Singaraja, koranbuleleng.com | Saat Hari Raya Galungan, Bali identik dengan penjor yang menjulang di sepanjang jalan. Namun, suasana berbeda terasa di Desa Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Di desa ini, tidak ada satu pun penjor terpasang. Tradisi yang terkesan ‘tidak umum’ ini justru menyimpan makna niskala yang diyakini masyarakat setempat secara turun-temurun.
Kelian Desa Adat Busungbiu, Gede Yasa, menjelaskan bahwa sejak zaman leluhur, warga Desa Busungbiu tidak memasang penjor secara fisik karena desa ini sudah memiliki penjor niskala bernama penjor mesampian emas. Keberadaan penjor niskala ini diyakini secara simbolik termanifestasi dalam bentuk candi paduraksa di Pura Puseh Desa Busungbiu. Konon, di masa lampau, candi itu memiliki hiasan emas sebesar butiran telur di bagian ujungnya.

“Saya sejak kecil sudah mendapat pemahaman bahwa di Busungbiu tidak memasang penjor karena sudah ada penjor secara niskala, penjor mesampian emas,” ujar Gede Yasa, Rabu (23/4/2023).
Sebagai pengganti penjor fisik, masyarakat Busungbiu menggunakan banten tetegenan dalam upacara Galungan. Banten ini merupakan bentuk sesajen khas yang menggambarkan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatari Hyang Tamuwuh. Semua hasil bumi disusun dalam banten ini sebagai persembahan kepada penguasa alam dan hutan.
“Makna antara penjor dan banten tetegenan ini saling berkaitan. Mungkin leluhur memilih untuk tidak membuat penjor dalam bentuk bambu berdiri, melainkan dengan tatanan yang lebih sederhana melalui tetegenan,” ungkapnya.
Tradisi ini diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Meskipun belum ditemukan prasasti yang mencatat larangan memasang penjor, masyarakat tetap menjaga tradisi ini dengan penuh penghormatan. Bahkan tidak hanya saat Galungan, banten tetegenan digunakan dalam berbagai upacara adat lainnya.

Suasana Galungan di Busungbiu pun terasa lebih sakral. Tanpa penjor, umat tetap melangsungkan persembahyangan dengan khusyuk. Tidak ada kemeriahan visual seperti di desa lain, tetapi nilai-nilai spiritual tetap dijaga dalam wujud yang lebih dalam dan sederhana.
“Sebagai tetua desa, kami memaknai setiap kegiatan adat dengan sarana upacara yang ada, meskipun berbeda dengan desa lain,” pungkas Gede Yasa.
Tradisi ini menjadi bukti bahwa kekayaan budaya Bali bukan sekadar apa yang terlihat mata. Busungbiu memberi contoh bahwa makna spiritual dalam perayaan keagamaan bisa hadir dalam bentuk yang tak kasat mata, namun tetap utuh dalam nilai dan keyakinan. (*)
Kontributor: Putu Apriliana Savitri Dewi (Mahasiswa IAHN Mpu Kuturan)
Catatan : Berita ini ditayangkan untuk melengkapi tugas mata kuliah di IAHN Negeri Mpu Kuturan, Singaraja. Tulisan ini telah melalui seleksi dan tahapan editing agar sesuai dengan kaidah jurnalistik. Kami terbuka menerima tulisan hasil reportase dari mahasiswa dan harus mengikuti ketentuan/kebijakan redaksi kami.