Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Pada masa Orde Baru, dunia pendidikan mengenal satu jargon, yakni CBSA (cara belajar siswa aktif). Sebagai jargon, tetap saja jargon. Yang aktif justru guru: berceramah, memberi PR, memberi nasihat, menyediakan materi. Siswa tetap pasif dan menjadi objek “penderita”.
Jargon itu terkubur sudah. Kini muncul tawaran 10 keterampilan abad ke-21 yang satu di antaranya berbunyi belajar aktif. “Belajar” aktif tentu tidak sama dengan CBSA. Esai ini mencoba menguraikan konsep belajar aktif pada konteks disrupsi, khusus pada lingkungan sekolah. Tujuan tulisan ini adalah membantu pembaca pada umumnya dan siswa pada khususnya agar bisa menjadi pribadi yang belajar secara aktif di tengah dunia yang memberi berbagai kemudahan atau berkah sebuah revolusi.
Belajar aktif tidak khusus bagi siswa tetapi ini adalah keterampilan yang dianjurkan kepada masyarakat. Siswa yang menjadi bagian masyarakat, juga harus mengembangkan kemampuan atau keterampilan belajar aktif sejalan dengan meliu sosial mereka.
Belajar aktif pada konteks sekolah bertolak belakang dengan belajar yang terikat atau bergantung kepada lembaga pendidikan. Pada lembaga pendidikan, siswa tidak bebas. Kurikulum belajar telah disiapkan. Daftar mata pelajaran juga demikian halnya. Guru memandang bahwa siswa tidak tahu pa-apa. Siswa mempelajari materi yang seragam dan dengan cara yang sama. Siswa dibentuk patuh dan seragam. Standar-standar prestasi monolitik atau tunggal dikembangkan. Siswa pun menjadi objek yang pasif serta terbentuk dalam kondisi paradigma monolitik.
Ada sejumlah alasan mengapa keterampilan belajar aktif ini penting pada abad mendatang atau bahkan sekarang ini ketika Revolusi 4.0. Internet menciptakan kondisi akses terbuka dan bebas secara global dan nirwaktu. Pengetahuan mudah diperoleh secara digital dan daring. Semua orang memiliki peluang yang sama untuk mengakses pengetahuan. Terbukanya berbagai profesi baru yang tidak ditentukan oleh pendidikan tetapi oleh kesaksian sosial yang terbuka dan bebas. Berbagai contoh sukses hidup masyarakat dapat dijadikan model kesuksesan baru dan peningkatan daya saing atau profesionalisme.
Namun demikian, di lembaga sekolah masih bercokol pandangan konvensional bahwa guru adalah sumber pengetahuan dan siswa menjadi sangat bergantung kepada kuasa para guru. Hal ini sebenarnya sudah usang karena siswa bisa belajar dari berbagai sumber di internet karena siapapun termasuk siswa juga adalah disruptif. Tapi siswa akan tetap menganut pandangan konvensional dalam belajar jika tidak memiliki motivasi belajar aktif. Sementara itu, guru di sekolah-sekolah belum sungguh-sungguh mampu mengembangkan keterampilan belajar aktif pada para siswa. Justru siswa bergeming pada konsep belajar pasif. Mereka bergantung pada sekolah. Mereka tidak bisa melakukan tindakan belajar tanpa sekolah. Apa yang dipelajari semata-mata sejalan dengan kurikulum. Cara siswa belajar juga sangat formal, sebagaimana yang sudah berulang puluhan tahun di kelas-kelas status quo.
Program merdeka belajar adalah antitesis belajar pasif. Konsep merdeka belajar memiliki landasan global yaitu keterampilan belajar aktif, sebagai salah satu tuntutan abad ke-21. Belajar aktif tampak pada tindakan belajar mandiri. Seseorang belajar karena keinginan untuk mengetahui, menguasai, bersikap tertentu untuk mencapai tujuan hidup yang murni dari dirinya sendiri. Belajar aktif sangat dimungkinkan saat ini karena sumber belajar tidak terbatas dan bebas diakses. Pengetahun tidak lagi dikuasai oleh suatu lembaga. Belajar aktif terjadi secara alamiah dan sosial yang berdimensi pragmatik sangat kental. Tujuan utama belajar aktif adalah terampil dalam suatu bidang dan menghasilkan uang.
Salah satu ciri belajar aktif adalah sikap merdeka untuk mempelajari suatu subjek atau menguasai suatu keterampilan. Seseorang yang belajar aktif tidak bergantung kepada lembaga pendidikan. Konsep belajar aktif pada era ini adalah disrupsi belajar konvensional yang identik dengan pusat pengembangan belajar pasif. Seseorang secara aktif melakukan praktik belajar untuk dirinya yang dilakukan dengan mengakses sumber-sumber pengetahuan dalam berbagai bentuk di dunia digital daring. Dalam hal ini aspek otodidak menjadi landasan. Para pembelajar seperti ini mendapat penilaian langsung dari masyarakat, berupa nilai jual dan pengakuan sosial yang terukur dengan sangat jelas: popularitas dengan berbagai dimensinya.
Implementasi belajar aktif pada siswa formal adalah adanya sikap yang mengimbangi praktik belajar pasif sekolah dengan sikap aktif atau merdeka mempelajari sesuatu. Seorang siswa tidak lagi bergantung pada sejumlah subjek mata pelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Ia mengembangkan “kurikulum” belajar sendiri. Belajar aktif bagi siswa dapat menunjang aktivitas belajar formal. Pada masa pandemi ini keterampilan belajar aktif sangat dibutuhkan sehingga siswa selalu sadar dan termotivasi belajar (dalam pengertian yang luas dan praktis).
Ada beberapa tujuan belajar aktif, yakni yang murni atau mandiri untuk pengembangan diri tanpa terikat kepada suatu lembaga pendidikan formal dan tidak lagi mengejar gelar atau ijazah. Ada pula yang melakukan belajar aktif dengan kesadaran untuk mengimbangi praktik belajar formal di sekolah. Belajar aktif juga dilakukan untuk mengkritisi cara-cara pelaksanaan belajar pasif/konvensional. Belajar aktif juga bertujuan untuk memuliakan dimensi humanisme dalam belajar yang diwujudkan dengan kebebasan atau kemerdekaan dalam memilih pengetahuan atau keterampilan untuk diinternalisasi pada diri seorang pembelajar yang merdeka.
Saat ini universitas di Indonesia mengembangkan program Kampus Merdeka. Program ini diimplementasi menjadi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (KMBKM) yang berlaku tahun 2020/2021, memberi kebebasan bagi mahasiswa belajar tiga semester di luar program studi yang dipilihnya, baik di dalam universitas, di luar, atau di perusahan. Kurikulum ini secara proaktif memotivasi mahasiswa untuk merdeka atau aktif dalam mengembangkan diri atau menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Implementasi merdeka belajar di sekolah memang belum tampak pada kurikulum, namun telah dikembangkan menjadi program guru penggerak. Namun begitu adanya, implementasi belajar aktif bisa dikembangkan pada diri siswa. Sekolah dan orang tua harus menyadari kenyataan yang ada saat ini, dengan ketersediaan sumber belajar tidak terbatas yang didukung oleh berbagai media penyajian. Sekolah, guru, dan keluarga dapat mendukung atau membantu siswa untuk belajar aktif.
Berhadapan dengan dunia digital daring, siswa dibina sikap untuk mengakses muatan-muatan yang bermanfaat atau yang mampu membelajarkan diri dalam pengembangan segala kapasitas atau kualifikasi secara aktif dan mandiri. Tanpa kesadaran belajar aktif, berkah Revolusi 4.0 tidak ada!
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)