Penderita gangguan jiwa |FOTO : Alit Kertaraharja|
Singaraja, koranbuleleng.com | SEJAK mewabahnya pandemi Corona Virus Diaseas (COVID 19) ke seluruh Dunia, permasalah begitu komplek. Disamping upaya penanggulangan kesehatan akibat penyebaran pandemi ini, muncul juga permasalahan ekonomi yang tidak kalah dahsyatnya.
Hampir semua Negara mengalami dampak ‘kelumpuhan’ ekonomi entah berat, sedang ataupun kecil. Tidak bisa dipungkiri Jumlah masyarakat miskin langsung bertambah. Demikian juga terjadi di Indonesia, pemerintah saat ini sedang melakukan penyaluran bantuan kepada masyarakat yang kena dampak secara ekonomi.
Disaat pandemi COVID 19 ‘menguasai’ Dunia – semua mata, pikiran dan tenaga tercurah ke penyebaran pandemi ini. Dimana-mana tersebar berita atau info dari ragam media mainstream sampai ke sosial media. Bahkan, hoax bertebaran dan meracuni alam pikiran pembacanya.
Tidak hanya Negara dibuatnya kerepotan menjawab berita berita yang tidak valid tetapi juga di masyarakat sendiri ‘kebingungan’ khususnya yang tidak memahami cara menyaring informasi.
Virus ini telah memporakporandakan hampir disemua sektor kehidupan manusia. Terutama ekonomi hampir diseluruh dunia mengalami dampak secara ekonomi. Berdasarkan rangkuman dari pemberitaan di media atau situs resmi, saat ini tercatat lebih dari 3 juta jiwa penduduk Dunia dinyatakan terinfeksi dan sekitar 2,8 juta berhasil sembuh, sisanya meninggal dunia.
Sampai saat ini kita belum tahu pasti kapan pandemi ini akan usai. Melihat fenomena ini, bagaimana dengan kasus kasus kesehatan lainnya yang mungkin lebih berbahaya dari Corona Virus Disease 19 (CoViD19) ini. Harapan, meskipun Dunia saat ini termasuk di Indonesia masih disibukan serangan pandemi COViD 19 namun masalah kesehatan lainnya bisa diatasi.
Salah satunya penanganan untuk Kesehatan mental itu sendiri. Berikut laporan tim koranbuleleng.com bekerjasama dengan Relawan SIMH (Suryani Institute for Mental Health) yang sempat mengunjungi penderita gangguan mental di beberapa tempat di Buleleng.
Dari beberapa orang yang pernah diwawancarai, masih banyak masyarakat kurang paham dan cenderung kurang peduli terhadap kondisi kesehatan mental. Bali yang merupakan daerah tujuan wisata International masih banyak menyimpan permasalahan tentang gangguan jiwa. Bahkan banyak diantaranya tidak tahu bahwa di Bali umumnya atau di Buleleng khususnya masih ada penderita gangguan jiwa yang kronis bahkan sampai dipasung dan sejenisnya. Mereka mengira gangguan jiwa hanya bisa diselesikan lewat Rumah Sakit Jiwa.
Sekretaris SIMHDr.dr Tjokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKj (k) tidak menampik anggapan tersebut di masyarakat. Kata dia, jumlah penderita gangguan jiwa di Bali cukup tinggi. Berdasarkan catatatn Riskesdas jumlah penderita schizophrenia di Bali perbandingannya 11 per 1000 penduduk, atau di Bali jumlah penderita gangguan jiwa mencapai 50.000 jiwa.
‘’Angka ini merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia’’ katanya. Kesehatan Jiwa masih menurut Cokorda Bagus demikian sering dipanggil meliputi kondisi emosional psikis dan kesejahteraan sosial.
Sama seperti kesehatan fisik, kesehatan mental juga dapat terganggu oleh penyakit mental. Penyakit jiwa dikenal sebagai ganggaun jiwa penyakit yang mempengaruhi kerja otak dengan mengganggu keseimbagan kimiawi.
Dari catatat WHO disebutkan bahwa satu dari empat orang menderita gangguan jiwa atau sekitar 450 juta orang di seluruh Dunia mengalami gangguan jiwa. Hampir dua-pertiga dari orang-orang yang mengalami gangguan jiwa tidak pernah mendapat bantuan medis, padahal kondisi mental akan mempengaruhi kualitas hidup.
Meskipun saat ini memasuki era gobal yang demikian canggihnya, untuk penanganan penderita gangguan jiwa tidak mengalami perubahan sejak pertama kali sekitar tahun 2006 Suryani Institute for Mental Health (SIMH) melakukan kegiatan penanganan orang penderita gangguan jiwa.
Menurut Dr.dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKj (k), ‘’Sampai saat ini pelayanan kesehatan di rumah sakit khususnya terhadap penderita gangguan jiwa sifatnya masih menunggu pasien yang datang. Sehingga pasien-pasien yang tertangani hanya yang mau atau bisa datang ke pusat-pusat kesehatan atau rumah sakit. Artinya jika pasien yang tidak bisa datang ke rumah sakit mereka tidak mendapat pelayanan”.
Dia mengatakan, SIMH tetap melakukan pelayanan ke lapangan dengan suka hati, walaupun tanpa dukungan dan bantuan dari Pemerintah. Di ditengah wabah Pandemi COVID 19 ini, tim SIMH melakukan pelayanan sesuai dengan protokol kesehatan dengan mempergunakan APD level satu.
“Karena kalau penangannnya disetop tiba-tiba maka pasien akan mengalami kekambuhan. Selain itu dalam kondisi pandemi COVID kebutuhan pokok juga perlu menjadi perhatian karena keluarga atau pasien yang selama ini bisa mandiri dengan tidak ada penghasilan membuat kebutuhan dasar mereka menjadi berat untuk dipenuhi dan akan mempercepat terjadinya kekambuhan juga,’’ tegasnya lagi.
Cok Bagus menjelaskan sejauh ini pusat-pusat kesehatan atau rumah sakit saat ini sifatnya masih ‘menunggu’ pasien. Padahal banyak faktor yang menyebabkan penderita gangguan jiwa tidak bisa datang ke rumah sakit atau pusat-pusat kesehatan.
’’Kondisi di lapangan sangat kompleks, banyak faktor menyebabkan mereka tidak bisa datang, mungkin terlalu lemah karena sakit, atau tidak memiliki biaya, karena seperti yang kami lihat di lapangan banyak diantaranya kondisi ekonomi mereka memprihatinkan,’’tandasnya.
Cok juga bertutur, disamping itu stigma buruk di masyarakat masih tinggi dan penanganan penderita gangguan jiwa belum mendapat prioritas pelayanan di lembaga medis di daerah.
“Kedepannya perlu adanya reformasi pelayanan kesehatan yang lebih cepat untuk dapat menjadikan jiwa sebagai salah satu program prioritas. Meskipun secara undang undang kesehatan mental sudah dicantumkan tetapi dalam prakteknya belum dilakukan secara sempurna. Ini semua karena kurangnya edukasi dan informasi membuat perubahan tersebut pelaksanaannya kurang paripurna.’’ Tambah Cok Bagus.
Masih menurut Cokorda Bagus gangguan jiwa sama seperti gangguan kesehatan pada umumnya, seperti flu, pilek, batuk demam atau gangguan kesehatan lainnya – artinya bisa kumat kapan saja dan bisa diobati jika gangguan kesehatan muncul. Yang menjadi garisbawah di sini adalah peranan si penderita dan keluarganya. Sama halnya dengan gangguan kesehatan lainnya, bilamana tidak ditangani akan semakin parah.
‘’Sakit apapun lama lama semakin parah kalau tidak diobati. Pun demikian terjadi penderita gangguan jiwa. Pada umumnya mereka menganggap diirinya sehat, tidak mau minum obat lama-lama sakitnya semakin berat.’’
Pendekatan Kemanusiaan
SESUAI komitment dan salah cara mempercepat penyembuhan sekaligus bentuk therapy untuk pasien adalah melakukan pendekatan secara manusiawi kepada penderita gangguan jiwa dan juga keluarganya. Pendekatakan dimaksud adalah melakukan kunjungan kepada pasien ke rumah-rumah menanyakan konidisi pasien, keluarga dan berbiacara berbagai hal tentang hidup disamping tugas utamanya melakukan pemantauan terhadap kondisi pasien sekalgus tugasnya mebawakan obat sesuai anjuran sesuai resep yang diberikan dokter ahli jiwa.
Dari strategi berupa kunjungan kepada pasien dan keluarganya ini terbukti memberikan effect positif kepada penderita. Penderita gangguan jiwa yang sebelumnya merasakan berbagai hal seperti minder, kesepian, dianggap tidak berguna, bahkan sulit minum obat – tetapi dengan pendekatan secara manusiawi oleh tim SIMH dan mereka merasa diperhatikan.
Demikian juga keluarganya merasa lebih nyaman, tidak memiliki tekanan seperti stigma yang melekat di masyarakat. Dari pengalaman beberapa kali pengobatan penderita gangguan jiwa sudah mengalami perubahan yang lebih baik. Sejak melakukan gerakan anti Pasung 2006 berbarengan dengan dibukaynya Layanan Hidup Bahagia (LHB) di Bali – SIMH melalui relawannya di samping terjun langsung memantau pasien juga melalui layanan Hot Line.
Seiring dengan perubahan pasien yang semakin membaik, lancarnya komunikasi antara relawan SIMH dan keluarga pasien serta kebijakan pemerintah, kunjungan pasien yang sebelumnya dilakukan hampir setiap minggu, kini hanya satu bulan bahkan dua bulan sekai atau bilamana dibutuhkan.
‘’Tentunya kendala utama ya keterbatasaan operasional, tapi sejauh ini pasien bisa ditangani oleh keluarga, jadi kami hanya datang saat dibutuhkan. Seperti memberikan obat, membawa bantuan sembako atau hal hal lain.’’ujar Komang Saptini salah satu Relawan SIMH asal Buleleng.
Berbicara tentang gangguan jiwa, dipermukaan data penderita gangguan jiwa hampir tidak terlihat – kecuali yang sering kita lihat secara nyata dijalan. Itupun jumlahnya sangat kecil. Namun ketika didata sampai ke pelosok dengan datang dari rumah ke rumah, melalui aparat yang paling bawah, ternyata banyak “tersembunyi” penderita gangguan jiwa dengan tingkat penyakit cukup parah. Bali sebagai pulau tujuan wisata International kondisinya sangat bertolak belakang dengan data permasalahan tentang penderita gangguan jiwa.
SIMH banyak menangani pasien dengan gangguan mental cukup parah hampir disemua Kecamatan yang ada di Buleleng. Dari sejumlah pasien khususnya yang sudah akut, lebih dari 98 persen berhasil ditanganibebasdari pasungan.
Di lapangan semuanya bisa berubah bila ditangani secara all out. Meskipun banyak yang sudah bisa beraktifitas sebagaimana layaknya masyarakat normal, namun anyak juga dinataranya kembali kambuh karena berbagai faktor.
Seperti penanganan yang tidak tuntas karena pengobatan yang kurang tuntas. Banyak faktor pemicunya, seperti pasian menolak ditangani dan mereka merasa diri sembuh. Gangguan lingkungan disekitarnya dan juga keluarga.
‘’Kami hanya menangani yang memang membutuhkan bantuan. Kalau mereka menolak untuk ditangani dengan alasan yang sudah mendapat penanganan dari pemerintah itu lebih bagus, apalagi sampai tuntas.’’ujar Dr dr Tjokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKj (K) .
Dari berbagai persoalan di lapangan, banyak pasien penderita gangguan jiwa memang tidak mendapatkan penanganan secara tuntas. Banyak pasien akhirnya berhenti berobat ke Rumah Sakit Jiwa karena kekurangan biaya. ‘’Tidak dipungkiri kebanyakan pasien gangguan jiwa yang ditangani SIMH rata-rata sudah pernah ke RSU Jiwa Bangli, tetapi karena berbagai faktor khususnya ekonomi mereka terpaksa menanganinya di rumah. Hingga banyak beberapa diantaranya harus dipasung.
Putu Antasa atau Badengan asal Desa Petemon, Seririt. Atau kakak beradik Komang Merada dan Gede Rata, Desa Bebetin – Kecamatan Sawan. Tiga penderita gangguan jiwa ini pernah ke RSU Jiwa Bangli hingga ke pengobatan alternatif.
Menurut pengakuan keluarganya mereka ‘berlangganan’ masuk RSU Jiwa Bangli. Saat kambuh beberapa kali diajak ke RSU Jiwa Bangli. Setelah dinyatakan sembuh, saat kembali ke rumah, kembali kambuh.
Bahkan keluarga Komang Merada dan Gede Rata, sampai harus menjual tanah dan barang-barang berharga lainnya. Ditengah keputusasaan, pihak keluarganya mengambil cara dengan mengurung kakak beradik tersebut di rumahnya.
Pun hal yang sama juga dialami Putu Antasa, mantan atlit pencak silat ini dirantai lebih dari 8 tahun. Dari keterangan pihak keluarga alasan mereka mengambil cara pemasungan karena sering ngamuk, meresahkan masyarakat dan juga sering jalan-jalan entah kemana.
Faktor lingkungan disekitarnya dimaksud adalah keterlibatan masyarakat disekitarnya dalam membantu penanganan gangguan jiwa. Ada beberapa contoh, salah satunya penderita gangguan mental asal Banyuning, Kecamatan Buleleng. Dalam penanganan SIMH penderita yang masih usia produktif ini bisa lepas dari pasungan berupa rantai besi setelah bertahun-tahun lamanya dipasung. Makan, minum dan buang kotoran di dalam ruangan.
Ketika mulai membaik dan bisa lepas dari pasungan, keluarga dan lingkungan disekitarnya sangat senang. Pemuda tersebut kembali bekerja dan bisa sehat. Namun pemuda ini kembali sakit dan akhirnya diikat kembali karena pengaruh lingkungan.
‘’Pasien ini sudah bisa mengantar dan menjemput Ibunya yang sedang berjualan di pasar. Tapi sayang, dalam proses penyembuhannya ada anak-anak muda seusianya memberikan minuman beralkohol dan mulai merokok. Lama kelamaan kambuh kembali, tetapi keluarganya terlambat menanganinya – maklum keluarganya sangat sibuk dan masih belum paham. Akhirnya kembali Nol, bahkan lebih parah,’ ’jelas Cokorda Bagus.
Banyak Faktor Pemicu Gangguan Jiwa
BANYAK catatan yang menyertai penderita gangguan jiwa yang berhasil dihimpun relawan Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Mulai dari masalah pribadi, kemiskinan, masalah internal keluarga mulai soal pembagian warisan sampai ke persoalan santet atau guna-guna.
Relawan SIMH saat melaksanakan kegiatan di lapangan juga mendapat beban yang tidak ringan. Hampir semua pasien yang ditangani SIMH mengalami keluhan yang tidak ringan. Sebagai relawan yang bergerak di Kesehatan Mental harus paham bagaimana menghadapi mereka. Disamping mengantar obat sesuai anjuran dokter yang disampaikan melalui relawan, pun harus bisa sebagai counselor.
‘’Kami relawan sudah diajarkan atau dibekali ilmu tentang penanganan gangguan jiwa saat di lapangan. Kita harus empati memahami penderitaan mereka.Karena satu orang yang mengalami gangguan jiwa – imbasnya satu keluarga ikut berdampak.’’jelas Saptini, satu diantara dua orang relawan yang tersisa saat ini di Buleleng.
Dari kegiatan di lapangan, Saptini melihat berbagai ragam pemicu yang menyebabkan mereka menderita gangguan jiwa.
Menurutnya, bila ditelisik lebih jauh, penderita gangguan jiwa tidak terlepas dari masalah pribadi. Secara mental memang ‘rapuh’ ketika mendapatkan permasalahan dan tidak bisa dipecahkan menyebabkan para penderita stress, tertekan dan lain sebagainya.
Dan bila tidak secepatnya ditangani beban yang ada pada mereka terus bertambah dan akar permasalahannya semakin mengkristal. Bahayanya saat ‘meledak’ akan menimbulkan effect negatif.
Menurut Saptini, ada beberapa penderita gangguan Jiwa yang tersebar dihampir semua Kecamatan di Buleleng memiliki cerita tragis. Masing-masing orang memiliki cerita yang berbeda – ada yang kecewa karena suaminya selingkuh, sakit jiwa karena karena ditinggal istri, dicerai paksa oleh orangtuanya bahkan karena warisan. Laki-laki atau perempuan tidak ada yang menjamin kekuatan mental mereka saat diterpa masalah.
Sebagaimana masalah dua laki-laki yang berasal dari Seririt mengalami nasib yang hampir sama yaitu mengalami gangguan jiwa karena masalah pernikahan. Yang satu ditinggal sang istri – meskipun si laki merupakan atlit beladiri dari luar terlihat tangguh, tetapi hatinya tetap terbuat dari darah dan daging, mudah tersentuh dan merasakan sakit hati. Demikian juga laki-laki yang satunya diceraipaksa oleh mertuanya – padahal menurut penuturan tetangga disekitarnya kedua pasangan ini masih saling mencintai, terutama laki-laki tersebut masih sangat mencintai istri dan anak semata wayangnya.
Nasibnya kedua laki-laki ini akhirnya dipasung bertahun-tahun lamanya karena mengalami gangguan jiwa serius. Keduanya tercatat sering mengamuk, bahkan nyaris melukai salah seorang anggota keluarganya sendiri dan warga masyrakat sekitarnya. Disamping itu keduanyapun sering pergi entah kemana sambil berbicara sendiri.
Hampir sama dengan penderita gangguan jiwa perempuan – dari pengalaman yang dialami relawan SIMH saat di lapangan, pesien perempuan emosinya lebih rendah, tetapi bila kambuh caracternya hampir sama dengan pasien laki-laki, bisa ngamuk dan sebagainya. Hanya saja yang selalu menjadi kekhawatiran keluarga saat berada di luar rumah lepas dari panatauan keluarga. ‘’Namanya perempuan berada di luar tentu sangat berbahaya.Kadang atau sering penderita gangguan jiwa lepas dari pengawasan keluarga berjalan tidak tahu arah tidak siang tidak malam tanpa memakai pakaian atau memperlihatkan kewanitaannya.Kami menemukan kasus penderita gangguan ‘diperkosa’ bahkan ada yang dihamili oleh tetangganya sendiri.’’
Satu kasus dialami oleh perempuan berstatus janda sebuat saja Bunga – yang diceraikan suaminya karena mengalamai gangguan jiwa ringan atau maslah keluarga lainnya. Kondisi ini diperparah karena mantan suaminya tidak memberikan kesempatan bertemu dengan anak-anaknya.Akibatnya perempuan tersebut stress, dan sering keluar tanpa mengenakan pakaian.Pihak keluarga yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan – mengambil langkah untuk memasungnya.Bunga yang berparas cantik ini akhirnya sembuh setelah ditangani SIMH, bahkan pernah bekerja di luar Kabupaten.
Kemungkinan karena terjerat rayuan laki-laki yang masih berstatus suami-istri syah, Bunga yang memiliki kulit langsat tersebut sampai rela kembali kekampunya. Disini awal Bunga kembali kambuh dari sakitnya.Kemungkinan adanya tekanan pihak luar, Bunga kembali dikurung dan diikat dengan rantai. Pihak keluarga yang sangat miskin – sementara ibu kandungnya meninggal karena sudah usia lanjut.. Praktis saat sakit yang kedua ini Bunga tidak mendapat perhtian – sampai akhirnya meninggal, bertepatan saat pandemic CoViD. ‘’katanya habis disuntik, kemudian tidak bangun-bangun sampai ditemukan meninggal,’’ungkap tetangganya.
Diawal pelayanan relawan sempat kebingungan terhadap salah seorang pasien perempuan dari Kecamatan Kubutambahan.Karena beberapa bulan si pasien tidak mengalami perubahan, masih terjadi keluhan yang sama. Setelah dijajagi ternyata pihak keluarga tidak bisa diajak kerjasama. Keluarga tersebut tidak pernah memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter ahli. Dengan alasan tersebut pihak SIMH terpeksa memberhentikan pelayanannya terhadap pasien tersebut.‘’Sama saja kalau dilanjutkan hanya menghabiskan biaya dan waktu.’’tambah Saptini.
Dalam melakukan penanganan berupa obat atau konsultasi Suryani Institute for Mental Health yang dimotori Prof. Dr.dr L K Suryani, SpKj (K) tidak memungut biaya apapun alias gratisTetapi jika ada pihak pasien mampu secara ekonomi, SIMH hanya memberikan resep obat untuk bisa ditebus obatnya ke apotek atau ke puskesmas setempat jika obatnya tersedia.
Hingga kini SIMH masih melakukan penanganan untuk beberapa orang penderita sakit jiwa. Hanya saja tidak seinten sebelumnya- tim relawan mengunjungi pasien bisa 1 minggu sekali ke beberapa pasien. Kini disamping banyak yang dirujuk ke RSU Jiwa Bangli – juga karena pasien yang ditangani SIMH di Buleleng semakin membaik, hanya membutuhkan penanganan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Reporter : Alit Kertaraharja
Editor : Putu Nova A.Putra