Pura Mandara Giri Semeru Agung Dibangun Penuh Perjuangan

KHAS, Candi Waringin Lawang sebagai gapura memasuki Pura Mandara Giri Semeru Agung |FOTO : EDY NURDIANTORO|

Singaraja, koranbuleleng.com | Hawa terasa sejuk, kala rombongan wartawan dari Singaraja turun dari Bis di depan Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lereng Gunung Semeru, di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa timur.

- Advertisement -

Pura yang tampak megah dengan candi waringin lawang khas Jawa timur nan tinggi menjulang. Pura ini menjadi pusat peribadatan warga Hindu di lereng Gunung Semeru. Bahkan, warga Hindu se-Nusantara juga sering melakukan persembahyangan ke pura ini. 

Saat ini,  Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang memang sudah tak asing bagi umat Hindu di Nusantara dan menjadi salah satu pura terbesar di kawasan Jawa Timur.

Posisinya berada di pinggir jalan. Candi Waringin Lawang yang merupakan bangunan khas Kerajaan Majapahit dengan warna merah bata di pintu masuk pura. Di areal madya mandala dan utama mandala, rupanya kental dengan nuansa arsitektur Bali. Mulai dari candi bentar, wantilan, sederetan pelinggih. Dulu, Arsitek yang menggambar pura ini adalah Ir. Nyoman Gelebet.

Proses sampai mewujudkan pura  dengan luas lahan 1,4 hektar ini membutuhkan waktu yang tidak singkat di tengah keterbatasan dana pada waktu itu.

- Advertisement -

Ketua PHDI Lumajang, Jawa Timur  Edy Sumianto mengatakan,  Umat Hindu di kawasan Semeru sejak 1969 silam ingin bisa mendirikan pura di lambung timur Gunung Semeru. Namun Impian itu begitu sulit diwujudkan. Dana pembangunan tidak gampang dikumpulkan.   Kondisi ekonomi umat Hindu di kawasan Semeru  saat itu masih susah. Selain itu juga Ijin pendirian tak mudah didapat.

“Impian umat Hindu di Semeru memiliki pura rupanya mendapat respon dari tokoh Hindu di Bali yang kala itu nuur tirta ke Petirtaan Watu Klosot di kaki Gunung Semeru” ungkapnya

Tahun 1986 tepat setelah PHDI Kabupaten Lumajang terbentuk pembangunan pura di kawasan Semeru sebut  menjadi program kerja PHDI Lumajang. Pada awalnya bukan pura yang dibangun. Tetapi sekretariat PHDI Kabupaten lumajang.

Pemangku sedang Ngayah di Pura Mandara Giri Semeru Agung, Lumajang |FOTO : EDY NURDIANTORO|

Kemudian kedatangan tokoh-tokoh dari Bali yang hendak ke Petirtaan Watu Klosot untuk mendak tirta serangkaian dengan upacara di Pura Besakih dimanfaatkan bertemu dengan para tokoh Hindu di Lumajang.

Dalam pertemuan itu kemudian ada kesepakatan jika tokoh dari Bali siap membantu mewujudkan pembangunan pura di Kabupaten Lumajang. Terlebih hubungan Bali dan Lumajang sangat erat.

Keberadaan  Gunung Semeru kerap dikaitkan dengan cerita Kuno. Konon disebutkan bahwa Gunung Semeru adalah potongan dari Gunung Mahameru di India yang dipindahkan ketika Pulau Jawa belum stabil.

Pun demikian ketika Bali belum stabil, konon ujung Gunung Semeru juga dibawa ke Bali dan menjadi Gunung Agung dan Gunung Batur bahkan hingga ke Lombok yaitu Gunung Rinjani.

“Atas dasar itulah, tokoh di Bali sepakat untuk membantu. Sehingga ketika ada nuhur tirta di Watu Klosot dan akan dibawa ke Bali maka tirta terlebih dahulu distanakan di Pura Lumajang,” imbuh pria 50 tahun ini

Pamedek melkaukan peribadatan di Pura Mandara Giri Semeru Agung |FOTO : EDY NURDIANTORO|

Kendati sudah ada kesepakatan, namun pembangunan pura tak  sejalan dengan rencana.  Semula, pura direncanakan hendak dibangun di Desa Ngandangan. Namun belum terwujud lantaran lokasinya dinilai tidak cocok. Bahkan ada beberapa lokasi yang muncul sebagai alternatif pendirian pura. Yakni Desa Kertosari dan Senduro.

“Dari ketiga lokasi itu sempat ditolak. Misalnya lokasi di Desa Kertosari sempat ditolak umat karena sering menjadi jalur lahar Gunung Semeru. Kemudian di Desa Ngandangan karena terkendala akses jalan. Sedangkan di Senduro lokasinya sempit,” ujar Edy

Hinga akhirnya disepakati, di Desa Senduro bagian atas yang menjadi lokasi tetap Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan luas areal awalnya 20×60 meter. Sesuai pawisik, bahwa bau tanah di areal pura ini berbau wangi. Lahan ini dibeli dari dana punia donatur dan umat Hindu di Lumajang. Ijin pembangunan diajukan kembali dan turun tiga tahun kemudian.

“Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata dibeli, padmasana kemudian dibangun, menghadap ke timur. Anehnya, tidak bisa dituntaskan. Kemudian posisi digeser agak ke utara dengan tetap menghadap ke Timur. Namun tetap tidak bisa dituntaskan. Hingga akhirnya umat mendapat pawisik agar Padmasana dihadapkan ke selatan. Sejak itulah pembangunan lancar dan punia mengalir dari umat Hindu di Bali maupun di luar Bali” bebernya

Waktu berjalan, kemudian bertepatan Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tepatnya 8 Maret 1992 yang dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara melaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Selanjutnya pada Purnama Sasih Kasa, tepatnya 3 Juli tahun 1992 dilaksanakan upacara besar berupa pamungkah agung, ngenteg linggih dan pujawali.

Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan  nama pura adalah Pura Mandara Semeru Agung.

“Setelah itu pula ditetapkan sebagai Pura Kahyangan Jagat,” jelasnya.

Sementara untuk makna dari nama Mandara Giri Semeru Agung, Edy menjelasakan,  penamaan awalnya pura ini hanya bernama Mandara Giri saja.  Namun, ada seorang anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar kemudian kerauhan selama tiga hari pada tanggal 15-17 Desember 1992.

“Dalam pawisik, anak itu meminta agar Pura Mandara Giri ditambahkan kata Semeru Agung. Dan sejak itu nama Pura Mandara Giri menjadi Pura Mandara Giri Semeru Agung,” pungkasnya

Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. 

Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.

Namun adanya Pandemi COVID 19 yang melanda lebih dari 6 bulan berdampak terhadap kunjungan Pemedek ke  pura Mandara Giri Semeru Agung. Kondisi tersebut membuat Pengempon pura ngayah karena tidak adanya pemasukan.   

“Kami ngayah total, sesuai dengan keiklasan kita. Karena pemasukan tidak ada,” ujar salah satu pengempon pura Mandara Giri Semeru Agung, Mangku Murti

Mangku Murti menyebut, sebelum pandemi COVID 19  biasanya ramai dikunjungi umat Hindu dari daerah Jawa Timur maupun Bali. Dalam kondisi normal pemasukan dari dana punia selamanya nyejer selama 11 hari bisa terkumpul dana punia  hingga Rp1 miliar.    

“Sempat ditutup pada bulan maret lalu, kita mengikuti himbauan dari pemerintah, Namun  baru-baru ini  sudah ada persembahyangan  namun sedikit dan  kita tetap menerapkan protokol kesehatan” pungkasnya.

Pewarta  : Edy Nurdiantoro

Editor      : Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts