Berkunjung ke sekolah-sekolah dalam gerakan literasi, program yang merupakan bagian dari gerakan literasi akar rumput; menjadi kesempatan bertemu dengan sekolah dengan berbagai kondisinya. Yang paling menarik tentu saja menikmati cerita kepala sekolahnya, biasanya sesaat sebelum acara dimulai. Ini semacam serimoni penyambutan tamu. Demikian pun Sabtu (25/2/2023) ketika Ni Made Ratnadi, S.Pd., M.Pd. menceritakan konsep kepimpinannya di SMPN 3 Selemadeg Timur (Seltim) yang lokasinya di Desa Gadungan (Kesamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan). Karena inovasi dan jejaring yang dibangunnya dengan siapapun yang membawa manfaat pendidikan dan sosial bagi siswa; ia siap bekerja sama. Sehingga, hanya dalam pembicaraan singkat via WA, Safari Literasi Gerakan Literasi Akar Rumput, diawali di sekolah ini.
Sekolah mana yang dipilih untuk dikunjungi, ditentukan melalui beberapa pertimbangan. Misalnya sekolah tersebut telah mengembangkan budaya literasi karena kepala sekolahnya inovatif dan terbuka. Di sekolah ini guru-guru menyadari pentingnya peranannya sebagai ujung tombak gerakan literasi sekolah. Biasanya guru-guru yang memiliki perhatian pada literasi adalah guru yang berwawasan maju didukung oleh iklim sekolah yang sangat literat.
Akhirnya safari literasi “halaman 1” ini dimulai Sabtu 25 Februari 2023, bertepatan dengan jadwal sekolah yang sedang menggelar program pengembangan karakter dan literasi yang diberi nama “SaBer” (Sabtu bergerak berolahraga dan sabtu berliterasi). Adanya program-program literasi yang sudah jalan dan inovatif di sekolah-sekolah, seperti di SMPN 3 Seltim ini, adalah seperti pucuk dicinta ulam tiba.
Di sebuah sekolah yang bagi Ni Made Ratnadi adalah sekolah yang kecil dengan 200 siswa dibangun di ketinggian kurang lebih 300 meter dari atas permukaan laut, SMP Negeri 3 Seltim ini dibangun dengan latar belakang ekonomi subak dan perkebunan kelapa. Yang menarik dari sekolah ini adalah prinsip kepemimpinan yang dikembangkan oleh lulusan Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha ini. Dari diskusi awal sebelum kegiatan dimulai Made Ratnadi bercerita tentang sebuah visi membangun sekolah. Karena visinya memang beda dengan mainstream visi kepala sekolah di kabupaten Tabanan maka ia sering dijuluki sebagai kepala sekolah “gila”. Dalam era pendidikan merdeka belajar, sikap ini seperti prasyarat utama!
Di sekolah ini dikembangkan suatu pemikiran bahwa anak-anak tidak boleh jauh dari lingkungannya. Implementasinya adalah belajar dengan latar belakang lingkungan sekolah dan menyatu dengan kehidupan masyarakat setempat. Dengan ini belajar tidak hanya menarik bagi anak-anak tetapi bermakna.”Anak-anak sangat bersemangat dengan pendidikan seperti itu,” katanya. Lebih lanjut Ni Made Ratnadi menambahkan, “Kami selalu berusaha untuk membangun karakter anak didik. Awalnya susah sekali tetapi setelah dua tahun mereka sudah terbentuk.”
Program lain yang menonjol di sini adalah program budidaya yang dikerjakan oleh sekolah seperti membuat mebel dari ecobrik dan ini sudah dipasarkan dan terdaftar di Perindag Tabanan. Juga menanam sayur dan bunga di lahan sekolah. “Kami sudah menjualnya seperti sayur-sayuran terong dan bunga gumitir.”
Di samping itu, pula karena di desa gadungan dihasilkan limbah tongkol jagung Ni Made Ratnadi mengembangkan budidaya jamur dengan media tongkol jagung. “Wah kami sangat sukses dan menghasilkan jamur yang melimpah; kalau dikonsumsi oleh warga sekolah sudah sangat berlebihan sehingga kami dapat menjualnya kepada masyarakat,” pungkasnya. Tongkol jagung yang dibuang oleh petani dikumpulkan oleh para siswa kemudian menjadi media perkembangbiakan jamur konsumsi. Yang lain dari sekolah ini adalah teba moderen. Teba adalah satu lahan serbaguna di belakang rumah dan lokasi ini tumbuh tanaman-tanaman yang bisa dimanfaatkan sehari-hari, seperti daun pisang, bambu, bunga, atau tumbuhan liar lainnya. Juga biasanya dipelihara babi dan ayam. Fungsinya utamanya adalah tempat pembuangan sampah akhir skala rumah tangga. Jadi teba adalah TPA yang khusus disediakan oleh setiap rumah tangga. Sehingga, desa tidak membutuhkan TPA umum yang justru menimbulkan persoalan baru pada lingkungan. “Kami memiliki dua unit teba modern,” Katanya. Siapa sangka sebuah meja yang sangat nyaman dengan beberapa kursi dari potongan kayu dan di bawah arealnya itu adalah semacam gorong-gorong. Ada pintu akses (lobang) dari tiang meja beton tersebut untuk memasukkan sampah organik. Setelah dua tahun akan dipanen untuk pupuk. Teba modern adalah komposting.
Di sudut lain sekolah ini tumbuh subur tanaman-tanaman sayur dan juga persiapan media penanaman baru dalam kantong plastik. Ada pula kolam penuh ikan dan kandang burung. “Kami menyebut ini literasi lingkungan,” kata Made Ratnadi. Semua ini memang tidak terlepas dari konsep yang dia kembangkan sebagai kepala sekolah dan apalagi Made Ratnadi adalah kepala sekolah penggerak yang dengan sendirinya sekolahnya adalah sekolah penggerak juga.
Atas inisiatif itulah dan kemajuan yang sudah dinikmati warga sekolah dan mendapat perhatian dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tabanan dan masyarakat, Safari Literasi dimulai di sekolah ini. Kegiatan ini memang sengaja dikaitkan dengan terbitnya buku Proses Kreatif dan Cerpen Saya (I Wayan Artika, 2022). Ini juga bisa dihubungkan dengan perjalanan dan kampanye menulis cerpen dan menerbitkan buku bagi sekolah dan siswa. Dari segi ini, SMPN 3 Seltim juga sudah maju, terbukti dengan terbitnya antologi puisi siswa. Program ini memiliki arti penting dalam gerakan literasi sekolah tetapi gerakan ini pada umumnya jalan di tempat. Seolah-olah tidak ada pilihan lain selain membaca dan menceritakan isi bacaan dalam waktu hanya 15 menit per minggu. Sekolah-sekolah perlu mengembangkan praktik baik literasi yang sangat banyak dan terbuka bergantung kepada inovasi dan kerjasama yang dilakukan oleh sekolah dengan pihak luar.
Karena itu, para pegiat literasi bukan menunggu panggilan untuk diundang ke suatu sekolah. Gerakan literasi saat ini adalah mendesain program yang cocok dengan sekolah dan menawarkan program itu. Penyelenggaraan program literasi bergandengan dengan kepala sekolah, guru, dan para siswa, serta kelompok-kelompok literasi yang sudah ada. Jadi gerakan literasi tidak cukup hanya dilakukan oleh sekolah tetapi perlu kerja sama maka safari literasi ini adalah salah satu wujud bagaimana komunitas literasi dan pergerakannya membantu sekolah secara terencana dan berkesinambungan.
Safari Literasi di SMP Negeri 3 Seltim mewarnai praktik baik literasi yang sudah ada selama ini. Dengan adanya kegiatan ini maka agenda atau praktik baik literasi di sekolah ini menjadi bertambah yaitu adanya diskusi proses kreatif menulis buku dan yang sangat menarik adalah jumpa pengarang (penulis); serta berlatih menulis sesuai dengan teori proses kreatif yang paling mudah dan paling praktis bagi siswa dari praktisinya langsung.
Kegiatan ini diikuti oleh 100 siswa dari berbagai kelas dan mereka ada di dalam kelompok literasi sekolah atau disebut dengan KLS. Pada kesempatan ini guru juga terlibat seperti seorang guru bahasa Inggris yang bernama Pak Yudha dan seorang guru biologi dan membaca, menceritakannya kepada siswa. Sementara itu kepala sekolah di sela-sela kesibukannya masih sempat hadir. Yang secara penuh terlibat mewakili pimpinan sekolah adalah wakil kepala sekolah. Kegiatan safari literasi ini juga dihadiri oleh media resmi Pemerintah Kabupaten Tabanan (Suara Tabanan); ikut berbagi wawasan jurnalistik dan menulis sebagai salah satu pekerjaan yang bisa ditekuni dan mulai dipelajari sejak saat ini.
Siswa sangat tertarik dengan perkenalan dan cerita bagaimana seseorang mengarang karena materi ini dibawakan langsung oleh pelakunya (Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.). Diskusi buku atau cerita buku juga mendapat perhatian siswa karena selama ini mereka tidak tahu bagaimana sebuah buku dibuat atau disusun. Buku bagi siswa masih merupakan barang yang langka apalagi proses untuk menulis buku. Karena itu, Safari Literasi ini diharapkan dapat membuka wawasan siswa tentang menulis buku yang ternyata sangat praktis dan terbuka sehingga siswa termotivasi untuk menulis. Persoalan tulis-menulis di sekolah ini bukanlah hal baru Made Ratnadi selaku kepala sekolah telah merintis dengan menerbitkan antologi puisi. “Kami sudah persiapan menerbitkan antologi puisi karya-karya siswa hanya tinggal dicetak,” katanya bangga. “Nanti kami akan launching buku itu di sekolah,” demikian harapannya.
Pada sesi memperbincangkan atau menceritakan buku, narasumber memilih beberapa cerpen diceritakan kepada siswa. Bagaimana cerita sebuah cerpen ditulis menjadi hal yang sangat menarik bagi siswa dan menggugah minat. Hal ini bisa menjadi catatan bagi gerakan literasi. Janganlah literasi itu hanya dimulai dengan membaca buku tetapi mulailah dengan menceritakan isi buku secara menarik kepada siswa.
Cerita-cerita tentang buku dan cerita-cerita yang menarik tentang isi suatu buku, pasti sangat memotivasi siswa untuk bisa menulis dan paling tidak, membaca buku adalah pada awalnya. Sementara ini buku selalu berbicara tentang persoalan-persoalan yang jauh dari kehidupan anak karena memang penulisnya bukanlah dari lingkungan masyarakat setempat. Tetapi dengan hadirnya Safari Literasi di SMP 3 Seltim maka hal itu akan ditanggulangi. Yang hadir adalah penulis lokal dan dia telah mengangkat banyak cerita dari kehidupan lokal, seperti kehidupan petani kopi di Pupuan yang memang menjadi latar belakang masa kecilnya. Di sanalah dia mendapatkan banyak cerita dan pengalaman hidup yang sangat kaya dan itu ditulis menjadi sekumpulan cerita pendek. Senada dengan teknik itu maka safari literasi juga diisi dengan kegiatan bagaimana caranya menulis.
Menulis bagi siswa masih sulit karena mereka belum memulai maka gerakan menulis dalam rangka GLS sangat penting. Yang perlu ditekankan bukan format tulisan tetapi ekspresi dalam bahasa tulis sehingga mulai terjadi pembiasaan berbahasa secara tertulis. Sehingga, pada akhirnya nanti pembiasaan ini membentuk keterampilan menulis. Pada saat itu terasa mudah.
Teknik menulis yang dikembangkan dalam Safari Literasi di SMPN 3 Seltim adalah menulis cerita yang pernah diterima dari orang tua atau dari keluarga. Cara ini pun kadang-kadang susah bagi anak-anak peserta lalu diubah menjadi teknik yang lebih sederhana yaitu menulis anggota tubuh. Ini pun sulit bagi mereka karena tidak paham bagaimana caranya. Karena itu, mereka diberitahu formula-formula berupa kalimat sederhana yang harus ditulis dan disambung atau diulangi.
Pengajaran menulis sebenarnya harus dimulai dengan formula-formula yang sederhana. Formula-permula ini kemudian membantu siswa untuk menghasilkan tulisan pertamanya.
Safari Literasi yang dimulai di SMP 3 Seltim ini, sebagaimana harapan wakil kepala sekolah, “Kegiatan ini bisa berlanjut dan bisa membantu sekolah dan guru serta siswa dalam membangun dan menumbuhkan budaya literasi.” Catatan penting dari Safari Literasi di sekolah ini adalah bagaimana kemudian literasi menjadi pendekatan dalam pembelajaran karena literasi sebenarnya lebih berkaitan dengan pengetahuan bukan semata-mata berkaitan hanya dengan membaca buku dan menulis. Jika tidak ada buku maka literasi harus dimulai dengan kegiatan menulis buku.(*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)