Dua pesilat sepuh asal Bali aga Wayan Mudita alias Pekak Mudin dan Nyoman Windi alias Pekak Windi menunjukkan jurus silat Depok da Setembak |FOTO : Yoga Sariada|
Singaraja, koranbuleleng.com | Umurnya sudah 83 tahun, namun fisiknya masih terlihat kuat. Walaupun gigi sudah habis termakan usia, namun permainan silatnya masih sangat lincah. Dia, Wayan Mudita alias Pekak Mudin, warga Dusun Corot, Desa Cempaga, Kecamatan Banjar.
Pekak Mudin salah satu pesilat depok yang amat tersohor di Bali Aga. Dulu, banyak pesilat-pesilat tersohor lahir di Bali aga, namun sudah banyak yang meninggal dunia. Saat ini, selain pekak Mudin ada satu pesilat lain dari Bali Aga, yakni Nyoman Windi, asal Desa Pedawa.
Dari sisi usia, Nyoman Windi lebih tua dari Pekak Mudin. Menurut pengakuannya, umurnya sudah diatas 90 tahun. Di masa lampau, kakak dari Pekak Mudin adalah teman dekat dari Nyoman Windi. Mereka berdua selalu berkelana dari desa ke desa untuk mengajarkan silat. Tujuannya desa-desa di Karangasem dan Tabanan.
Nyoman Windi merupakan pesilat dari aliran setembak. Ada perbedaan mendasar dari Silat Depok dan Setembak, yakni pada posisi pukulan dan kuda-kuda.
Dua pesilat Bali aga ini kini bersatu melatih generasi-generasi anyar. Misi kedua pesilat sepuh ini sama, yakni silat tetap ajeg sebagai waris leluhur.
“Saya hanya ingin, kelak ketika meninggal, nama saya diingat oleh anak-anak bahwa saya menurunkan ilmu silat dan diteruskan oleh mereka semua,” tutur Pekak Mudin.
SIlat, kata Pekak Mudin, digunakan untuk pergaulan, mencari teman atau menyamabraya. Silat tidak bisa digunakan untuk membuat permusuhan. Usia tidak menjadi halangan bagi Pekak Mudin untuk terus mengajar. Sejak muda, tutur Pekak Mudin, ketika itu Indonesia masih dipimpin Soekarno, dia sudah berjalan kaki menuju desa-desa lain untuk mengajarkan ilmu silat.
“Sampai sekarang tiang masih lebih suka berjalan kaki, diminta naik ojek saya tidak mau, malah pinggang sakit kalau berboncengan motor” katanya. Karena kebiasaan berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh, membuat fisik Mudin yang sepuh masih teramat sehat. Padahal, rokok kretek tiada henti dia hisap. “Cuma gigi saja habis. Nah, mudah-mudahan saya sehat saja,” katanya.
Dua pesilat sepuh ini, membuat sebuah perguruan silat di belakang rumah dari Pekak Mudin. Perguruan itu hanya bercirikan sebuah bangunan sederhana sebagai sarana latihan bagi anak-anak di Desa Pedawa dan Cempaga untuk berlatih. Peresmian Perguruan Pencak Silat Depok Tri Dharma, Kstaria Muda Bali aga dilakukan Senin 14 Juni 2021 dengan penanda atraksi pencak silat dari anak-anak muda Bali aga.
Baik Pekak Mudin dan Pekak Windi sudah mempunyai ratusan murid. Darah pesilat bukan hanya diturunkan bagi generasi kandung mereka, namun bagi generasi lainnya.
Anak dan cucu Pekak Mudin hampir semua menguasai jurus-jurus silat. Seorang pesilat bisa menamatkan ajaran silat depok bila sudah menguasai sekitar 36 jurus dalam tiga tahapan pembelajaran.
Pertama proses pembelajaran tangkepan sebanyak 12 jurus, tahapan pembelajaran pedumel sebanyak 12 jurus, dan tahapan silat sebanyak 12 jurus. “Setelah semua jurus itu dikuasai barulah menamatkan pembelajaran silat dengan sebuah upacara disebut kerik tangan,” terangnya smabil nemperbaiki peci.
Udin selalu memakai peci ketika mengajar murid-murinya. Peci tersbeut pemberian dari gurunya, bernama Abidin dari Desa Pengastulan, kecamatan Seririt. Walaupun hanya sekedar peci, namun Mudin mengaku sangat merawat peci warisan sang guru.
Nyoman Windi juga bertukar cerita. Kehebatan para pesilat Bali aga sebenanrya tersohor sejak lama, namun ajaran silat tidaklah bisa digunakan untuk mencari permusuhan namun untuk membela diri dan mencari pertemanan. Bela diri digunakan ketika ada ancaman musuh.
“Dulu saat jaman gestok, tiang mau dibunuh oleh dua orang di atas danau Buyan. Namun Silat ini yang menyelamatkan saya. Mereka bawa senjata tapi say abis aselamat menangkis serangan-serangan musuj,” cerita WIndi.
Sama dengan cita-cita Mudin, sahabatnya. Windi juga bertekad agar silat ini membumi dihati anak-anak desa Bali aga. Walaupun berbeda aliran, itu bukanlah kendala. Perbedaan mendasar darikedua silat ini hanya pada jurus saja, bukan pada makna silat itu.
Sementara itu, Perbekel Cempaga, Putu Suarjaya mengaku akan selalu mendukung upaya-upaya untuk melstarikan warisan leluhur, termasuk silat ini.
Di Bali aga, silat menjadi pondasi untuk melompat pada ilmu bela diri lain. Banyak, anak-anak Bali aga yang belajar silat lalu mempelajari lebih dalam ilmu bela diri lain seperti Muathay, Kungfu, Kempo dan lainnya.
“Sudah tidak jaman ilmu beladiri untuk cari musuh dan menjadikan arogan. Kita keras, tetapi seorang yang menguasai bela diri haruslah keras diatas ring saat berlaga di even-even olahraga beladiri,” ujar Suarjaya.
Kedepan, kata Suarjaya, Pemdes Cempaga akan memberikan bantuan sarana dan prasarana untuk latihan silat bagi anak-anak di Bali aga, khususnya di Desa Cempaga. Selain itu, dia juga mengaku akan mencari bantuan dari beberapa villa yang telah beroperasi di wilayah Cempaga untuk pengadaan sarana dan prasarana tersebut.
Sementara pelatih Muathai yang juga Binpres Koni Buleleng, Gede Sudama alias Buda mengakui silat menjadi pondasi bagi ilmu beladiri lain, seperti muathay. Jauh sebelumnya, Buda juga lahir dari lingkungan pencak silat. Setelah menguasai silat, Buda merambah ke olahraga bela diri Muathai dan kungfu.
“Dari sisi aturan laga, silat memang lebih kaku namun berbeda dengan Muathay yang lebih leluasa melakukan pukulan dan tendangan untuk mencari poin. Kalau silat tidak boleh memukul wajah, bisa diskualifikasi,” ujarnya.
Buda mengaku banyak anak-anak Bali aga yang mendapat prestasi sebagai atlet Muathay. Dia berharap, ilmu bela diri tetap bisa diteruskan oleh generasi Bali aga, karena dulu sesepuh pesilat dari Bali aga yang sudah menanamkan dan menyebarkan ajaran silat ke sejumlah desa di Bali. (*)
Pewarta : Kadek Yoga Sariada
Editor : I Putu Nova A. Putra