3 Buku, 3 Penulis, 3 Doktor Pembedah di HUT Singaraja ke-412

Singaraja | Hari ini, tersirat aura istimewa di ruang pertemuan rumah dinas Bupati Buleleng, di Jalan Ngurah Rai, Singaraja Senin (21/3). Sebuah acara peluncuran dan bedah buku dari tiga orang penulis yang berkiprah di Buleleng digelar disini. Aura istimewa pun ini tersirat karena ketiga penulis ini adalah sastrawan-sastrawan yang kerap mewarnai dunia sastra Indonesia.

Buku yang diluncurkan antara lain buku kumpulan cerpen dengan judul “Perempuan Tanpa Nama” hasil karya Kadek Sonia Piscayanti.  Buku kumpulan naskah drama berjudul “Cupak Tanah” hasil karya Putu Satria Kusuma, dan kumpulan esai kuratorial seni rupa berjudul “Eksplo (ra)si Tubuh” hasil karya Hardiman.

- Advertisement -

Bedah buku juga mengundang pembciara Universitas Pendidikan Ganesha yaitu Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum, Dr. I Gede Artawan, M.Pd serta Dr. I Wayan Artika, M.Hum. Ketiganya adalah doktor yang juga sangat dikenal dekat dalam dunia Sastra dan Jurnalisme di Indonesia. Peluncuran dan bedah buku sengaja dirangkai dengan HUT kota Singaraja ke – 412.

Alasannya, momen ini bisa digunakan untuk menularkan sikap kritis dan untuk memacu warga Buleleng untuk terbiasa memunculkan ide dan kreatifitas. Buleleng harus dipromosikan dengan cara lain yakni melalui buku, melalui kegiatan-kegiatan sastra dan seni.

Ketua Panitia Peluncuran dan Bedah Buku, Made Adnyana Oleh yang juga serang sastrawan |Foto ; Nova Putra|
Ketua Panitia Peluncuran dan Bedah Buku, Made Adnyana Oleh yang juga serang sastrawan |Foto ; Nova Putra|

Seperti kata Ketua Panitia Acara Bedah Buku, Made Adnyana Ole, yang berharap Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana dan masyarakat Buleleng juga tak perlu sangsi akan kiprah mereka. Mereka adalah penulis-penulis Buleleng yang handal yang sudah melanglangbuana dalam dunia sastra Indonesia. Begitupun dengan pembedahnya. Mereka mampu mengharumkan nama Buleleng dari sisi kreatifitas mereka masing-masing.

Biasanya, kata Ole jarang sekali even-even sastra seperti  ini bisa memancing ketertarikan para pejabat pemerintahan.Namun peluncuran dan bedah buku driketiga penulis ini justru mampu mengundang Bupati dan jajarannya serta sejumlah akademisi, mahaiswa dan masyarakat umum.  Karena kegiatan ini, Ole sempat menyatakan banyak teman-teman sastrawan mengatakan dirinya sakti karena mampu mengundang pejabat termasuk Bupati Buleleng untuk ikut serta dalam peluncuran dan bedah buku seperti ini.  Oleh berharap, Pemerintah daerah bisa memberi ruang bagi para penulis untuk memajukan daerah dari sisi kreatifitas sastra dan budaya.

- Advertisement -

“Putu Satria ini seorang PNS, tapi diluar itu Dia adalah Sastrawan dan pemain teater hebat dan film maker. Sebagai sastrawan dan pemain teater dia sudah berkali-kali pentas di sejumlah kota di Pulau Jawa dan Bali. Hardiman adalah sastrawan dan budayawan yang juga cukup dikenal di Indonesia. Dan Sonia, sepertinya saya kenal Dia,” canda Ole saat memberi sambutan dalam bedah buku ini.

Sonia, adalah salah satu penulis muda berbakat di Buleleng. Kiprahnya memang tak terbantahkan. Prestasinya dibidang sastra sudah selangit dan diakui oleh banyak sastrawan dan budayawan Indonesia. Dia adalah istri dari Made Adnyana Ole.

Kata Ole, agenda peluncuran dan bedah buku dari tiga penulis ini adalah cara lain untuk membangun Buleleng. Membawa nama Buleleng lebih harum dari cara pandang sastra.  Ole, penulis buku Dongeng Dari Utara ini juga mengungkapkan pembedah buku ini juga orang-orang yang punya kualitas tinggi di masing-masing bidangnya. “Tak perlu diutarakan lebih jauh, kualitas mereka sudah banyak yang tahu,” ujar Ole di sela-sela bedah buku.

Wayan Artika saat mengulas buku karya Hardiman berjudul Eksplo(ra)si Tubuh. |Foto : Nova Putra|
Wayan Artika saat mengulas buku karya Hardiman berjudul Eksplo(ra)si Tubuh. |Foto : Nova Putra|

Wayan Artika mengulas buku dari Hardiman yang berjudul Eksplo(ra)si tubuh. Dalam ulasan Artika yang berjudul Interteks dan Pledoi, menjelaskan Buku Eksplo(ra)si tubuh menjelaskan makna pameran para perupa. Ketika seorang perupa ditulis di hari pameran maka publik memperoleh kesempatan memasuki dunia kreatif.

“Bagi tradisi pemikiran barat, tidak ada sesuatu yang baru dibawah langit ini. Itulah kondisi yang dicoba digambarkan buku ini (eksplo(ra)si tubuh) tetapi di dalam perlintasan teks kita harus memiliki landasan. Apa landasannya? Apa saja bisa medis, bisa arsitektur, gaya hidup. Apapun bisa dijadikan landasan tempat kita berpijak,” papar Artika. Artika mengurai analisanya dengan sangat lugas, serta cara bertuturnya yang mudah dipahami oeh audien.

Luh Putu Sendratari membedah buku PErempuan Tanpa Nama |Foto : Nova Putra|
Luh Putu Sendratari membedah buku PErempuan Tanpa Nama |Foto : Nova Putra|

Sementara Luh Putu Sendratari yang membedah buku Perempuan Tanpa Nama juga menganalisa buku ini dengan sangat apik. Menurutnya, ketika cerpen dibaca tanpa rasa, memang tidak ada rasa apa-apa yang muncul. Namun, akan menjadi berbeda saat dia disentuh dengan dimensi kritis.  Ada gelora yang berbeda yang muncul atas pembacaan cerpen ini.

Cerpen ini perlu dibaca dengan cara pembacaaan yang kritis sebagai perempuan agar ada penegasan bahwa perlu ada counter wacana terhadap stigma yang ada selama ini bahwa apa yang dialami perempuan sebagai sesuatu yang remeh temeh, tanpa arti, biasa-biasa saja diubah menjadi tidak biasa dan bahkan dilihat sebagai tragedi kemanusiaan.

“Ini karena saya baca dengan hati, judul buku ini sangat mudah memicu kemarahan. Karena saya sadar nama itu adalah sesuatu yang urgen secara sosialogis, apalagi dipisahkan secara sekala dan niskala. Ketika ada judul Perempuan Tanpa Nama, ini apa?. Ini yang membuat penasaran. Apa yang disuarakan oleh Sonia dalam bukunya,” papar Sendratari.

Penulis buku PErempuan Tanpa Nama , Kadek Sonia Piscayanti |Foto : Nova Putra|
Penulis buku PErempuan Tanpa Nama , Kadek Sonia Piscayanti |Foto : Nova Putra|

Penggambaran dan ilustrasi dalam  buku karya Sonia juga sangat menguatkan judulnya. Namun ada kritik dari Sendratari terhadap buku ini.  “Apakah ini karena ingin menguatkan 13 tahun perjalanan karya Sonia,sehingga semua karya dimasukkan dalam buku ini.  Padahal tidak semua karya mewakili buku ini. Ambillah contoh tentang judul Kisah dari Negeri Singa. Itu jelas-jelas tidak mewakili secara literolog dari judul ini, karena Dia tidak bicara tentang perempuan tapi bicara tentang Singa dimana Singa pergi. Itu kata simbolik yang ingin ditegaskan Sonia bahwa Singaraja kehilangan tanda simbolnya yang sangat berharga,” ujar Sendratari.

Kata sendratari, judul Kisah di Negeri Singa  jika dibawa ke pemahaman oposisi biner, dua hal yang berbeda tetapi selalu ada dalam kehidupan masnuia bahwa Singa itu simbolik maskulin. Ternyata Singaraja hanya mengusung budaya maskulin selama ini, kultur feminisnya dibawa kemana?.

“Ini koreksi, kebetulan sekarang ulang tahun kota Singaraja. Karya Kisah di  Negeri Singa ini mungkin menjadi inspirasi. Singaraja bukan hanya bisa dibangun dengan kegagahan maskulin lewat kegagahan Singanya  tetapi juga harus dibangun dengan budaya feminimnya dengan berbagai cara. Saya lihat juga fenomena kekerasan, kita juga tidak tutup mata tentanghal itu. Bangkitkanlah kultur feminimnya dengan berbagai regulasi dari pemerintah,” harapnya.

Sementara itu, sesi lain Gde Artawan yang dalam ulasan buku Cupak Tanah karya Putu Satria Kusuma mengungkapkan tidak bisa dipungkiri jika Putu Satria dikatakan sebagai dramawan dalam kategori lengkap , Ia pemain drama (aktor), penulis naskah, Sutradara, membina aktor dan selalu larut dalam kegiatan drama atau teater.

Buku Cupak tanah merupakan kumpulan naskah drama yang dibuat oleh Putu Satria Kusuma. Gde Artawan mengatakan, dari naskah-naskah drama yang ditulis itu Putu Satria berupaya menulis esai kultural sebagai refleksi kegelisahannya dalam interelasi ditengah-tengah masyarakat.

Bupati Buleleng, Putu agus Suradnyana saat membuka peluncuran dan bedah buku |Foto : Nova Putra|
Bupati Buleleng, Putu agus Suradnyana saat membuka peluncuran dan bedah buku |Foto : Nova Putra|

Sementara Di sisi lain Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana mengharapkan ketiga buku ini bisa membawa nama baik Buleleng. Ia juga mengungkapkan ketiga penulis ini merupakan penulis yang sudah berpengalaman. Dengan pengalaman ini, mereka diharapkan mampu mengharumkan nama Buleleng. “Mudah-mudahan ketiga buku ini bisa membawa nama Buleleng ke kancah nasional maupun internasional. Bahkan Bu Sonia pernah mendapat penghargaan sampai di Australia,” harapnya.

Acara peluncuran dan bedah buku ini dimoderatori oleh Ida Bagus Surya Bharata serta dihadiri oleh ratusan audiens dari berbagai latar belakang.| NP|

 

 

 

 

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts