mengajar di SMPN 3 Banjar. Pelajaran matematika yang sering ditakuti oleh siswa akan tampak lebih menyenangkan. Visi besarnya adalah menghidupkan kembali dongeng terutama di kalangan orang tua.
Cerita anak perlu ditanamkan hal-hal yang berkaitan dengan kecakapan yang diperlukan pada abad 21, yaitu berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan bertindak kreatif. “Oma selalu berpesan bahwa, ajarkan anak-anak dengan hal-hal baik secara benar. Contoh kecilnya, ketika anak-anak masih belum mampu mengucapkan kata-kata yang benar, kita tidak boleh menirunya walaupun itu terdengar lucu. Anak-anak adalah mereka yang masih polos dan jujur, jadi ajarkan nilai-nilai budi pekerti kepadanya.” tutup Wanda.
Pewarta : Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A.Putra