Dari Ngelawar Hingga Kenang Kerasnya Politik Masa Lalu

Dua seniman I GB Mahardika dan Ketut Sindhu saat melakukan reuni kecil sambil ngelawar sambil bernostalgia tentang kehidupan kesneian dan politik di masa lalu |FOTO : Alit Kertaraharja|

Singaraja, koranbuleleng.com | Karakter masyarakat Buleleng dikenal sangat mudah bergaul dan cepat menyesuaikan diri. Demikian juga gaya bicara cenderung ‘kasar’ ceplas ceplos apa adanya. Itu semua karena untuk menunjukan keakraban dalam pergaulan. Karena sifat-sifat demikian mereka dikenal sangat bersahabat dan setia kawan.

- Advertisement -

Karakter itu juga menyelimuti para seniman di Buleleng. Cara mereka bergaul setiap hari diantara pertemanan dalam komunitas seninya selalu seperti itu, dan selalu ada yang menggelitik dan pantas untuk dicermati. Karena selalu ada canda dan tawa, tanpa beban serta pengalaman-pengalamanyang menggila dan konyol..

Adalah I GB Mahardika, 73 tahun, Ketut Sindhu,73 tahun,  Wayan Sarma, 66 tahun, Dewa Sukarya, 59 tahun,  dan Nyoman Sugitha Rukiana, 48 tahun,  saat dijumpai melakukan kegiatan ngumpul bareng sambil ‘Ngelawar’ di kawasan Jalan Pantai Kerobokan, Sawan – Singaraja, Bali.

Sesuai tradisi, kelompok seniman ini sering melakukan pertemuan kecil pada hari-hari tertentu, tidak terkecuali perayaan tahun baru 2021.  Alasannya untuk mempererat tali persahabatan yang sudah terjadi cukup lama.

Uniknya mereka melakukan pertemuan atau ngumpul-ngumpul bersama ini  sudah dalam peralanan di lintas usia yang semakin senja. Tapi kedekatan kelompok seniman ini kedekatannya  seperti seusia – mereka diskusi tidak ada batas, tapi tetap dalam koridor saling menghargai dan menghormati satu sama lain. 

- Advertisement -

Keindahan persahabatan ini  bisa dilihat dari cara melakuan pendekatan, Mereka bisa saling adu argumen, saling ledek’ tetapi dalam konteks pengalaman  pementasan. Kadang ada yang lucu, sedih ataupun pengalaman saat latihan dan sebagainya.

Biasanya diakhir pertemuan, mereka bisa baca pusi atau hanya sekedar mengingat dialog kenangan saat melakukan pementasan. Baik pementasan murni berkesenian ataupun kadang dibungkus dengan nuansa politis. Karena mereka merupakan seniman-seniman senior dan sudah banyak pengalaman pementasan, apa yang mereka lakukan mengalir begitu saja.

Sekitar tahun 60-an Ketut Sindhu yang masa-masa itu baru beranjak dewasa, sangat memahami betul tentang situasi gejolak politik saat itu. Dimana Sindhu yang masih memiliki semangat membara  – sudah mulai actif berkesenian dan juga di panggung politik praktis. Debutnya berkesenian saat melakukan pementasan  Drama tradisional (yang bisa jadi merupakan cikal bakal drama Gong, red). Pementasan drama  tradisional dimaksud saat itu  adalah bentuk drama pertunjukan yang hanya diiringi suling dan lagu-lagu atau nyanyian  Bali.

Sindhu masih mengingat beberapa judul drama tradisional yang pernah dimainkannya. Seperti  ‘’Batur, Wong Nusa Penida dan Sangkuriang’’.  Penulisnya adalah tokoh Buleleng saat itu alm. Gede Dharna.  

‘’Sejak mudah saya sudah actif berkesenian. Pementasan drama tradisional bukan awal pementasan, tapi setelah pementasan-pementasan lainnya. Saat itu Drama tradisional yang kami mainkan hanya diiringi suling dan nnyanyi-nyanyian Bali.  Seperti teater pada umumnya atau seperti drama gong bedanya hanya diiring  tipuan suling dan nyanyian-nyayian Bali yang diambil dari lagu-lagu Bali , pupuh ginada, pupuh sinom dan lain-lain sesuai alur cerita,’’ungkap Sindhu.

Masih diingat sekitar tahun 1963 suasana politik begitu keras, Sindhu- yang saat itu masih muda sudah ikut terlibat di dalam poltik praktis-  masuk  sebagai pendukung  Front Marhaenis.  Kebetulan Sindhu yang juga sebagai seorang pelaku seni, tidak segan-segan memasukan unsur-unsur politik ke alur cerita yang dimainkannya. ‘’Seperti alamarhum Pak Gede Dharna tokoh politik dan seniman Buleleng, merupakan pembuat naskah  jadi cerita yang disisipkan bernuansa politis atau tendensius.’’ katanya.

Sindhu masih ingat dimana dirinya  pernah terkena ‘black list’ kala  jaman “pengolkaran” di Buleleng. Saat membacakan sebuah puisi karangannya sendiri berjudul ‘’Aku dan  Bung Karno’’ pada kegiatan di Kampus IKIP Malang – Singaraja, (sekarang Undiksha,red).  

Adapun syair yang masih diingatnya antara lain ‘’…. Masih saja MERAHNYA senja seperti ini, semerah hatimu yang pegang belati, Lihat sejuta otot menetahui, merelakan, darah tertumpah , melanda aksi pendongkel Bung Karno’’.   

‘’Usai pembacaan puisi tersebut, mengundang banyak reaksi terutama dari pihak dosen. Saat itu jaman penggolkaran, sampai saya terkena ‘’black list’’. Sebenarnya saya sudah minta ijin ke Senat dan  Badan Eksekutif Mahasiswa, mereka setuju. Tapi justru yang kebakaran jenggot dosen-dosennya,’’ kenangnya.

Sindhu tidak sendiri berkesenian, muncul juga dijamannya I GB Mahardika seniman multi talent berasal dari Tabanan. Tapi sejak akhir tahun 60-an sudah menetap di Buleleng. Ditempata salnya, Mardika sudah actif berkesenian, tapi justru mantan tenaga pengajar ini dikenal masyarajat Buleleng menyusul saat bergabung di Sekaha Drama Gong Puspa Panji Anom Banyuning tahun 70-an.

Sekaha Drama Gong pertama di Buleleng Puspa Panji Anom. Di sini dua seniman Buleleng ini, Mardika dan Shindu bertemu bermain dalam satu sanggar.

Bisa dikatakan seniman ini sangat mengetahui perjalanan  kesenian Drama Gong di Buleleng, sampai akhirnya pertunjukan Drama Gong semakin tak bersemangat sampai kini.  

‘’Kami sangat tahu bagaimana perjalanan bentuk pertunjukan seni Drama Gong ini, dari masa kejayaannya sampai meredup. Karena kami berdua ada di dalamnya,’’ ungkap Mardika.

Masyarakat Buleleng memang tidak asing lagi sosok Begug Mahardika atau dikenal dengan panggilan Begug atau Mardika. Dalam pementasan di Drama Gong, Begug Mardika selalu memerankan Raja atau Ayah dari pemeran utama (Raja Muda dan Putri Raja, red).  

Karena wajah dan postur tubuh, serta pandainya memerankan tokoh protagonis sehingga selalu didapuk memainkan seseorang yang berprilaku baik dan bijaksana. ‘’Ya saya selalu memainkan tokoh-tokoh itu,’’ungkapnya sambil tersenyum.  Pun  saat bermain di pementasan theater tidak jauh-jauh dari peran tersebut.

Sebaliknya Ketut Sindhu justru selalu memainkan seorang yang ‘tertindas’. Dengan penampilan postur tubuh yang mungil dan ekspresif, ditunjang olah vocal  dan kepandaiannya memainkan peran, sebuah cerita menjadi sangat indah membuat penonton berdecak kagum. 

Begug Mardika dan Ketut Sindhu keduanya memang tokoh seni mumpuni di Buleleng. Keduanya menghdupkan berkesenian di Buleleng bahkan sampai saat ini. Active di PKB sejak awal sampai saat ini, juga serng sebagai juri puisi dan bentuk-bentuk kesenian lainnya

Dewa Ketut Sukarya, yang juga pentolah Sanggar Bali Ambengan pimpinan Alm. Wayan Silur juga begitu aktiv. Kegiatannya disekolah-sekolah mampu membina siswa-siswinya berprestasi lomba-lomba seni. Untuk peran di Drama Gong, ataupun theater, Dewa Sukarya yang masih aktif sebagai tenaga pengajar di sekolah sadar ini lebih condong memerankan ke karakter antagonis, sesuai dengan bentuk perwajahan.

Nyoman Sugitha, lulus sekolah Seni Tari kesehariannya disamping membina sanggar Tari dan Theater miliknya sendiri, juga menulis naskah dan mendalami sutradara pementasan drama modern dan tradisional. Dia, seniman termuda diantara kelompok seniman yang sudah tua itu.

Saat ini membina kegiatan seni di Universitas Ganesha, Sngaraja. Sugitha juga sering bergabung dan bermain Film TV dengan Sanggar Bali Ambengan. Menurutnya pengalaman yang sangat saat bermain di Film TV Bulan ‘Pucat di Gunung Agung’ serta pementasan theater modern ‘Bulan Pucat buat Nyoman Sayang’.  Disamping lokasi shooting juga tujuan pementasan seni pertujukan tersebut sebagai bentuk kampanye anti kekerasan sexual terhadap anak dan perempuan.  (*)

Pewarta : Alit Kertaraharja

Editor   : I Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts