Singaraja, koranbuleleng.com| Umat Hindu khususnya di Bali sangat menghormati keberadaan tumbuh-tumbuhan, yang sesuai dengan konsep Wana Kerti sebagai upaya pelestarian hutan. Biasanya, momen menyucikan tumbuh-tumbuhan untuk kesuburan dilaksanakan pada hari Tumpek Pengatag.
“Kaki kaki, dadong jumah? Tiang mepengarah buin selae dina Galungan jerone mebuah nged nged nged” (kakek-kakek, nenek di rumah? Saya memberitahukan jika 25 hari lagi akan Galungan, supaya berbuah lebat lebat lebat). Demikian kalimat yang biasanya diucapkan saat menyucikan tumbuh-tumbuhan dalam pelaksanaan Tumpek Pengatag.
Saat mengucapkan kalimat itu, juga dibarengi dengan menggoreskan pisau pada batang tumbuhan. Biasanya adalah tumbuhan buah-buahan yang mana nantinya buah tersebut akan dimanfaatkan saat pelaksanaan hari raya Galungan. Lalu pada bekas goresan tersebut diisikan gantungan dan diberikan bubuh atau bubur. Momen ini juga sebagai pertanda bagi Umat Hindu jika Hari Raya Galungan sebagai perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma akan segera tiba. Atau lebih tepatnya, tiba dalam 25 hari mendatang.
Tumpek pengatag disebut juga tumpek wariga, tumpek bubuh, atau tumpek uduh, yang dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali. Jika merujuk kepada sastra, Tumpek Pengatag ini sesuai dengan konsep Wana Kerti. Penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Wasundari.
Akademisi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja Gede Yoga Satrya Wibawa menjelaskan, dalam mitologi Lingga Bhawa disebutkan bahwa Dewa Wisnu sebagai Dewa Air menjelma menjadi babi hutan yang mencari ujung bawah dari lingga yoni. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dan kawin dengan Dewi Wasundari (Ibu Pertiwi). Dari perkawinan ini lahirlah Bhoma. Makna filosofisnya, bila air bertemu dengan bumi atau pertiwi maka akan melahirkan pohon.
“Inilah mengapa saat Tumpek Uduh diperingati hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh-tumbuhan agar tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit dan memberikan hasil yang lebih baik dan berlimpah,” jelasnya.
Menurut Yoga, konsep menjaga kesucian dan kelestarian tumbuh-tumbuhan pada zaman dahulu disebut Wana Kerti. Hanya saja, konteksnya dizaman dahulu lebih luas sebagai upaya pelestarian hutan. Pun demikian, maknanya tetaplah sama untuk menjaga kesucian dan kelestarian tumbuh-tumbuhan.
Teks-teks sastra Hindu yang memuat Kearifan lokal tentang pelestarian hutan juga dikupas dalam Maha Wana, Tapa Wana, Sri Wana, Alas Angker, Alas Kekeran, Alas Harum, Alas Rasmini, Kalpataru, Banaspati, Hulu Kayu, Kutuhalas maupun Abian.
Dikatakan Yoga, konsep Wana Kerti notabene menjadi salah satu bagian dari Sad Kerti. Hindu Bali melakukan penghormatan dan penyucian gunung dan hutan sebagai penghormatan tertinggi kepada Dewa Siwa. Di Bali hutan tak hanya memiliki fungsi secara ekologi semata. Tetapi juga erat kaitannya dalam fungsi sosial, agama dan budaya.
“Terlebih hutan sangat berkorelasi dengan kehidupan ritual keagamaan Umat Hindu Bali di bawah naungan Desa Adat,” ujarnya.
Tidak hanya menyangkut tentang kesucian tumbuh-tumbuhan, dalam Sastra juga ada yang mengatur tentang sanksi. Dalam Lontar Manawa Swarga misalnya. Menjelaskan bahwa pada zaman kerajaan sudah dikenal adanya sanksi bagi mereka yang menebang pohon secara sembarangan. Manusia dianalogikan bagaikan manik (janin) sedangkan alam sebagai cecupu (rahim).
“Ini artinya bahwa manusia hidup di tengah-tengah alam dan alamlah yang memberikan kehidupan kepada manusia, seandainya manusia mengambil makanan tanpa batas maka yang terjadi alam ini akan hancur,” ungkapnya.
Kemudian dalam kitab Pancawati lanjut Yoga, mengupas tentang tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri). Pertama, konsep Maha Wana, yang menyebutkan hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung berbagai sumber hayati di dalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.
Dilanjutkan dengan Tapa Wana yang merupakan fungsi hutan sebagai sarana spiritual. Hutan difungsikan oleh para pertapa atau penekun spiritual untuk beryoga, bersemadi, serta mendirikan asram dan memanjatkan doa serta mengajarkan ajaran-ajaran suci ke dalam setiap hati umat manusia.
Sementara yang ketiga adalah Sri Wana, yang diartikan hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat. Karena hutan menjadi penghasil hasil bumi yang dapat digunakan sebagai sumber ekonomi masyarakat. Segala hasil bumi yang dihasilkan oleh hutan dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya.
“Jika dimaknai lebih mendalam, bahwa manusia harus menjaga tingkat kesucian dari hutan hingga orang tidak dengan seenaknya menebang pohon yang terdapat di hutan. Konsekuensinya, dengan merusak hutan berarti merusak salah satu penunjang ekonomi masyarakat,” paparnya.
Di Bali, sering dijumpai penggunaan saput poleng untuk menyelimuti bagian batang pohon. Penggunaanya tidak hanya pada pohon-pohon besar yang ada di hutan, namun sering juga dijumpai penggunaannya pada setiap pohon besar yang ada di wilayah Bali, baik itu di Pura, di pinggir jalan raya, maupun di tempat-tempat angker yang ada di Bali. Tujuannya jelas, untuk mengkeramatkan atau menyucikan pohon-pohon besar tersebut agar tidak dilakukan penebangan secara sembarangan.|K-RM|