Nurani itu amat jauh, tinggi, utopis hanya mampu dijalani oleh Ibu Teresa yang hidup dan berjuang dalam kubangan miskin Kota Calcuta, di India.
Apa yang akan menimpa SMAN Bali Mandara sebagai titik balik dan telah menunjukkan anomali politis yang sulit ditampik, terobosan seorang mantan petinggi Polri, Mangku Pastika; sejalan dengan transformasi sosial berbasis ekonomi pertanian kopi dan vanili di desa-desa pegunungan di Bali antara 1970-an hingga pertengahan 1990-an.
Di desa-desa pertanian kopi di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, misalnya, para petani membangun paradigma mengubah nasib pada anak-anak mereka agar tidak lagi menjadi petani di desa. Hal ini dilandasi oleh ekonomi perkebunan kopi, cengkeh, dan vanili, yang sungguh menjanjikan. Transformasi tersebut suatu ciri kemajuan sosial setelah Indonesia merdeka, memasuki zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda, pergolakan ideologi yang berujung pada Gestok, dan peng-Golkar-an. Kaum petani seolah sedang melakukan protes atas pengalaman politik berdarah yang mengorbankan saudara-saudara sendiri sebanjar; dengan cara memilih jalan transformasi sosial dalam bidang pendidikan dan investasi SDM dengan dukungan ekonomi kopi.
Anak-anak petani dikirim ke kota melanjutkan di sekolah menengah (pertama dan atas) serta hingga ke jenjang universitas. Yang mana ketika itu paling-paling baru ada satu SMP di setiap kecamatan. Angkatan siswa SMA tidak tertampung dan mereka pergi ke Tabanan atau Denpasar serta ke hampir semua kota kabupaten di Bali, untuk bersekolah, baik negeri dan swasta.
Kesadaran para petani itu mirip dengan yang dipikirkan oleh Mangku Pastika, bahwa lewat pendidikan yang premium atau platinum kaum miskin bisa mengentaskan diri dari hidup berkubang derita sosial dan struktural. Beda memang, kesadaran di kalangan petani kala itu benar-benar murni swadaya dan menjadi wacana sosial: bersekolah untuk mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Paradigma ini dilandasi oleh uang yang diperoleh dari perkebunan kopi, cengkeh, dan vanili. Uang itu digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Kaum petani di Pupuan dan juga di berbagai kecamatan dengan potensi pertanian di daerah lainnya, menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi dan pendidikan adalah jalan terbaik mengubah taraf hidup.
Soal ini diulas oleh Putu Setia, dalam buku Menggugat Bali pada bab yang menceritakan pandangan Guru Nesa atau I Wayan Nesa Wiswanda. Pada kehidupan tradisional kaum tani dengan hasil yang melimpah, kopi dijual dan uangnya beku. Masyarakat mengalami surplus ekonomi. Investasi tanah di desa sudah sampai pada puncaknya. Kopi kadang disimpan saja di gudang dan bubukan. Beberapa bulan lagi panen melimpah segera tiba. Maka surplus semacam ini baru mendapat jalan keluar ketika ada upacara ngaben yang dikenal dengan ngerit, ngewasta. Namun demikian, di desa tempat tinggal Guru Nesa dikenal juga ngaben yang dilakukan secara individu, tidak harus menunggu program ngerit. Walaupun surplus hasil panen kopi akan menemukan jalan keluar lewat pembiayaan besar upacara ngaben, yang akan menghabiskan berkwintal-kwintal kopi, rupanya, sebagaimana ditulis oleh Putu Setia dengan sangat memikat dan menohok kritis, I Wayan Nesa Wiswanda rupanya punya visi yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya di Desa Pujungan.
Putu Setia menulis pendapat Guru Nesa, yang kurang lebih begini. Untuk apa ngaben menghabiskan banyak kopi, kan lebih baik digunakan untuk menyekolahkan anak ke Jogja. Pikiran atau pandangan-pandangan modern seperti yang disampaikan Guru Nesa itu rupanya kelak akan membawa Desa Pujungan dengan kemajuan pesat, seperti hari ini. Salah satu laporan Majalah Berita Mingguan Tempo, mengenai suksesi kepemimpinan desa adat di Pujungan, menyatakan bahwa kala itu, ketika tabu mengangkat pemimpin kalangan muda, yang saat ini dikenal dengan pemimpin milineal, namun desa ini telah melakukannya, bahkan di tataran pemerintahan desa adat yang dianggap suci. Memang terbukti kemajuan pesat secara ekonomi dan infrastuktur pariwisata, sosial, fisik, kesehatan, pendidikan, dan jasa dimiliki oleh desa ini, yang membedakan dengan sangat kontras wajah desa dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Pupuan.
Puncak sukses dalam menerjemahkan visi petani pupuan, berinvestasi dalam pendidikan untuk masa depan yang lebih baik, dan lewat pendidikan akan terjadi perubahan status ekonomi seseorang secara signifikan, ada di tangan Desa Pujungan. Namun demikian, hampir semua desa di kecamatan ini melakukan gerakan sosial, menyekolahkan anak-anak mereka ke kota dan sampai semampu-mampunya kuliah. Pendidikan diterima sebagai status sosial yang bergengsi tidak hanya sebagai simbol namun dengan pardigma pendidikan adalah investasi SDM dan memutus rantai kemiskinan.
Kelak, sebagai proyek anomali pembangunan di Bali, Mangku Pastika menerapkan konsep pendidikan sebagai investasi SDM yang mahal namun hasil bisa dicapai lewat proses yang bagus; melalui pembangunan SMA Bali Mandara di Desa Kubutambahan, di atas lahan seluas 10 hektar, yang sebelumnya “tidur”. Proyek anomali ini adalah satu jawaban kepada berbagai proyek “air mata” pembangunan bagi pendidikan kaum miskin, yang dilakukan dengan seperempat hati atau kurang dari itu oleh kaum politisi yang menduduki birokrasi di kantor bupati atau kantor gubernur. Proyek-proyek pendidikan bagi kaum miskin itu, hanya untuk mempermanis laporan tahunan, pemanis kata sambutan, atau agar tampak populis jika dikutip pers.
Banyak ada proyek pendidikan kaum miskin namun ini jangka pendek dan instan. Lalu ini disempurnakan terus oleh pemerintahan selanjutnya dan secara masif pendidikan murah ada di tangan Presiden Joko Widodo. Itu saja tidak cukup karena pendidikan bukan soal pembiyayaan semata. Pendidikan adalah soal pembangunan dan pembentukan tiga ranah (kognitif, tindakan atau aksi, dan sikap). Ini perlu waktu lama dan sangat tidak terjawab oleh kartu-kartu pintar atau kartu-kartu miskin. Semua itu instan dan inilah hakikat kata-kata Confucius bahwa perencanaan pendidikan adalah paling panjang, ketimbang menanam padi (cukup 1 tahun), menanam pohon (10 tahun): yakni tetapi pendidikan 100 tahun. Hal ini pula yang mengurungkan niat para pemimpin atau politisi tidak mau mengorbankan uang negara selama memerintah untuk kaum miskin: kecuali Mangku Pastika. Karena itu SMAN Bali Mandara yang kemudian disusul dengan SMKN Bali Mandara adalah anomali politik.
Mengapa sangat gampang menghancurkan proyek anomali ini? Mengapa tak satu pun bupati yang sezaman dengan Gubernur Mangku Pastika melakukan hal yang sama? Jawabannya di samping seperti pendapat confucius di atas, juga karena orang miskin adalah kaum yang lemah secara struktural dan lebih-lebih ekonomi yang juga tidak terpandang dalam status sosial. Karena itu, tidak ada advokasi-advokasi yang signifikan bagi kaum miskin. Ini adalah sebuah relasi filosofis ekonomis dalam pemikiran besar umat manusia berupa konstelasi oposisi yang sangat tajam: yakni pertentangan dua kelas.
Lantas hanya ada satu partai yang sanggup membela kaum miskin apapun itu sebutannya, entah marhen atau proletar (kaum buruh yang hanya punya dirinya sendiri saja dan karena semua alat-alat produksi dikuasai majikan, kaum pemilik modal, atau kapitalis), Partai Komunis, dengan berbagai aliran dan turunannya.
Esai ini hanya untuk menegaskan, jika proyek anomali politik SMAN Bali Mandara “dinormalisasi” adalah karena persoalan nurani semata. Nurani itu amat jauh, tinggi, utopis hanya mampu dijalani oleh Ibu Teresa yang hidup dan berjuang dalam kubangan miskin Kota Calcuta, di India. (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.