Singaraja | Sejak bertahun-tahun, anak-anak siswa sekolah dasar di Desa Pangkungparuk, Kecamatan Seririt berjalan kaki dari tempat tinggalnya menuju sekolah. Jaraknya, bisa mencapai tiga hingga lima kilometer dari tempat tinggal siswa dengan sekolah yang dituju.
Pemandangan anak-anak sekolah dengan berjalan kaki setiap hari terlihat di Dusun Yeh Selem, Dusun Lebah Mantung dan Dusun Laba Amertha serta Dusun Kembang Sari.
Di Desa Pangkungparuk, hanya ada tiga sekolah dasar, yakni SDN 1 Pangkungparuk (hasil regrouping dengan SDN 2 Pangkungparuk) yang terletak di pusat desa atau Dusun Pangkungparuk, SDN 3 Pangkungparuk yang terletak di Dusun Laba Amertha serta SDN 4 Pangkung Paruk di Dusun Kembang Sari.
Jarak antar dusun itu juga cukup jauh dan harus menyusuri jalan dengan medan naik turun. Namun desa yang begitu luas dengan karakter perbukitan ini membuat anak-anak sekolah di desa ini harus berjalan kaki menuju sekolah. Tidak ada transportasi umum di desa ini, kecuali jasa ojek dengan biaya yang cukup tinggi bila menggunakan jasanya.
Ada siswa yang tinggal di Dusun Laba Amertha harus bersekolah di SDN 1 Pangkungparuk yang terletak di pusat desa. Jarak antara Dusun Laba Amertha dengan pusat desa kurang lebih 3 kilometer. Sementara SDN 3 Pangkungparuk yang terletak di Dusun Laba Amertha siswanya juga banyak yang berasal atau tingga di Dusun Lebah Mantung dan Dusun Yeh Selem. Dua Dusun ini adalah dusun yang berada di perbukitan. Jaraknya menuju SDN 3 Pangkungparuk kurang lebih 5 kilometer.
“Belum lagi mereka yang tinggal di pelosok pedalaman di Dusun Yeh Selem maupun Lebah Mantung. Jaraknya sangat jauh. Ini salah satu kendala bagi anak-anak disini,” seorang warga setempat, Nyoman Karuna.
Karuna memaparkan, kadang kendala jarak ini menjadi sangat penting dan berdampak pada keengganan anak-anak untuk tetap bersekolah. Karena jarak yang ditempuh cukup jauh juga sering anak-anak dusun di Pangkungparuk telat memasuki usia sekolah.
“Disini banyak anak sekolah yang berumur 8 tahun baru memasuki bangku sekolah di kelas 1 SD. Kadang-kadang orang tua juga kasihan kepada anak-anaknya harus berjalan kaki di usia yang masih kecil. Akhirnya pilihan bagi orang tua harus menyekolahkan anak-anaknya pada umur 8 tahun, telat yang penting sekolah dulu dan bisa baca tulis.” Katanya.
Jika menggunakan jasa ojek cukup mahal, sementara banyak warga di dusun-dusun pelosok di Desa Pangkungparuk dengan kondisi ekonomi kurang mampu. Satu kali antar menuju sekolah Rp.5.000 sampai Rp.10.000, jika pulang pergi bisa mencapai Rp.20.000. “Biaya Ojek sangat mahal, orang tuanya pasti kurang mampu untuk membiayainya,” tambah Karuna.
Akhirnya, kondisi ini berdampak pada keberlangsungan pendidikan anak-anak di dusun-dusun di Desa Pangkungparuk. Terkadang pilihan masyarakat setempat cukup menyekolahkan anak-anaknya pada tingkat sekolah dasar saja.
Inilah salah stau penyebab banyaknya anak-anak yang mengalami drop out di Desa Pangkungparuk sejak dulu. Bahkan, diduga dalam beberapa kasus banyak anak-anak usi sekolah yang putus sekolah juga mengalami buta akasara atau tidak bisa baca dan tulis.
Made Muliani, salah satu anak siswa SDN 1 Pangkungparuk yang setiap hari berjalan kaki dari rumahny di Dusun Laba Amertha. Karena kendala jarak ini, Muliani mengaku sering juga tidak bisa bersekolah. Dia harus berjalankakai kurang lebih 4 kilometer dari jarak rumahnya. “Sekolahnya jauh pak, Kadang sering telat juga sampai sekolah,” ujar Muliani ketika ditemui di jalan saat pulang sekolah dengan berjalan kaki bersama sejumlah temannya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng sejauh ini belum mempunyai data yang valid atau resmi terkait dengan jumlah angka putus sekolah di Buleleng.
Kepala Dinas Pendidikan, Gede Suyasa mengaku pihaknya sedang merancang program bus sekolah bagi anak-anak siswa yang terkendala dengan jarak dan transportasi. Diakuinya kendala jarak dan transportasi ini menjadi salah satu pemicu siswa menjadi drop out.
Program bus sekolah ini baru bisa terlaksana pada tahun ajaran baru 2016/2017 karena pihaknya masih harus melakukan pendataan untuk anak-anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena masalah jarak sekolah dan kendala sarana trasnportasi ini.
“Tidak untuk semua siswa, program ini hanya berlaku untuk anak anak yang memang jarak antara rumah dan sekolah jauh, dan orang tuanya tidak memiliki transportasi untuk mengantar ke sekolah. Untuk saat ini, kami masih melakukan pendataan terkait dengan jumlah siswa yang nantinya bisa menikmati program tersebut. Kami masih harus mendata jumlah siswanya dn jumlah drop out,” ungkap Suyasa.
Suyasa mengatakan, dana untuk program ini telah dipasang dalam pagu anggaran di Dinas Pendidikan Buleleng tahun 2016. Namun secara teknis, Dinas Pendidikan tidak akan membeli kendaraan namun menerapkan sistem sewa kendaraan. “Nanti kendaraan yang kita sewa itu tugasnya menjemput siswa dan mengantar siswa bersangkutan ke sekolah maupun ke rumah,” kata Suyasa saat diskusi pendidikan Buleleng Education Expo (BEE) di Gedung Laksmi Graha, Rabu (4/5).
Program ini akan diupayakan juga menyasar seluruh siswa mulai SD, SMP dan SMa sehingga natinya angka drop out bisa ditekan serendah mungkin. |NP|RM|