Singaraja, koranbuleleng.com | Pemkab Malang sedang giat menggandeng Pemkab Buleleng untuk menemukan catatan sejarah yang hilang, terkait dengan hubungan kedekatan Singaraja dengan dengan Singasari (Kerajan Singasari) di masa lampu.
Dari hal itu, proses literasi terus digelar, salah satunya mengundang berbagai pakar sejarah, akademisi dan sejumlah tokoh masyarakat adat di Buleleng dalam rangkaian festival literasi Singasari di Hotel Bali taman, 24 Oktober 2016.
Salah satu peneliti, Ngurah Parmartha mengungkapkan bahwa jejak masa lalu antara Kerajaan Singasari dan Buleleng ada kaitanyya. Jejak-jejak hubungan kedua wilayah ini ditemukan diberbagai pura di Buleleng seperti Pura Penegil Dharma, Pura Gambur Anglayang dan beberapa pura di wilayah Desa Bulian, Desa Kubutambahan. Sejumlah relief dan pahatan atau ukiran khas di pura-pura ini sangat identik dengan relief-relief di Candi Jago, yang ada di Kabupaten Malang.
Candi Jago ditengarai merupakan sebuah monumen yang menjadi saksi penobatan dua raja, Ranggawauni Djajagu Anusapati dan Mahes Cempaka. Ranggawuni Djajagu Anusapati keturunan dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes, sementara Mahesa Cempaka putra dari Mahes Wungu Teleng dari keturunan Ken Arok dan Ken Dedes.
“Literasi yang kami buat ini sebuah proses panjang, 24 tahun sehingga saya temukan ada jejak yang terputus dari Mahesa Cempaka. Ada hubungan yang menarik dan ini akan jadi isu global. Indonesia punya sejarah besar. Tetapi selama ini sejarah yang diterima hanyalah pertempuran, penyerangan dan sejenisnya. Begitupun soal Singasari ada sejarah bunuh membunuh padahal tidak seperti itu. Disitu ada proses pergantian yang wajar tahta secara wajar,” terang Ngurah Paramartha yang juga ahli bidang pariwisata.
Di Candi Jago, kata Ngurah Paramarta literasinya terjawab selama 24 tahun. Jika dalam prasasti Mula Manurung, ada sejarah yang terputus dari Mahesa Cempaka, padahal ada perjalanan sejarah lain dimana Mahesa Cempaka sempat melakukan perjalanan di wilayah Utara Pulau Bali dan sampai ke Peru.
Konon, Di Bali Mahesa Cempaka ini dikenal sebagai Nara Singa Murthi. Pada jaman ini, dibangun jejak pelabuhan yang bernama Kuti Baning atau sekarang lebih dikenal sebagai Pura Negara Gambur Anglayang.
Pura Gambur Anglayang ini menjadi salah satu jejak dari Mahesa Cempaka, keturunan dari raja-raja Singasari. Dulunya, kawasan-kaawasan di Buleleng timur adalah pelabuhan-pelabuhan besar, dand iudga bali adalah bagian dari Pulau Jawa di kala itu.
“Nah literasi ini panjang, tidak akan berhenti. Bisa jadi pada tahun ketiga akan muncul buku dari literasi-literasi Singasari ini. Setelah itu akan berlanjut lagi dan tidak akan berhenti,”terang Ngurah.
Setelah literasi di SIngaraja, tim Literasi Singasari ini akan berangkat ke Vietnam dan Peru untuk melanjutkan mencari jejak sejarah lainnya terkait dengan perjalanan sejarah Singasari yang diduga menjadi akar terbentuknya nusantara saat ini.
Sementara itu, Ketua DPRD Malang Hari Sasongko mengatakan selama ini sejarah yang ada di Indonesia ini peninggalan sejarah Belanda. TErnyata dalam prasasti sebenarnya tidak ada bunuh membunuh selama tujuh turunan.
‘Sejarah memang perlu diluruskan, siapa yang meluruskan ya kita-kita ini. Tidak ada bunuh membunuh di Singasari selama tujuh turunan itu, kalau ada pergolakan iya. Tetapi pergolakan itu biasa dalam sebuah pergantian kepemimpinan. Sama halnya seperti sekarang ini, tapi tidak ada bunuh membunuh. Itu semua sejarah buatan Belanda, ya harus diluruskan,”jelas Hari Sasongko.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Nyoman Sutrisna mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya literasi ini sebagai satu wujud kerjasama pengungkapan sejarah serta kerjasama bidang birokrasi dan program antar pemerintah.
Disbudpar Buleleng menganggap positif karena kedepan, jejak-jejak sejarah yang ditemukan ini bisa menjadi program wisata heritage antar daerah.
“Dalam berbagai sisi, kita punya kesamaan dengan Malang. Tentu sisi lain harus juga diperdalam sehingga semua bidang kita bisa ungkap dengan baik dan akan menjadi modal kerjasama regional baik dibidang ekonomi, wisata dan budaya serta yang lain,” terang Sutrisna. |NP|