Singaraja, koranbuleleng.com | Arus lalu lintas di simpang empat Pasar Sangsit seringkali padat. Kendaraan berdatangan dari arah barat maupun timur, terutama pagi hari.
Lalu-lalang disana bukan hanya karena warga melakukan persinggahan untuk transaksi di pasar Sangsit, namun jalur tersebut adalah jalan bagi warga yang tinggal di sekitar pemukiman pasar.
Simpang pasar itu menjadi pertemuan lalu-lintas bagi banyak warga yang mengantar anak sekolah, atau pelajar yang hendak menuju SMAN 1 Sawan di sisi selatan Pasar Sangsit, ditambah lagi warga yang menuju kantor, hilir mudik melintas. Belum lagi pengunjung di Pasar Sangsit yang membuat arus lalu lintas kian ramai.
Di antara hiruk pikuk tersebut, Made Dastra, 45, tampak sibuk mengatur arus lalu lintas. Dia juga sibuk mengatur parkir pengunjung pasar. Pria yang tinggal di Banjar Dinas Peken, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan itu merupakan salah seorang juru parkir di Pasar Sangsit. Mengatur parkir dari arus lalu lintas sudah jadi pekerjaan rutinnya saban hari.
Dastra sudah menggeluti pekerjaan sebagai tukang parkir di Pasar Sangsit sejak tahun 2013 silam. Semula dia memilih merantau di Denpasar, bekerja sebagai buruh serabutan. Dia juga sempat menjadi pembantu rumah tangga di ibukota. Akhirnya dia memilih pulang kampung. Alasannya Dastra ingin lebih dekat dengan keluarga. Ditambah lagi pendapatan di rantau tidak menentu. Sebelum bekerja sebagai juru parkir, dia pernah mencoba sejumlah pekerjaan lain. Sebut saja bekerja menjadi buruh bangunan, karyawan toko, buruh cuci motor, dan akhirnya ia berlabuh menjadi juru parkir di Pasar Sangsit.
Di atas kertas, pekerjaan utamanya hanya menjadi tukang parkir. Namun mau tidak mau dia juga harus turun tangan menyeberangkan pengunjung maupun mengatur lalu lintas kendaraan di Jalan Raya Singaraja-Kubutambahan. Maklum saja, simpang Pasar Sangsit dikenal sebagai pusat kemacetan di Kecamatan Sawan. Apalagi pada jam-jam berangkat sekolah atau bekerja.
Setiap hari pada pukul 05.00 pagi, Dastra harus siaga di sekitar pasar. Dia harus mengatur kendaraan pengunjung yang datang ke pasar. Mulai jam 06.30 pagi hingga jam 07.30 pagi, kepadatan kendaraan mencapai puncaknya. Pada jam tersebut dia harus pintar-pintar membagi tugas. Bila terlalu fokus mengatur lalu lintas, dia kehilangan retribusi pembayaran parkir. Namun bila terlalu fokus mengejar retribusi, kemacetan tak terhindarkan. “Terkadang pengemudi dan pengguna jasa parkir enggan mengikuti aturan. Kami seringkali harus menghadapi situasi yang sulit,” cerita Dastra. Situasi sulit yang dimaksud adalah pengguna sepeda motor yang mengebut. Pengunjung pasar yang parkir semaunya sendiri tanpa mau diatur. Ditambah lagi pengunjung yang enggan menyeberang di zebra cross. Perilaku tidak disiplin itu membuat kondisi lalu lintas makin semerawut saja.
Apabila terjadi kemacetan, dia harus menerapkan sejumlah skema pengaturan lalu lintas. Skema yang paling sering dilakukan adalah melakukan buka tutup. Pengendara dari arah timur dan barat diminta melintas bergantian. Acap kali dia melambaikan tangan sebagai tanda agar pengemudi lebih berhati-hati.
Sebagai juru parkir, pendapatannya tidak menentu. Bila pengunjung ramai, dia bisa mengantongi retribusi sebanyak Rp120 ribu hingga Rp150 ribu per hari. Selanjutnya dia harus menyetor ke pengelola pasar sebanyak Rp75 ribu per hari. Sisanya masuk menjadi uang pribadi. “Sisanya paling Rp 65 ribu per hari. Ini yang saya gunakan membeli beras. Belum untuk uang jajan anak dan keperluan lain. Cukup nggak cukup, ya dicukupkan,” kata Dastra.
Ayah satu anak itu, menyadari pekerjaannya sebagai juru parkir risiko tinggi. Dia pernah diserempet kendaraan roda dua pada saat bekerja, Dia juga berharap kedepannya bisa mendapat perhatian jaminan sosial, berupa kesehatan.
Sementara itu Kepala Pasar Sangsit, Putu Romel, 55, mengatakan juru parkir yang bertugas di areal Pasar Sangsit wajib menyetor retribusi sebanyak Rp75 ribu per hari. Mereka bisa saja menyetorkan retribusi tiap dua hari atau tiga hari sekali. “Misal dua hari atau tiga hari sekali. Kita mengerti mungkin mereka ada keperluan. Tetapi tidak boleh lewat dari tiga hari,” ucap Putu Romel. Menurutnya sisa dari uang setoran, menjadi hak juru parkir. Selain itu, mereka juga mendapat upah pungut sebanyak Rp250 ribu per bulan dari Dinas Perhubungan Buleleng.
Romel tak menampik jika juru parkir di sana beresiko tinggi. Mereka juga belum terlindungi jaminan sosial. Entah itu jaminan kesehatan maupun jaminan sosial tenaga kerja. Pihak pasar menganjurkan agar juru parkir mengikuti program jaminan sosial secara mandiri. “Kalau ada petugas juru parkir yang ingin dibantu untuk mendapatkan KIS yang ditanggung oleh pemerintah, kami siap membantu untuk mengurusnya,” demikian Romel. (*)
Kontributor : Komang Adi Prasetya
Editor : I Putu Nova Anita Putra