Anak-anak “Kolok” Wajib Dapat Pendidikan Layak

Singaraja, koranbuleleng.com | SDN 2 Bengkala adalah salah satu sekolah di Bali yang punya peran luar bias auntuk memberikan hak layak pendidikan kepada anak-anak tuna rungu dan tuna wicara di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali.

Di Desa Bengkala, sejak lama memang terdapat kumpulan warga dalam yang mengalami tuna wicara dan tuna rungu. Entah apa pemicunya, memang sampai saat ini masih misteri. Atau warga setempat menyatakan warga Kolok.

- Advertisement -

Terhitung sejak 19 Juli 2007 lalu, Sekolah Dasar Negeri 2 Bengkala mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) utamanya anak-anak penderita tuna rungu dan tuna wicara di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Penyelenggaraan pendidikan inklusi ini berawal dari keprihatinan pihak sekolah akan nasib anak-anak tuli bisu di Desa Bengkala yang tidak bisa mengenyam pendidikan.

Dalam perjalanannya, terwujudnya sekolah inklusi di Desa Bengkala juga tak lepas dari peran Ketut Kanta dan Nyoman Wijana. Dipercaya sebagai sekolah penyelenggara Inklusi menjadikan pihak sekolah harus memberikan perhatian ekstra untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus (ABK).

Sekolah ini tidak membedakan antara anak-anak sekolah yang normal dengan yang alami tuna rungu atau wicara. Semua ABK turut belajar bersama dengan anak-anak reguler. Sayangnya, selama ini pihak sekolah belum memiliki guru bersertifikat khusus yang menangani kebutuhan ABK tersebut.

“Saat ini tercatat ada enam orang siswa berkebutuhan khusus, dan kami tidak memiliki guru spesialis yang dibekali ilmu pendidikan luar biasa. Selama ini pendidikan bagi murid-murid ABK ditangani sendiri oleh pak Ketut Kanta dan beliau bukanlah jebolan pendidikan SLB, namun walaupun tak memiliki ijasah khusus, selain pak Kanta ABK disini tidak mau belajar,” terang kepala SD N 2 Bengkala, I Made Pariasa, S. Pd saat diwawancarai Kamis, 3 Nopember 2016.

- Advertisement -

Dijelaskan, meski kondisinya berbeda, tetapi pembelajaran tetap dilakukan bersama. Artinya siswa reguler dan siswa ABK tetap belajar dalam satu kelas yang sama. Sementara ini kurikulum yang digunakan keduanya sama. Hanya saja Standar Kompetensi Lulusan (SKL) diambil dari nilai terendah. Sehingga siswa ABK dapat memenuhi SKL yang ditetapkan sekolah.

“SKL kan ditentukan dari sekolah, kami tentukan berdasarkan nilai terendah dari tes tulis yang kami gelar sebelumnya. Jadi biasanya kalau tes tulis pertama kami bisa ukur seberapa jauh kemampuan anak tersebut. Untuk SKL mungkin bisa dibilang  standar, walaupun kami memiliki enam siswa ABK dan satu-satunya SD N penyelenggara Inklusi di kecamatan ini, mereka mampu bersaing dengan siswa reguler lainnya,” imbuhnya.

Namun untuk meningkatkan kemampuan anak didiknya, terutama siswa ABK pihaknya tak jarang memberikan pembelajaran ekstra. Sehingga mereka tidak ketinggalan pelajaran, dan dapat menyesuaikan dengan siswa reguler. Meski nihil guru khusus, pihaknya pun berkomitmen untuk menjalankan kepercayaan yang telah diberikan masyarakat. Karena SD Inklusi sendiri merupakan suatu cara memberikan motivasi dan peningkatan kepercayaan diri siswa ABK.

“Kami pun sering memberikan pembelajaran tambahan agar mereka tidak ketinggalan dengan yang lain. Bukan itu saja, bahkan jika tak mau belajar kami jemput ke rumahnya. Mereka kan anak yang di bawah standar secara nalar pas-pasan pula, ada yang tuli dan bisu. Ketimbang mereka tidak sekolah, kemudian mereka minder, kami terima, kami didik sekuat dan semampu kami, astungkara selama ini masyarakat di sini selalu mendukung program-program yang kami lakukan,” pungkasnya.

Seperti yang diceritakan Kanta kepada koranbuleleng.com, sebelum adanya sekolah inklusi, ia sudah mengadakan proses belajar mengajar bagi anak-anak tuna rungu dan tuna wicara. Dia merasa ada panggilan hati untuk segera menangani ABK, agar kelak bisa tumbuh dan berkembang layaknya anak kebanyakan.

Kanta sendiri selama ini sudah pernah menjalani pelatihan khusus untuk mengajar anak-anak tuna wicara dan tuna rungu selama setahun di Belanda. Semua warga tuli dan bisu didata khususnya anak-anak, dibantu beberapa staf pemerintahan desa.

“Merasa terketuk dan muncul kekhawatiran setelah melihat banyaknya ABK yang tak mengenyam pendidikan, mereka memang berasal dari keluarga kurang mampu. Namun jika terlambat penanganannya, maka tumbuh kembang anak tidak akan bisa maksimal, jika tidak salah waktu itu bulan Maret 2007 mulai mengajar ABK di rumah,” tuturnya.

Dirinya mengungkapkan, pendidikan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus lebih khusus dibandingkan pendidikan siswa reguler.

Ada terapis khusus kepada masing-masing siswa di tahap pertama masuk sekolah. Baru setelah itu, mereka perlahan digabungkan dengan siswa reguler. Setiap hari dipantau, jika tidak sekolah dijemput kerumahnya.

“Kita iming-imingi jajan, uang atau permen untuk menggugah semangat mereka untuk bersekolah. Namun tidak itu saja, jika mereka sudah memberikan isyarat haus dan lapar kita usahakan memberikan mereka makan dan minum, kalau tidak demikian mereka bakal kabur. Bahasa isyarat yang kami gunakan disini bukan bahasa tubuh seperti pendidikan formal SLB, tetapi bahasa alami yang mudah dimengerti oleh mereka. Ya itulah Bahasa Ibu,” ungkap Kanta.

Dirinya menyebut saat ini, ada enam anak didik yang terdaftar sebagai siswa Sekolah Inklusi di SD N 2 Bengkala. Sekarang animo masyarakat terhadap pendidikan inklusi cukup tinggi, sudah mulai sadar dan tertarik bahwa pendidikan sangatlah penting. Dari data sekarang ABK berjumlah 6 orang, kelas I ada 2 orang, kelas II ada 2 orang, dan kelas Vi juga 2orang, namun 4 orang diantaranya berasal dari Desa Bila dan Depeha

KEtut Kanta (tengah) bersama seorang mahasiswa dari luar negeri yang sedang menjalani pertukaran pelajar |Foto : Putu Nugraha Hardianta|
KEtut Kanta (tengah) bersama seorang mahasiswa dari luar negeri yang sedang menjalani pertukaran pelajar |Foto : Putu Nugraha Hardianta|

Setiap tahun sekolah ini rutin digunakan sebagai sekolah untuk kepentingan penelitian dalam pertukaran pelajar dan mahasiswa kerjasama antara Indonesia dan sejumlah negara seperti Belanda, Prancis dan negara eropa lainnya.

Britt (20 tahun) Mahasiswi dari Belanda. Dia salah satu mahasiswa yang mengadakan penelitian dalam rangka pertukaran mahasiswa Universitas Undiksha Indonesia dan Weindesheim University Nederland.

Britt menerangkan kehadiran dirinya di Indonesia untuk mengikuti  program pertukaran pelajar. Dia ditugaskan selama empat bulan belajar di Indonesia mempelajari seluk-beluk pendidikan inklusi. Selain belajar secara personal bisa menambah edukasi dan wawasan tentang dunia luar dan secara langsung bisa mengenal ragam budaya negara lain.

“Universitas kami sudah empat kali melakukan kerjasama dengan Indonesia, ada empat mahasiswa yang ditugaskan di Bali. Saya mempelajari bahasa isyarat tuli dan bisu, membandingkan bahasa isyarat di Bengkala dengan bahasa isyarat yang ada di negara kami. Banyak hal yang bisa saya pelajari, dan sangat tertarik penerapan metode pembelajaran bahasa isyarat di Bengkala,” singkatnya. |NH|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts