Disabilitas Harus Dapatkan Kesetaraan Hak dalam Kepemiluan

Singaraja, koranbuleleng.com | Selama Pemilu berlangsung, Penyandang Disabilitas merasa belum mendapatkan kesetaraan hak sebagai pemilih.  Siapa yang disebut Penyandang Disabilitas?

Menurut UU 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

- Advertisement -

Menurut Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Buleleng, Made Budiarta melalui undang-undang itu penyandang disabilitas menjadi subyek dalam segala lini pembangunan, baik perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evakuasi.

Berdasarkan undang-undang tersebut, Budiarta juga berharap besar penyandang Disabilitas bisa mendapatkan hak yang setara dalam kepemiluan dan itu wajib diberikan oleh penyelenggara pemilu. Penyandang Disabilitas mempunyai hak yang sama dengan warga lain dalam proses demokrasi.

Kesetaraan hak dan kesempatan yang sama wajib di dapatkan oleh penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak suaranya. Sederhana saja, kata Budiarta, Penyandang Disabilitas yang menggunakan kursi roda bisa dibuatkan akses menuju ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) atau ke bilik suara agar bisa memberi kontribusi suara dalam Pemilu.

“Atau Tuna netra dibantu dengan template huruf braile yang lebih bagus dan komplek, dan teman disabilitas tuna rungu wicara juga butuh dukungan tenaga bahasa isyarat di TPS,” ujar Budiarta usai mengikuti Sosialisasi Pengawasan Partisipatif yang digelar Bawaslu Buleleng, Kamis 18 Nopember 2021.

- Advertisement -

Budiarta mengakui, selama Pemilu atau Pemilihan kepala daerah yang sudah berjalan, penyelenggara pemilu baru menyediakan kertas suara dengan template braile bagi Tuna Netra saja. Namun yang cukup menjadi masalah bagi penyandang Tuna Daksa menggunakan kursi roda sering sekali kesulitan mengakses TPS ataupun bilik suara yang berlokasi melewati tangga. Sementara di Bali, lebih banyak TPS menggunakan tempat atau Gedung yang bertangga, seperti Wantilan dan sejenisnya.  

Ataupun warga Disabilitas dengan kondisi cacat berat, yang tidak bisa melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, hanya di rumah atau di tempat tidur saja, juga seringkali tidak bisa menyalurkan hak suaranya. Tidak ada petugas yang mendatangi dan memfasilitasi warga yang alami cacat berat agar bisa menyalurkan hak suaranya.

“Mungkin dari aparat terbawah belum maksimal melaporkan ke atas, misalnya di daerahnya ada warga disabilitas dengan kategori berat yang butuh bantuan akses untuk menyalurkan suara tapi tidak dilaporkan. Ya jadi hak suara mereka tertinggal.” terangnya.

Budiarta mengaku dirinya pernah menjadi relawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Buleleng dalam setiap perhelatan Pemilu. Dia juga melaporkan keberadaan warga Disabilitas kategori berat itu. “Masalahnya ya itu, kembali lagi kemauan petugas paling bawah.” tegasnya kembali.

Disisi lain, kata dia, masih ada stigma buruk yang terpelihara di benak masyarakat bahwa Disabilitas tidak perlu menyalurkan hak suara, padahal itu sangat penting. Budaya buruk tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu kedepan untuk menghilangkan stigma tentang disablitas tidak perlu menyuarakan pilihannya.

“Padahal undang-undang mengisyaratkan satu suara penting sekali untuk pembangunan Negara ini ke depan.” kata Budiarta.

Dia menyebut, jumlah penyandang disabilitas yang dicatat oleh Dinas Sosial Buleleng mencapai sekitar 4000 disabilitas dengan berbagai kecacatan. Namun sejauh ini memang tidak ada tingkat prosentase yang pasti tentang warga disabilitas yang tidak bisa menyalurkan haknya dalam pemilu. ”Yang jelas banyak, berapa prosentasenya saya kurang begitu tahu,” tambah Budiarta.

Sementara itu, Anggota Komisioner Bawaslu Buleleng, Wayan Sudira mengakui sejauh ini penyelenggara pemilu memang kerap mengalami kesulitan dalam mengakses data pemilih yang mengalami disabilitas.

Untuk itu, dia berharap PDDI kabupaten Buleleng juga bisa berkomunikasi dengan Bawaslu Kabupaten Buleleng agar semua warga bisa menyalurkan hak pilihnya baik warga disabilitas maupun warga biasa. “Saya berharap nanti Bli Made harus sering berkomunikasi dengan kita soal data ini, sambal ngopilah. Karena warga Disabilitas maupun warga yang biasa mempunyai hak yang sama dalam kepemiluan ini,” terang Sudirasaat memberikan materi sosialisasi Pengawasan Partisipatif.

Sudira juga meminta agar masyarakat luas bisa berpartisipasi aktif dalam pengawasan Pemilu.  Beberapa hal yang dapat dilakukan agar bisa berperan dalam pengawasan partisipatif, yakni hadir dalam pemilu, aktif dalam proses tahapan pemilu, melakukan pemantauan, melaporkan setiap pelanggaran, dan mengikuti setiap perkembangan informasi tentang pemilu.

“Mari kita rawat paham demokrasi kita melalui partisipatif pemilu.” ujar Sudira.

Bawaslu Kabupaten Buleleng menyelenggarakan sosialisasi pengawasan Pemilu partisipatif, Kamis, 18 November 2021. Sosialisasi ini menyasar pada organisasi kemasyarakat dan komunitas warga.

Ketua Bawaslu Kabupaten Buleleng, Putu Sugi Ardana mengungkapkan Bawaslu mencoba untuk mensosialisasi bahwa pemilu milik kita bersama dan mengajak seluruh komponen untuk turut serta dalam pengawasan pemilu. 

“Bisa dikatakan ini strategi Bawaslu untuk melakukan pengawasan pemilu. Nantinya yang ikut sosialisasi akan mengetok tularkan ini kepada yang lain, sehingga secara bersama-sama kita mengawasi setiap tahapan pemilu.” ujar Sugi Ardana.|NP/SY|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts