Singaraja, koranbuleleng.com| Warga Banjar Dinas Alasarum, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan melakukan aksi blokade dengan menutup akses jalan, Senin, 16 Desember 2019. Aksi ini dilakukan karena kekecewaan warga terhadap pembangunan tembok penyengker yang dilakukan oleh Desa Adat Kubutambahan. Pembangunan tembok tersebut dinilai telah mengingkari perjanjian penggunaan fasilitas umum oleh kedua desa adat yang disepakati sekitar Juni 2017 silam. Walaupun begitu, ketegangan di tapal batas ini berujung di meja mediasi di Pemkab Buleleng.
Sesuai pantauan di lokasi, blokade dilakukan dengan penutupan akses jalan dengan cara memagari jalan dengan tembok batako. Kemudian pada bagian atas tembok itu terpasang sebuah spanduk bentuk protes warga Banjar Dinas Alasharum. Dalam spanduk itu tertulis “Kami warga masyarakat dan krama adat krama Alasharum Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan menolak pembangunan jalan ini. Kembalikan kondisi pangkung/DAS (Daerah Aliran Sungai) dan Palemahan ini seperti semula, untuk kepentingan sosial warga masyarakat”.
Sementara pada bagian bawah spanduk juga dipasang berita acara musyawarah bersama antar Desa dan Desa Adat Pakraman Bungkulan dan Kubutambahan. Sementara pada sepanjang pinggir sungai juga terpasang kain putih yang berisi kalimat-kalimat serupa dan juga dibubuhi tandatangan warga.
Warga Alasarum Desa Bungkulan sudah memulai aksinya sejak pukul 07.30 wita. Puluhan warga baik laki-laki dan perempuan berkumpul dan mulai melakukan penembokan pada akses masuk jalan tersebut. Setelah selesai menutup jalan masuk, warga masih tetap berkumpul. Sementara disatu sisi, aksi yang dilakukan warga Alasharum itu juga disaksikan oleh sejumlah warga Desa Kubutambahan.
Penembokan akses jalan itu oleh warga Alasarum itu pun sebenarnya cukup ganjil. Sebab yang terdampak secara langsung adalah warga Alasarum sendiri. Warga lebih memilih menggunakan jalur alternatif yang memutari Desa, ketimbang melewati jalur utama yang ada di sebelah barat Kantor Camat Kubutambahan, yang kini tertutup tembok yang mereka bangun sendiri.
Namun disisi lain, akses jalan itu sebenarnya juga dimanfaatkan juga oleh krama Kubutambahan. Sebab ada sejumlah pura yang di-sungsung krama Kubutambahan, yang terletak dan harus melewati Banjar Dinas Alasarum.
Sekretaris Tim Peduli Alasharum Gusti Ngurah Sudiardana menjelaskan, pemasangan tembok penyengker sebagai pembatas jalan tersebut diketahui sejak 1 Desember 2019 lalu. Hanya saja, pihak Desa Adat Kubutambahan tidak melakukan koordinasi dengan warga Alasharum.
Kekecewaan warga pun memuncak, hingga kemudian melakukan aksi penutupan jalan masuk menuju Alasharum. Warga beralasan jika Desa Adat Kubutambahan sudah melanggar kesepakatan, sesuai dengan yang tertuang dalam berita acara musyawarah bersama antar Desa dan Desa Adat Pakraman Bungkulan dan Kubutambahan.
Dalam point tiga khususnya disebutkan Pura Alas Agung, Pura Celagi, Pura Dalem Purwa, Pura Prajapati, Kuburan dan Tunon, yang berada di wilayah Desa Pakraman Bungkulan, tetap menjadi milik dan sungsungan Desa Adat Pakraman Kubutambahan. Untuk jalan yang berada di tanah pemengkang Desa Adat Pakraman Kubutambahan yabg berlokasi di sebelah Timur Pura Dalem Purwa Desa Pakraman Kubutambahan dipergunakan bersama-sama oleh warga kedua krama Desa Adat Pakraman (Bungkulan dan Kubutambahan).
Warga terpaksa melakukan aksi itu karena tak terima dengan pembuatan tembok penyengker yang dibuat Desa Adat Kubutambahan. Pembangunan tembok itu berdampak pada sempitnya akses jalan menuju Alasarum. Mengingat jalan yang tersisa hanya selebar 4 meter. Selain itu jalan diprediksi akan sering kebanjiran, karena terdapat sebuah pangkung di sana.
“Setahu kami dari turun-temurun tanah ini digunakan bersama. Baik oleh warga Kubutambahan maupun Alasarum. Sekarang dengan adanya pembatas ini, masyarakat tidak bisa lagi menggunakan untuk kegiatan lain. Termasuk kegiatan sosial,” ujarnya.
Beberapa perwakilan warga selanjutnya melakukan komunikasi, namun tidak ada tindak lanjut apapun. Justru pembangunan tembok penyengker itu tetap dilanjutkan hingga hampir rampung 100 persen.
“Kami hanya ingin ini kembali seperti sediakala dan tetap untuk fasilitas umum. Apalagi sudah ada perjanjian tahun 2017 lalu yang ditandatangani aparat kedua desa,” tegas Ngurah Sudiardana.
Disisi lain, persoalan pemblokiran jalan dengan pembangunan tembok tersebut kemudian dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Dipimpin Kabag Pemerintahan Setda Buleleng Dewa Made Ardika, mediasi dilakukan di ruang Asisten 1 Setda Buleleng dengan menghadirkan pihak dari Desa dan Desa Adat Bungkulan serta Kubutambahan. Pertemuan itu berlangsung selama tiga jam.
Usai mediasi, Klian Banjar Adat Alasarum Ketut Carik mengatakan, persoalan penutupan jalan itu terjadi karena adanya mis komunikasi dari sejumlah warga. Pasalnya, Ia selaku penglingsir sudah pernah melakukan sosialisasi kepada warga, terkait dengan rencana Desa Adat Kubutambahan membangun tembok penyengker pada lahan tersebut. Dari pertemuan itu, Ia pun meyakinkan jika tembok yang menutup jalan akan segera dibongkar.
“Pasti akan dibongkar, Tiang akan menyuruh krama. Karena itu jalan Alasarum, kalau tidak dibongkar kan kami rugi,” ujarnya.
Sementara itu, Klian Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea menjelaskan, lahan yang berlokasi diantara Kantor Camat Kubutambahan dan Pura Dalem Purwa Desa Adat Kubutambahan itu merupakan tanah pemengkang dan bersertifikat atas nama Duwen Desa Adat Kubutambahan. Alasan pemasangan tembok itu pun untuk memberikan batas terkait dengan kawasan suci untuk pemedal Pura Dalem Purwa dan Pura Celagi.
Menurutnya, sebelum pembuatan tembok pembatasan dilakukan, pihak adat telah berkomitmen menyediakan akses jalan umum pada masyarakat di Alasarum. Lebar jalan yang disediakan mencapai 4 meter, dan sudah cukup untuk akses masuk truk.
“Saya kira ini miskomunikasi saja. Kami juga sudah sosialisasi, termasuk dengan Penjabat Perbekel Bungkulan waktu itu. Kecuali kalau kami yang tutup jalan itu, ya jelas kami salah. Memang perbatasan itu saling seluk (beririsan, Red). Intinya sudah klir dan jalan itu bisa digunakan untuk bersama,” tegas Warkadea.
Setidaknya ada lima poin kesepakatan yang dicapai dalam mediasi itu. Pertama, senderan yang dibuat pihak Desa Adat Kubutambahan, agar ditinggikan 50 centimeter lagi, untuk mengantisipasi luberan air saat banjir. Kedua, agar dilakukan pengerukan sedimentasi di Pangkung Bangka, guna mengantisipasi luapan air pada musim hujan.
Pada poin ketiga, tembok yang dibuat warga Alasarum agar dirobohkan. Keempat, agar dilakukan program betonisasi atau pengaspalan jalan di ruas jalan tersebut. Terakhir, kedua belah pihak harus menjaga kebersihan di aliran Pangkung Bangka, mengantisipasi tersumbatnya aliran air. Dan seteah mediasi berakhir, warga Banjar Dinas Alasarum pun membongkar tembok yang menutup jalan tersebut. |RM|