Singaraja, koranbuleleng.com| Badan Anggaran DPRD Kabupaten Buleleng mendesak Pemerintah Kabupaten Buleleng (Eksekutif) untuk menaikan lagi Rancangan Pendapatan Asli daerah (PAD) tahun 2019 hingga mencapai Rp440 miliar.
Desakan itu muncul saat Badan Anggaran menggelar rapat membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Asli daerah (RAPBD) Kabupaten Buleleng tahun 2019 Jumat, 19 Oktober 2018.
Pemerintah Kabupaten Buleleng sejatinya telah memasang angka untuk rancangan PAD 2019 mendatang yakni sebesar Rp382 Miliar. Badan Anggaran menilai target PAD itu masih dinilai rendah, sehingga mendesak agar PAD tahun mendatang dinaikan lagi menjadi Rp440 miliar.
Anggota Badan Anggaran Nyoman Gede Wandira Adi menyebutkan jika Dewan sepakat untuk meminta Pemerintah Daerah merevisi target PAD 2019.
Menurutnya, bila mengacu Permendagri Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2019, agar mendapat tingkat kemandirian sedang maka harus dipasang target PAD sebesar 20 persen dari total APBD.
Sementara total APBD Buleleng yang dirancang tahun 2019 sebesar Rp 2,2 triliun, sehingga munculah rancangan nilai PAD tersebut.
“Saat ini Buleleng masih berada jauh di bawah rata-rata Nasional terkait kemadirian. Kami ingin berada diangka kemadirian sedang,” ujarnya.
Wandira yang juga Ketua Fraksi Golkar menyebutkan jika kenaikan PAD menjadi Rp440 miliar itu sangat memungkinkan, jika Eksekutif serius menggarap potensi yang ada. Salah satu sector pendapatan yang bisa digenjot menurutnya adalah pendapatan dari sektor Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Karena saat ini, PBB realisasinya justru lebih kecil dibandingkan dengan Pajak Penerangan Jalan. Bahkan, pajak penerangan jalan merupakan penyumbang terbesar PAD Buleleng selama ini. Ia pun meminta agar Pemkab Buleleng bekerja lebih keras lagi dalam meningkatkan sektor PAD. Terlebih masih banyak sektor retribusi pajak yang bisa dioptimalkan untuk menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
“Faktanya pajak penerangan jalan lebih besar dibandingkan dengan Pajak Bumi dan Bangungan. Ini bagi kami tidak masuk akal. Mungkin intensifikasi pemungutan pajak PBB belum optimal,” jelasnya. |RM|