Singaraja, koranbuleleng.com | Maret 2019 silam, ribuan warga Desa Giri Emas, krama Subak Sangsit Dangin Yeh mengiringi sarad Bukakak menuju Pura Desa Adat Buleleng. Sebuah perjalanan jauh. Tapi, tidaklah bagi mereka. Semangat warga tetap membara, dengan ekspresi yang ceria mengiringi sesuhunan warga yang sedang melancaran.
Sepertiitulah, prosesi upacara Bukaka di Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan masih lestari sampai kini. Ritual ini seperti sebuah ungkapan kegembiraan masyarakat petani subak atas limpahan hasil panen pertanian. Mereka bersuka cita dan bersyukur melalu sebuah prosesi upacara sakral yaitu Ngusabha Bukaka.
Kini, Ngusaba Bukakak di di Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan, Buleleng kini dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).
Upacara Ngusaba Bukakak ini dilakukan sejak lama, turun temurun hingga saat ini, bahkan terus berkembang. Awalnya hanya dirayakan oleh kelompok Subak Dangin Yeh, tetapi lama kelamaan upacara ngusabha Bukaka yang diipusatkan di Pura Pasek Desa Giri Emas ini melibatkan hampir seluruh masyarakat Desa.
Prosesi kegiatan upacara Bukakak ini cukup panjang, bisa sampai 10 hari. Merupakan rangkaian dari kegiatan upacara Ngusabha di beberapa Pura Kahyangan Tiga dan beberapa pura atau tempat suci kawasan Subak Dangin Yeh.
Upacara Ngusabha Desa biasa kita jumpai di hampir seluruh Bali, tapi dengan hari atau sasih berbeda-beda. Bisa dipastikan maisng-masing ‘Ngusabha’ Desa di Bali memiliki keunikan tersediri.
Ngusabha Bukakak, prosesi upacara ini dibarengi dengan prosesi ‘melancaran’ dengan mengusung pelinggih Bukakak ke tempat-tempat suci yang sudah ditentukan sebelumnya melalui proses nuntun. Ngusabha Bukakak dirayakan atau dilakukan setiap dua tahun sekali yang jatuh pada sasih Jiesta.
Ngusabha Bukakak unik dan sakral. Prosesinya upacaranya sejak awal hingga akhir, sudah dilakukan sejak turun temurun, kadang berada di luar masyarakat pengemponnya.
Masyarakatpun hingga kini tetap meyakini prosesi upacaranya tidak boleh dirubah – tanpa permohonan secara niskala melalui proses ‘nuntun’.
Seperti cara pembuatan ‘pelinggih’ Bukakak, pembuatan Dangsil atau kegiatan-kegiatan lainnya di beberapa tempat suci di kawasan Subak Dangin Yeh. Demikian juga saat melancaran-dengan mengusung sebuah benda atau pelinggih besar berbentuk paksi atau Garuda.
Sekte Shiwa Shambu
Menurut salah satu tokoh di Desa Giri Emas, Jro Swastika menjelaskan Ngusaba Bukakak ini ada unsur pengaruh dari tradisi dari sekte Shiwa Shambu/Wisnu.
‘’Kemungkinan saat itu yang berkembang adalah Sekta Siwa Shambu bergandengn dengan Wisnu. Hal ini dilihat dari bentuk Bukakak dan juga berbagai kegiatan keagamaan menjelang Ngusabha Desa, dengan melakukan kegiatan di Pura-Pura yang kaitanya dengan Dewi Kesuburan dan sumber sumber air sebagai lambang kehidupan.’’ Jelasnya.
Masih menurut Jro Gede Ngurah Widhi Swastika, kata Bukakak berasal dari kata Bu – dari Lembu yang merupakan unsur Siwa (Shambu). Dimana pelinggih Dewa Shiwa Shambu dilambangkan atau diwujudkan ‘Celeng Lebeng Asibak’. Sedangkan kata ‘Kakak’ – berasal dari Gagak atau Paksi – Garuda dalam kepercayaan Hindu merupakan kedaraan Dewa Wisnu.
Saat menyebut Bukakak, orang disekitarnya langsug teringat Lebeng asibak. Bukakak sebuah pelinggih berbentuk Paksi atau Garuda Wisnu Kencana yang dibuat kerangkanya dari Bambu yang dihiasi dari daun ambu. Untuk mempercantik di sematkan bunga kembang sepata merah. Kalau dilihat secara seksama bentuknya seperti Garuda Wisnu Kencana.
Di dalam pelingih ini ditaruh Guling yang dipanggang tetapi tidak begitu matang seperti Lebeng Asibak atau berwarna HItam dan Putih, lambang penyatuan Shiwa dan Wisnu.
Proses pembuatan Pelinggih Bukakak sangat unik, karena hanya bisa dilakukan oleh keturunan dari dadia Pasek Bedulu.
Menurut Jro Gede Swastika hal itu sudah berlangsung turun temurun dan dibuat saat hari H – sebelum kegiatan melancaran.
‘’Sebenarnya siapa saja bisa membuat kerangka dan hiasan pelinggih Bukakak berwujud Garuda. Dari pengalaman, pernah pembutan ‘pelinggih’ tersebut dipersiapkan sehari sebelum ‘melancaran’ dengan banyak orang. Maksudnya untuk menghemat waktu dan tenaga. Tapi yang terjadi, ‘pelinggih’ Bukakak tersebut patah, berjalan terseok-seok bahkan ‘pelinggih’ Bukakak tersebut harus diangkut dengan kendaraan. Sebelumnya tidak pernah terjadi hal seperti itu. Karena itu sekarang masyarakat tidak lagi mau ‘melanggar’ ketentuan yang sudah dilakukan secara turun temurun,’’ tambah Jro Swastika.
Prosesi melancaran Bukakak berbentuk Garuda terbang itu diusung oleh puluhan orang dan diiringi ribuan pemedek mengikuti rute yang dituju. Menentukan rute inipun melalui upacara sakral yang disebut nuntun.
Penentuan rute ini dilakukan 3 hari sebelum melancaran. Namun bisa saja ada perubahan rute. Biasanya perubahan rute terjadi saat persembahyangan bersama melalui ‘sutri’ atau orang suci jelang keberangkatan melancaran.
Keunikannya tidak hanya sampai di sini, saat melancaran bisa menempuh puluhan kilometer meter jalan.
Seingat salah satu warga, Putu Shanti Arsana bahwa pernah dirinya pernah ikut sampai ke Desa Bulian-Kecamatan Kubutambahan. “Bahkan dulu pernah sampai ke Labuhan Aji – Temukus, Kecamatan Banjar.’’jelasnya.
Perjalanan melancaran tidak hanya di jalan besar tetapi juga memasuki jalan kecil, menerobos perkebunan atau tanah pertanian hingga berjalan di laut.
‘’Pernah melancaran dengan rute Pantai Kerobokan – saat itu para pengusung berjalan di dalam air sampai lebih dari setengah badan airnya masuk – menuju arah Timur. Kalau tidak ada kekuatan di dalamnya orang tidak akan mampu mengusung ‘pelinggih’ tersebut karena bebannya berat, berjalan menerobos perkebunnan, tanah pertanian. Uniknya pengikut atau pemedek ikut melakukan hal yang sama. Itu keunikannya,’’ jelas Santi.
Ada keunikan tersendiri, menyinggung tentang pengiring Bukakak saat melancaran. Mereka memakai pakaian Merah Putih dengan hiasan wajah coreng moreng. Biasanya dalam prosesi keagaaman seperti ini pengiring selalu berpakaian secantik atau sebagus mungkin.
Tapi beda saat mengiringi Bukakak lebeng asibak, justru wajahya dibuat seunik atau sejelek mungkin. Konon hiasan ini dilakukan untuk melakukan penyamaran terhadap pengiring lainnya yang kasat mata.
Proses Ngusabha Desa atau Ngusabha Bukakak
Prosesi Ngusabha Bukakak di Desa Giri Emas cukup panjang. Untuk sampai ke puncak acara – yang dipusatkan di Pura Pasek, Krama Subak dan masyarakat setempat melakukan berbagai kegiatan di Pura Kahyangan Tiga dan tiga Pura yang berada di palemahan Subak Dangin Yeh – yakni Pura Subak, Pura Gaduh dan Pura Panti. Ketiga Pura tersebut merupakan kunci Prosesi Ngusabha Bukaka – di Pura inipula dilakukan upacara ‘mendak tirta’, yang nantinya dibawa ke Pura Pasek.
Upacara ‘mendak tirta’, terkait dengan upacara terhadap Dewi Kesuburan. ‘’Rangkaian kegiatan sebelum Ngusabha Desa dimulai, ada upacara lainnya yaitu upacara di Pura Segara (Khayangan Tiga) Kemudian diiringi dengan upacara lainnya di Pura Subak Empelan, Pura Panti sebagai pengaturan pendistribusian air dan Pura Gaduh.’’.
Pura Gaduh tersebut masih menurut Jro Swastika, terdapat situs purbakala pemujaan Dewa Ghana Pati lambang kemakmuran yang berfungsi sebagai penangkal berbagai penyakit yang berhubungan dengan penyakit atau bencana pertanian. Di Situs ini juga terdapat sumur tua yang konon dibuat oleh Kebo Iwa. ‘’Ini juga ada kaitannya dengan pengairan,’’jelasnya. Upacara di Pura Panti terkait dengan pengairan.
Setelah upacara Odalan di Pura Kahyangan Tiga dalam hal ini Pura Segara dan di tiga pura utama yaitu Pura Subak Empelan, Pura Gaduh dan Pura Panti – baru kemudian dilanjutkan upacara di Pura Pasek – sebagai pusat kegiatan Subak, tetapi terlebih dahulu membawa Tirta dari kegiatan-kegiatan atau upacara di Pura Pura tersebut. ’’Prosesinya cukup panjang, paling tidak totalnya sepuluh hari sampai ke puncak acara – diluar persiapan upacara-upacara tersebut.’’masih menurut Jro Widhi Swastika.
Upacara Ngusabha Bukakak di Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan – Buleleng sangat unik dan sacral. Prosesinya upacaranya tidak berubah tetap bertahan sampai sekarang. Mulai dari pembuatan ‘pelinggih’ Bukakak, prosesi nuntun menetukan rute ‘melancaran’ hingga prosesi lainnya. Yang menjadi pertanyaan sammpai kapanan bertahan upacara Ngusabha Bukakak ini. Karena prosesi upacara
Ngusabha ini erat kaitannya dengan Subak dan lahan pertanian yang dikelola subak. Sementara penduduk semakin bertambah, namun awig-awig Subak Dangin Yeh sampai saat ini belum mepersiapkan antisipasi kondisi tersebut, termasuk peraturan daerah atau peraturan-peraturan lainnya.
Intinya menurut Putu Shanti Arsana, tokoh masyarakat setempat pihaknya sangat mendukung Ngusbaha Bukakak dijadikan sebagai warisan budaya. Artinya kegiatan keagamaan yang sudah berlangsung secara turun temurun itu mendapat apresiasi dari pemerintah sekaligus untuk pelestarian nilai nilai budaya di dalamnya.
Namun mantan Kepala Desa Giri Emas ini menegaskan, agar segera dibahas dan ditiindaklanjuti mengenai kendala atau masalah yang akan terjadi dikemudian hari.
‘’Kalau sifatnya secara fisik, perbaikan tempat ibadah itu tidak terlalu menjadi masalah Kalau sudah menjadi warisan budaya, disamping perbaikannya melalui swadaya, atau bantuan-bantuan lainnya tapi jelas paling tidak akan ada campur tangan pemerintah atau bantuan pemerintah. Tapi bagaimana terhadap persoalan keberlangsungan upacara Ngusbha Bukakak ini yang ada kaitannya dengan eksistensi Subak dan lahan serta pengairan di dalamnya,’’ungkap Putu Shanti Arsana, yang juga sebagai tenaga pengajar.
Katanya perlu ada pembahasan yang serius terhadap Warisan budaya, antara Pemerintah, warga masyarakat dan Subak sebagai pelaksana. ‘’Sangat komplek pembahasannya karena menyangkut lahan pertanian yang tidak hanya diselesaikan melalui awig-awig tetapi juga undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi supaya tidak tumpang tinduh, yang ujung-ujungnya kawasan yang seharusnya diperuntukan untuk pertanian dialihfungsikan sebagai tenpat tinggal.’’tegasnya.
Sekretaris subak Dangin Yeh, desa Giri Emas, Suardita menyambut baik Ngusabha Bukakak masuk dalam warisan budaya tak benda (WBTB). ‘’Ya selama ini masalahnya menyangkut tentang pendanaan upacara dan pembangunan tempat ibadah,’’ katanya.
Tapi dia mengakui awig awig Subak Dangin Yeh tidak membahas tentang pelestarian kawasan lahan pertanian di kawasan Subak Dangin Yeh. Sebagaimana saat ini, kawasan Subak Dangin Yeh masih terbuka untuk pengembang mendirikan bangunan. ’’Ini belum ada awig-awignya. Tapi kami akan segera membahas maslaah tersebut dimasukan ke awig-awig,’’ujarnya.
Pewarta : Alit Kertaraharja
Editor : I Putu Nova A.Putra