Rumah dan kebun milik Fatahilah yang terkena dampak pembangunan jalan batas baru Singaraja Mengwitani |FOTO : Edy Nurdiantoro|
Singaraja, koranbuleleng.com | Fatahilliah warga Banjar Dinas Kubu Tumpang, Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng harus ikhlas sebagian kebun cengkeh dan rumahnya kena imbas pembangunan jalan batas baru Mengwitani – Singaraja atau Shortcut untuk titik 7 dan 8.
Pria 32 tahun ini sempat menolak proses ganti untung yang diberikan pemerintah lantaran harga yang ditawarkan tidak sesuai. Menurutnya, proses ganti yang diberikan masih belum maksimal dengan hitung-hitungan yang ia ajukan.
Meski sudah mendapatkan nilai ganti namun hal tersebut masih belum terhitung semua dari segi kehilangan pohon cengkeh miliknya. Padahal dari pohon cengkeh tersebut lah ia sekeluarga bisa bertahan hidup.
Ditemui di rumahnya, Fatahillah mengaku masih ada beberapa pohon cengkeh yang belum dihitung oleh pemerintah. Dari total 65 pohon cengkeh miliknya, sekitar 24 pohon yang belum terhitung. Padahal ia telah memperjuangkan hampir setahun lebih agar bisa diganti rugi.
“Kebun saya seribu lima puluh lima meter terkena jalur shortcut. Itu kebanyakan pohon cengkeh. Masih ada sisa kebun saya, tapi tempatnya di dekat jurang,” katanya
Yang menjadi masalah adalah, ketika pohon cengkeh miliknya masih sangat produktif harus di tebang. Padahal satu pohon tersebut bisa menghasilkan Rp 1 juta hingga Rp2 juta setiap tahun. Sedangkan untuk mengulang menanam pohon memerlukan waktu hingga 6 tahun. Itu pun baru proses belajar untuk berbunga.
Apalagi kerjaan utama adalah berkebun, hanya ada sampingan ketika ada warga setempat meminta jasanya untuk menebang pohon, itu pun tak bisa terjadi setiap hari.
“Kita dikasih uang sekaligus. Untuk kedepanya bagaimana? saya punya anak istri. Belum lagi beli tanah, bangun rumah. Kalau pohon cengkeh kan bisa ada hasil setiap tahun.” lanjutnya
Bapak empat anak ini pun berharap, agar pohon cengkeh yang belum terhitung bisa diganti oleh pemerintah. Ia bersama warga lain yang keberatan sempat beberapa kali menemui Gubernur Bali untuk mencari solusi terkait keberatan warga Desa Pegayaman. Dari hasil pertemuan itu, gubernur menjanjikan akan memberikan ganti rugi.
Namun dari pihak warga yang keberatan harus membuat proposal dan membentuk kelompok tani agar bisa diberikan bantuan atau bansos. Namun sampai saat ini ia menunggu dan belum menerima kabar kapan akan diberikan bansos tersebut.
“Sudah membentuk kelompok. Mengajukan proposal sudah. Hanya saja belum keluar.” Lanjutnya
Selain pohon cengkeh, rumah miliknya juga terkena dampak pembangunan. Meski demikian, sampai saat ini ia masih menempati rumah tersebut. Beda dengan warga lainnya, yang sudah sebagian besar pindah dan membangun rumah baru.
Untuk rumah, ia mendapat ganti untuk sebanyak Rp600 juta, meski demikian, awalnya dia hanya mendapat ganti rugi sebanyak Rp90 juta. Karena tidak sesuai ia pun berusaha kembali berjuang agar bisa sesuai dengan nilai rumahnya. Hingga akhirnya mendapat kesepakatan dengan harga Rp600 juta
Ia pun tak mengerti kenapa harga per meter tanah bisa dihargai berbeda-beda padahal lokasinya sama. Beda dengan pohon cengkeh yang hampir semua dihargai Rp1.4 juta padahal jika dilihat pohon-pohon masih sangat-sangat produktif.
“Beda harga tanah ada yang seratus lima puluh ribu per meter, ada yang tiga ratus per meter. Padahal satu lokasi. Itu saya juga tidak ngerti” ungkapnya
Meski keberatan, ia berusaha ikhlas dengan apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Saat ini, ia telah membeli tanah seluas 2 are seharga Rp 105 juta. Nantinya rumah tersebut akan ia bangun untuk tinggal bersama keluarganya.
“Saya sudah beli tanah, masih di desa Pegayaman. Nanti belum di bangun lagi itu. Biaya tambahan untuk masuk alat-alat , karena disini kan akses jalan susah. Jadi lumayan mahal biaya tambahan. Tapi mau bagaimana lagi. Kita harus terima. Ya mulai dari nol lagi” ungkapnya
Disingung terkait adanya pemberitahuan akan di bangun shortcut, ia mengaku tidak tahu sama sekali awalnya. Yang ia tahu ketika petugas datang membawa patok kayu dan mencampakan di wilayah jalur shortcut.
Setelah itu, baru kemudian warga diundang untuk membahas masalah adanya jalur shortcut. Dari pertemuan awal tersebutlah banyak kekurangan yang ditemukan, sehingga ia sempat mendatangi Kejari Buleleng, Kantor DPRD Buleleng, Bapak Bupati Buleleng hingga LSM untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Hanya saja, sampai sekarang masih ada warga yang masih keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan.
Sementara itu, Safrudin, 32 tahun, warga yang juga keberatan dengan hasil ganti rugi yang diberikan, mengaku sampai saat ini masih memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Ia bersama warga lainya terus berkoordinasi dengan Wakil Ketua Komisi IV DPRD Buleleng H Mulyadi Putra untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Saat ini, rumah dan kebunnya sudah diberi ganti rugi, hanya saja, nilainya sangat kecil. Tanah seluas 220 meter miliknya hanya dihargai sekitar Rp. 50 juta. Menurutnya, harga yang berbeda-beda yang diberikan menjadi pertanyaan buatnya.
Rumah semi permanen warga lain bisa dihargai sampai 300 juta. Padahal rumahnya yang ia miliki tak jauh beda dengan rumah semi permanen lainya.
“Dibandingkan dengan rumah lain harganya kok beda-beda, padahal jenis rumahnya sama, semi permanen” akunya
Saat ini, ia masih memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Awalnya ada sekitar 50 warga yang keberatan. Namun semakin hari, semakin berkurang. Hal tersebut ia curigai ada permainan yang dilakukan petugas.
Ia pun mengaku banyak mendapat intimidasi dari oknum-oknum tertentu. Ia sering mendapat tekanan agar bersedia menerima jumlah yang sudah diberikan pemerintah. Mulai dari ancaman rumahnya digusur hingga tak dapat uang sepeserpun. Hal tersebut kemungkinan menyebabkan banyak warga yang akhirnya menerima apa yang sudah ditentukan.
“Saya banyak dapat intimidasi agar menerima semua. Mulai dari ancaman tidak dapat apa-apa. Mungkin warga lain ditakut-takuti seperti itu sehingga akhirnya mereka menerima” akunya
Ia pun berharap masalah ini bisa selesai dengan baik, agar kedepan tidak menimbulkan keributan di masyarakat. Ia pun tidak menolak adanya pembangunan shortcut, hanya saja dengan apa yang ditawarkan pemerintah hal tersebut masih sangat jauh dari kata layak.
“Saya tidak menolak, kalau sudah sesuai tidak mungkin kami seperti ini. Sampai rela ke Jakarta Hanya untuk menyelesaikan ini. Agar hak kami bisa di dapat,” pungkasnya.
Sekedar informasi, pembangunan jalan Shortcut Mengwitani – Singaraja pada titik 7A, 7B, 7C, titik 8 serta pembangunan anjungan pandang telah dimulai dengan ditandai peletakan batu pertama oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, di Desa Wanagiri, Kamis 2 September 2021. |ET|