Singaraja, koranbuleleng.com| Hiruk pikuk ritus Nyepi mulai berasa sejak beberapa hari lalu. Melasti menjadi momen pertama sebagai pertanda datangnya Hari Suci Nyepi. Ritual mengiring pratima/arca ke laut hingga tuntas pada ngembak geni ini dimaknai menjaga api persaudaraan sesama manusia.
Momentum lainnya yang menjadi rangkaian adalah pelaksanaan Pecaruan saat hari pengerupukan yang dilaksanakan sehari menjelang Hari Suci Nyepi. Salah satu yang melaksanakan adalah Desa Adat Buleleng yang dipusatkan di Catus Pata Pasar Buleleng. Usai pelaksanaan pecaruan, lanjut membagikan Tirta Caru dan Surya yang akan dimanfaatkan pada Pura, Merajan atau di rumah masing-masing.
Sebenarnya, salah satu yang menjadi penantian ketika Nyepi tiba adalah diwaktu petang hingga malam menjelang saat pengerupukan. Dikala itu masyarakat pada masing-masing Banjar Adat biasanya akan mengarak ogoh-ogoh. Sebuah patung berwujudkan Bhuta Kala yang diarak keliling dan kemudian dibakar, sebagai pertanda Nyomya.
Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1944 akan jatuh pada “penanggal pisan” (tanggal satu) sasih “kedasa” (10) atau tepatnya sehari sesudah “tilem” (bulan mati) “kesanga” (sembilan) sesuai dengan perhitungan kalender Saka. Pada kalender masehi, Nyepi jatuh pada 3 Maret 2022. Umumnya, umat Hindu di seluruh Indonesia merayakan Nyepi dengan semarak.
Akademisi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja I Made Bagus Andi Purnomo menjelaskan, perayaan Nyepi tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Nyepi di masa pandemi COVID-19 tak memberikan keleluasaan gerak umat Hindu dalam hal mengespreksikan laku spiritualnya dalam ritus keberagamaan.
Namun jika merujuk pada konteks religius, Hari Suci Nyepi bermakna proses penyucian “bhuwana Agung” (alam semesta) dan “bhuwana alit” (diri manusia) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Selain itu, pada aspek sosial budaya, nyepi dapat dimaknai sebagai wahana integrasi umat, terlihat saat umat Hindu bersama-sama melaksanakan setiap derap langkah keberagamaan dalam bingkai upakara (ritual).
Selanjutnya, aspek tata susila (etika), nyepi dimaknai sebagai laku kerja sesuai dengan teks dalam susastra Hindu dimana melalui kerja yang baik (subha karma), manusia akan dapat menolong dirinya sendiri dari “samsara” atau kelahiran berulang-ulang menuju alam pembebasan (moksa).
“Mari kita telusuri makna Nyepi secara lebih substantif lagi. Jika dicari ekstraksi atau makna paling dalam dari istilah penyucian diri, integrasi diri, pemaknaan laku kerja akan berujung pada satu konsep yakni pengendalian diri. Adapun pengendalian disini adalah usaha untuk melawan ego dalam diri,” jelasnya.
Bagus Andi Purnomo mengatakan, mengutip dari Kamus Filosofi Hindu Britanica, bahwa istilah ego dikenal dengan “ahamkara”. Dalam istilah Bahasa Sansekerta dimaknai “aku berkata,” atau “aku membuat”. Selanjutnya, dalam “samkhya” dalam salah satu aliran filsafat Hindu, “ahamkara” mengacu pada harga diri yang berlebihan atau egoisme.
Konsep ahamkara berasal dari empat macam istilah yang dikenal dengan “suksma sarira” atau badan halus yakni “citta”, “buddhi”, “manah” dan “ahamkara”. “Citta” adalah unsur yang paling dekat dengan atma (jiwa) itu sendiri. Bahasa ilmu psikologi dikenal dengan intuisi atau nurani. “Buddhi” adalah bagian kesadaran intelektual yang mengandung prinsip kebenaran.
“Adapun perasaan humanis yang membedakan jiwa manusia dibandingkan jiwa hewan dan tumbuhan adalah “buddhi” itu sendiri. Selanjutnya, “manah” adalah kehendak atau kemauan dari pikiran serta kemampuan untuk bertahan hidup di dunia. Sementara, “ahamkara” adalah ego atau pribadi diri yang dikendalikan oleh indria,” ucapnya.
Bagus Purnomo melanjutkan, sejatinya pelaksanaan catur brata penyepian atau empat pertapaan yang dilaksanakan saat nyepi adalah wujud realisasi dari pengendalian ego itu sendiri. “Amati karya” atau tidak bekerja dimaknai sebagai membatasi ego manusia untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk memenuhi indria. “Amati gni” artinya tidak boleh menghidupkan api. Adapun api sendiri adalah sumber kehidupan yang bisa digunakan untuk memasak dan menghasilkan makanan. Dengan tidak menyalakan api. Maka, kita diajarkan untuk menahan lapar. Mengendalikan keinginan untuk menikmati melalui indria.
Selanjutnya,”amati lelungan” atau tidak boleh bepergian. Indria kita dibatasi agar duduk dan kontemplasi diri. Melihat ke dalam diri, bukan lebih sering melihat keluar. Terakhir adalah “amati lelanguan” atau tidak menikmati hiburan. Indria dilatih untuk seimbang dalam suka dan duka. Pada saat nyepi, indria diajarkan untuk menafikan keinginan untuk hanya menikmati suka dalam setiap laku kehidupan.
“Meminjam istilah Sadguru, seorang tokoh Hindu termasyur yang telah berkeliling hampir ke seluruh pelosok dunia memiliki konsep istilah “ego sosial”. Adapun ego sosial adalah ego yang ada pada masyarakat. Untuk setiap hal kecil, kadangkala seluruh masyarakat menjadi kesal,” ujarnya.
Sekretaris Jurusan Dharma Duta STAHN Mpu Kuturan ini melanjutkan, secara aplikatif, nyepi saat ini hendaknya juga harus dimaknai sebagai “genjatan senjata” berperang melawan ego sosial terutama di media sosial. Ego sosial harus diperangi karena keadaan medsos saat ini serba tak jelas.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan 9.546 hoaks telah tersebar di berbagai platform media sosial di Internet. Data itu terangkum dalam kurun tiga tahun mulai Agustus 2018 hingga awal 2022. Hal itu menjadi bahan pertimbangan agar (netizen) mampu mengendalikan ego untuk tidak cepat-cepat menuduh pihak tertentu bersalah secara sosial.
Bukan hanya itu saja, ego sosial untuk menghakimi seseorang di balik akun tak jelas dan ketiadaan bertemu secara fisik juga harus dihindari. Masyarakat harus mengutamakan netiket. Istilah netiket sendiri adalah etika dalam ruang digital.
“Etika pada ruang medsos hendaknya sama pentingnya dengan etika di ruang nyata, bahkan bagaimana kita berperilaku di ruang digital harus selaras dengan kehidupan sehari-hari. Inilah makanya, Hari Suci Nyepi kali ini sangat tepat dijadikan momen untuk perang melawan ego social,” tegasnya.
“Hendaknya harus menjadi renungan bersama. Maka, Nyepi tahun ini harus dimaknai lebih substantif sebagai resolusi pengendalian ego pribadi dan sosial, bukan hanya pada tataran semarak ritus yang berlalu tiap tahun semata,” tutupnya. (*)
Kobtributor : Putu Rika Mahardika