Merdeka Belajar ala SD 5 Senganan

Ada berbagai jalan meretas “belenggu” pendidikan berkat kurikulum merdeka. Kata merdeka ibarat kekuatan untuk mandiri dan berinovasi. Sekolah dan guru mendesain berbagai program berlabel merdeka. Ada iklim kebebasan baru di sekolah-sekolah. Komando pendidikan Tidak sekencang dulu.

Pagi itu, Sabtu 11 Maret 2023, sekelompok anak berseragam olahraga yang dipandu oleh para gurunya keluar dari kelas-kelas SD 5 Senganan,Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Setiap  Sabtu telah menjadi sebuah perayaan kemerdekaan belajar. “Mereka saya ajak refreshing di lingkungan desa agar mereka tidak jenuh berada di dalam kelas,” kata I Nyoman Senida, S.Pd., Kepala Sekolah SD 5 Senganan.

Baginya inilah salah satu cara untuk menerapkan Merdeka belajar. Merdeka belajar sama artinya dengan keluar kelas. “Agar anak-anak mengenal lingkungan”, tandasnya.

- Advertisement -

Anak-anak itu menuju bendungan Aya. Bendungan ini berada di bagian hulu sungai Yeh Ho. Sungai ini membatasi desa wisata Jatiluwih dan Desa Soka di bagian utara Kecamatan Penebel. Kedua Desa ini tumbuh menjadi desa wisata yang sangat populer. Tetangganya sendiri jadi lebih terkenal ke seluruh dunia karena desa wisata ini diakui oleh UNESCO dengan warisan subaknya. Sementara desa-desa lainnya yang berdekatan dengan Jatiluwih, seperti Desa Soka atau Senganan pun berkembang menjadi desa wisata, imbas dari majunya perkembangan Jatiluwih.

Di sekitar SD 5 sunanan kini berdiri berbagai fasilitas pariwisata seperti villa, penginapan, restoran, sport foto, jalur tracking, jalur bersepeda, dan agrowisata. Pariwisata mengubah wajah Desa ini dari pertanian padi tradisional menjadi destinasi pariwisata kelas dunia. Lingkungan seperti ini menjadi latar belakang anak-anak SD 5 Senganan. Di bawah iklim Merdeka belajar mereka bersama gurunya menjalin hubungan dengan kembangan dunia yang mencapai desa mereka.

Kepala Sekolah SDN 5 Senganan, Tabanan , I Nyoman Senida

Dulu sebelum era merdeka belajar dunia pendidikan dilanda oleh “pengasingan sosial” karena apapun aktivitas pendidikan dan kurikulum sekolah terputus dari lingkungan yang terdekat.

Anak-anak itu mengambil ban dalam yang disewakan di bendungan Aya. Bendungan ini memiliki saluran air yang sangat bersih dan jernih untuk sejumlah subak. Saluran air itu cukup deras dan disulap menjadi atraksi wisata air dengan memanfaatkan infrastruktur subak tradisional khas Bali. Tentu ini adalah duplikasi dari waterpark yang mahal, yang hanya dibangun di kota dan bertiket mahal, tidak terjangkau anak-anak desa Senganan. Kini Iinfrastruktur subak banyak berubah menjadi waterpark. Anak-anak SD 5 senganan gembira karena mereka mendapatkan ban dalam dengan gratis yang sehari-hari disewakan seharga Rp 10.000 sepuasnya untuk digunakan di saluran irigasi bendungan Aya sepanjang kurang lebih 1 Km.

- Advertisement -

Bibir mereka bergetar karena suhu sangat dingin di pagi hari itu. Kepala sekolah dan seluruh staf gurunya yang seluruhnya perempuan mendampingi mereka. Apa yang anak-anak SD 5 lakukan pagi itu seperti adegan di dalam novel Toto Chan. Di dalam novel ini diceritakan sang kepala sekolah selalu mengajak anak-anak mereka belajar dengan jalan-jalan di luar kelas dan bahkan tidak berbatas hanya pada siang hari tetapi ada kegiatan-kegiatan belajar di malam hari di luar kelas, termasuk juga berenang dalam keadaan telanjang atau berkemah.

Rupanya dengan adanya merdeka belajar I Nyoman Senida ingin meretas jarak antara sekolah dengan lingkungan anak. “Saya ingin anak-anak ini tahu apa yang ada di lingkungan sekolahnya, seperti villa hotel, restoran.“ Menurut Senida, lingkungan sendiri sangat mendukung aktivitas belajar. “Dulu ketika kami rhab sekolah, anak-anak bisa belajar di villa,” katanya mengenang pengalaman belajar yang sangat indah secara arsitektur dan suasana lingkungan karena bangunan villa  tentu dirancang berbeda dengan ruang kelas yang kaku dan kotak-kotak.

Merdeka belajar sebagaimana yang dimaknai pagi ini oleh kepala sekolah dan anak-anak beserta guru SD 5 Senganan adalah sesuatu yang sangat esensial yang sudah sejak lama dilupakan oleh dunia pendidikan. Hari itu mereka memasukkan agenda mandi di saluran air subak ke dalam aktivitas belajar ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Mungkin sebagian besar anak-anak SD 5 Senganan tidak asing dengan saluran irigasi bendungan Aya. Tapi ketika kegiatan mandi bersama di saluran irigasi pada saat jam sekolah berlangsung tentu memiliki makna yang berbeda.

Bagi mereka kegiatan ini tidak sekadar mandi bersama tetapi memberi warna tersendiri bagi pikiran dalam belajar di sekolah. Lewat program sederhana ini anak-anak memiliki kesadaran betapa pendidikan itu menyatu dengan lingkungannya. Mereka telah diajak membebaskan diri dari belenggu keterasingan pendidikan di masa lalu. Jika demikian halnya, merdeka belajar bukanlah sesuatu yang administratif dan rumit. Merdeka belajar adalah bagaimana membebaskan anak dari keterkungkungan tembok-tembok sekolah dan kurikulum.

Lewat kegiatan mandi bersama di saluran irigasi anak-anak memasuki dunia desa dalam perspektif pendidikan formal. Merdeka belajar adalah meretas tembok-tembok sekolah yang mengasingkan dalam periode panjang pendidikan yang militeristik, entralistik, dan administratif serta birokratis. Merdeka belajar bukan soal pembelajaran berbasis proyek yang salah arah dan salah kaprah tetapi merdeka belajar adalah “membongkar” ruang kelas yang menjadi boreder tinggi terhadap lingkungan di mana sekolah itu dibangun oleh para leluhur di zaman dulu.

SD 5 Senganan dibangun di kaki Gunung Batukaru di sebelah Selatan menghadap ke samudra Hindia. Di sini sungai berhulu dan mengali. Para leluhur membangun subak dengan saluran irigasi dan melakukan pemilihan varietas padi dan palawija serta menyusun kalender kertamasa. Terbangunlah kebudayaan pertanian dengan arsitektur lumbung, teknologi pengolahan panen, sistem ekonomi padi, dan ritual-ritual, termasuk juga dalam bernegosiasi dengan alam; menjinakkan hama.

Semua itu dengan konsep merdeka belajar adalah kurikulum lokal yang terbukti telah menghidupkan masyarakat desa Senganan. Sekolah di masa awal Orde Baru atau semasa Orde Lama memutuskan hubungan dengan desa-desa di mana sekolah berdiri. Ironis! Kurikulum Merdeka sedang menebus dosa pendidikan pada periode panjang sejak zaman Soekarno hingga zaman Susilo Bambang Yudhoyono.

Maka tidak perlu terlalu mewah membayangkan Merdeka belajar dengan digitalisasi atau diferensiasi. Merdeka belajar adalah membangun makna yang nyata bagi peserta didik dan lingkungan sekitar. Kalau anak-anak SD, terutama dari kelas I sampai kelas IV masih merupakan anak-anak yang hidup dalam dunia bermain maka jangan jajah mereka dengan pendidikan tanpa permainan atau tanpa dunia bermain.

Merdeka belajar adalah memberikan dan tetap mempertahankan lingkungan belajar anak secara psikologis dan sosial. Karena itu mengembalikan anak-anak Senganan ke alam pedesaan yang indah dengan infrastruktur subak dan mengjak menyaksikan kini “buldozer pariwisata” tengah bekerja dengan giat di kaki-kaki bukit Senganan,  adalah implementasi merdeka belajar. Mereka dimerdekakan dengan kegiatan mandi bersama ketika jam sekolah berlangsung. Mereka dimerdekakan dengan memasukkan berbagai perkembangan baru yang terjadi di desa atas agro dan desa wisata serta negosiasi dengan alam pertanian yang menghijau. Merdeka bagi SD 5 Senganan tentu adalah belajar memahami bagaimana desa ini tengah berubah.

Lewat Merdeka belajar mereka mengenal perubahan itu bahwa desa senganan yang berada di kaki pegunungan pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut bukanlah desa yang terasing seperti ketika ekonomi padi menjadi tumpuan utama kehidupan. Merdeka belajar bagi SD 5 Senganan adalah melihat desa mereka tumbuh dalam transformasi dari dunia pertanian yang masih hendak dipertahankan menuju ekonomi pariwisata. Anak-anak desa Senganan, khususnya yang bersekolah di SD 5, mulai menyadari bahwa desa mereka memiliki daya tarik; dan apakah mereka mendapatkan sebanyak yang investor ambil?

Merdeka belajar juga tentang pendidikan mengembangkan daya kritis kepada lingkungan. Anak-anak SD 5 Senganan tentu tidak hanya memaknai Merdeka belajar dengan berenang di saluran air irigasi jernih dan deras tetapi mereka juga pasti akan mengembangkan program-program belajar di luar kelas. Kegiatan ini perlu dikembangkan menjadi lebih beragam dari segi aktivitas dan topik. Kepala sekolah SD 5 Senganan dan para guru telah menemukan satu implementasi yang paling mudah dan nyata mengenai merdeka belajar yang pada intinya adalah mengenalkan kembali anak dengan lingkungan desa yang sedang berubah dan terjadi dengan nyata di hadapan anak-anak dan otentik.

Di sinilah Merdeka belajar kemudian mendapatkan makna yang sangat mendasar; menyesuaikan kondisi-kondisi lingkungan sosial sains, religiusitas, toleransi, dan keadilan dengan garis-garis yang dicatatkan di dalam kurikulum sekolah dasar. Merdeka belajar adalah mengisi kurikulum dengan konten-konten di sekitar lingkungan sekolah.

Namun masih banyak sekolah yang belum memahami merdeka belajar sehingga mereka tetap terkurung di dalam kurikulum yang datang dari Jakarta dan kurungan ini diperhebat dengan tembok-tembok sekolah yang dipertahankan sebagai pembatas. Merdeka belajar atau kurikulum merdeka bukanlah konsep administratif dan politis tetapi ini adalah konsep filosofi manusia dalam belajar. Muskil bagi manusia menyelenggarakan kegiatan belajar jika jiwanya terbelenggu, pikirannya terkungkung. Karena itu, merdeka belajar adalah esensi-esensi kebebasan manusia dalam belajar. Hasrat memerdekakan diri dan pikiran adalah roh dan motor dalam merdeka belajar. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd.,M.Hum (akademisi Undiksha dan Pegiat Literasi Akar Rumput, Desa Batungsel, Pupuan)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts