Tukang Batu Main Monolog, Ibu-ibu Menangis Haru

Singaraja, koranbuleleng.com | Sejatinya hanya ada satu pementasan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Minggu 12 Agustus 2018 malam. Namun apa daya, begitu pentas monolog berjudul “Aku, Perempuan Batu” yang dimainkan Watik berakhir, para ibu yang menonton langsung memeluk sang aktor, lalu mereka bertangis-tangisan.

Aksi tangis-tangisan itu seperti pementasan monolog kedua yang tak kalah menariknya dengan pentas monolog yang pertama. Tangis dan tepuk tangan saling bersahutan dalam adegan-adegan kedua monolog pada malam itu.

- Advertisement -

Monolog itu dimainkan oleh Watik asal Banyuwangi, Jawa Timur. Perempuan itu bukanlah seorang aktor. Ia hanya seorang tukang batu atau buruh bangunan yang kebetulan sedang bekerja di Singaraja.

Meski bukan aktor, Watik tampil memukau dalam pentas monolog di Rumah Belajar Komunitas Mahima, malam itu. Memang awalnya tampak agak gugup, namun selayaknya seorang tukang bangunan yang sudah menguasai seluk-beluk adonan pasir dan semen dan paham bagaimana menumpuk bata jadi tembok, ia dengan cepat beradaptasi. Dialog dan adegan kemudian berlangsung lancar.

Naskah berjudul “Aku Perempuan Batu” yang dimainkan Watik diolah dari kisah hidup Watik di desa kelahirannya di Banyuwangi.

- Advertisement -

Kisah Watik sebagai tukang batu sangat menyedihkan. ia hanya tamat SD, tidak memiliki keahlian apa-apa. Menikah usia muda, di usia belasan, lalu menjadi pekerja kasar, hanya untuk sesuap nasi.

Sebelum menjadi tukang, di Jawa ia menjadi buruh apa saja, dari buruh sabit rumput di hutan, buruh petik buah, hingga buruh angkut kotoran ternak. Dia pernah mengalami hampir tidak makan karena tidak ada uang sama sekali, pekerjaannya tidak layak dan penghasilannya sering kali minim.

Menurut Sonia, menyutradarai seorang perempuan tukang batu adalah pertama kalinya dalam karirnya sebagai sutradara. Ia mengambil idiom perempuan batu, sebab hidup Watik keras seperti batu.

“Ia bekerja keras juga seperti batu, tak kenal lelah dan tak kenal putus asa. Dan keras kepala menghidupi semua keluarga. Anak, cucu, dan ibunya sendiri,” kata Sonia.

Monolog yang dimainkan Watik ini adalah pementasan kedua dari projek tetaer dokumentar garapan Kadek Sonia Piscayanti. Watik adalah satu dari 11 ibu yang bermain monolog di tempat yang berbeda-beda di Singaraja, Buleleng, Bali.

Sebelas ibu yang lain juga ikut menonton pementasan Watik. Ibu-ibu itu seperti saudara bagi Watik. Mereka tak hanya bekerjasama dalam pementasan, melainkan juga selalu saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Begitu Watik usai pentas, ibu-ibu dari sebelas itu dan ibu penonton yang lian langsung menyerbu Watik dan mereka bertangis-tangisan. Para ibu yang menonton itu mengaku terenyuh dengan kisah yang dimainkan Watik yang  merupakan kisah hidupnya sendiri.

“Saya pikir saya tak punya saudara di Bali, namun ternyata saudara saya banyak,” kata Watik usai pementasan sambil mengusap air mata di pipinya.

Menurut Sonia, dipilihnya Watik menjadi penting bagi project teater dokumenter ini sebab ia menjadi perspektif unik yang mewakili perempuan dari kalangan sosial bawah. Seperti tujuan project ini, menjadi ruang dengar bagi perempuan, Sonia menyediakan wadah teater untuk Watik berbagi cerita.

“Pada saat pementasan itu semua mata penonton memandang hormat kepada Watik sebagai aktor. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan,” katanya.

Menurut Sonia, proses menjadikan Watik menjadi aktor tentulah bukan perkara mudah. Begitu berat prosesnya hingga Watik hampir menyerah. Pertama, tentu membaca teks naskah. Meski cerita sendiri, ketika menjadi naskah, ia menjadi naskah yang berjarak. Kedua, tentu masalah waktu. Sebagai tukang batu, masa kerjanya full dari pagi hingga sore hari.

“Waktu latihan sangat sempit. Hanya malam. Sejam dua jam. Lalu persoalan lain yaitu menampilkan akting natural,” katanya.

Meskipun ini sekali lagi tentang dirinya sendiri, Watik mengaku sulit menampilkan ceritanya. Namun semua proses itu terasa terbayar dengan pentas kemarin. Apresiasi penonton sangat baik. Bahkan sebagian besar menangis.

Terjadi pentas kedua, setelah pentas usai yaitu semua ibu dalam 11 ibu memeluk Watik yang menangis di panggung. Itulah keharuannya. Itulah teater sesungguhnya.

Tokoh teater dari Jakarta, Roy Julian dari Kantor Teater mengatakan bahwa teater yang berlatar biografis ini sangat unik dan organik. Ide project ini sangat orisinal dan menyentuh sisi lain dari pentas teater pada umumnya.

Menurut Roy, paling tidak ada 3 catatan penting yang ia lihat. Pertama, teater menjadi ruang berbagi secara psikologis dan menyentuh hingga ke dalam ruang jiwa. Kedua, ruang yang benar-benar realis tercipta sebab mereka bermain di setting keseharian mereka.

Ketiga, faktor keberanian aktor yang berani berbagi mengungkap fakta dirinya menjadi keunggulan tersendiri karena teks sangat organik dan real. Ia berharap project ini terus dikembangkan.

“Sutradara mengatakan bahwa boleh jadi project ini adalah tonggak awal bagi karir seninya mengembangkan teater dokumenter secara lebih intens dan berkelanjutan di masa depan,” kata Roy.|NP|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts