Bancakan, Tradisi Dari Abad ke-16 Yang Penuh Toleransi

Singaraja, koranbuleleng.com | Perayaan Hari Raya Suci Maulid Nabi Muhammad SAW di Kampung Singaraja, Buleleng berlangsung penuh dengan toleransi, Senin 12 Desember 2016. Warga muslim di kampung ini sudah terbiasa melakukan tradisi bancakan atau megibung. Yang ikut, bukan hanya dari warga muslim yang merayakan hari suci namun juga warga hindu yang ikut bersilaturahmi menyematkan kata selamat hari raya selama Hari Maulid Nabi berlangsung.

Tradisi bancakan atau megibung ini bukanlah tradisi baru, namun sudah dijalankan oleh warga setempat sejak abad ke-16. Warga Muslim dan Hindu bergabung dalam satu tempat untuk makan secara bersama-sama. Disitu, mereka tidak pernah merasakan ada perbedaan. Semua berjalan seperti biasa.

- Advertisement -

Salah satu tokoh kampung Singaraja, Agus Murjani mengatakan diperkirakan tradisi bancakan ini dibawa oleh Wali Songo saat jaman kerajaan Buleleng.

Tradisi ini sudah memperkenalkan tentang toleransi sejak dulu ketika Kerajaan Buleleng masih berdiri. Umat Islam dan Hindu sedari jaman lawas itu sudah mempererat tali persaudaraan. Ritual bancakan itu sudah menjadi tradisi turun-temurun di wilayah tersebut sejak abad ke-16.

“Disetiap perayaan hari suci, kampung kami selalu memperlihatkan toleransi antar umat beragama. Seperti Hari Raya Maulid dengan menggelar bancakan. Ini bukan kami saja yang ikut namun juga umat hindu. Mereka mengucapkan selamat hari raya dan bersilaturahmi. Kalau sudah bancakan, atau orang tahunya megibung, selalu ada umat non muslim yang ikut. Kami sudah diajarkan toleransi dari dulu. Kalau maulid, lebaran, pasti kami juga ngejot ke rekan-rekan Hindu. Semeton Puri Kanginan juga pernah ikut bancakan dengan kami,” terang Agus.

Salah satu Prajuru Desa Pakraman Buleleng, Gede Suardika membenarkan suasana penuh keakraban beragama ini. Gede yang akrab disapa Bob ini setiap tahun selalu ikut Bancakan.

- Advertisement -

“Memang sudah dari dulu seperti ini. Dari jaman kakek saya masih hidup, juga sudah begini. Setiap tahun, kami semeton Bali, pasti ikut megibung dengan nyame selam. Tidak pernah ada masalah dan kehidupan kami berjalan dengan harmonis. Ini bukan saat hari-hari besar keagamaan saja, tapi untuk upacara-upacara tertentu juga begitu. Kalau kami punya acara, nyame selam ikut ngayah. Begitu juga sebaliknya,” ujar Bob.

Kemajemukan di Kampung Singaraja memang berproses cukup lama hingga terjadi akulturasi budaya. Pola percampuran budaya itu terlihat dari pernak-pernik saat perayan Hari raya Maulid Nabi SAW tadi. Umat muslim membuat pohon telur, yang disimbolkan sebagai proses kelahiran.

Untuk membuat pohon telur itu, masyarakat setempat membuatnya di atas dulang, yang biasa digunakan umat Hindu membuat pajegan. Pada pohon telur itu juga terdapat buah-buahan sebagaimana yang ditemukan dalam pajegan

“Kami di sini menyebutnya gebogan telur. Jadi di gebogan itu bukan hanya telur, tapi juga buah-buahan seperti di pajegan itu. Buatnya juga di atas dulang. Ini sudah dari dulu seperti itu. Ada juga yang kami hiasai dengan lampion. Karena bagimana pun juga, kami ikut dipengaruhi dengan tradisi-tradisi Tiongkok,” ujar tokoh masyarakat Kampung Singaraja, Agus Murjani. |NP|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts