Endek Sutra Mastuli, Keindahan Kain Tenun Asli Pedesaan Buleleng

Singaraja, koranbuleleng.com| Di sebelah utara pulau Bali, tersembunyi sebuah keindahan kain tenun yang tak hanya memesona mata tetapi juga mengandung kisah panjang keberlanjutan tradisi.

Endek Sutra Mastuli, begitu kain tenun asli Desa Kalianget disebut, telah eksis selama 60 tahun dan kini menjadi salah satu kebanggaan dan mata pencaharian utama di desa tersebut.

- Advertisement -

Proses tenun kain ini melibatkan sentuhan tangan yang mahir, menjadikannya seperti karya yang dihias oleh malaikat. Diproduksi dengan alat tenun bukan mesin ini,hasilnya penuh keanggunan dan elegan. Dibuat dengan benang sutra dan diberi warna cerah, Mastuli terasa ringan di badan dan lembut seperti kulit bayi.

Kain Endek Mastuli, dengan motifnya yang cerah, adalah pilihan sempurna bagi generasi muda yang ingin tampil segar dan berenergi. Proses produksinya melibatkan serangkaian langkah, termasuk pewarnaan benang menggunakan bubuk pewarna, penenunan dengan mesin ATBM, dan penciptaan motif yang khas.

Endek Sutra Mastuli

Kain endek mastuli memiliki berbagai motif yang indah pada seperti Motif Keplok, Dobol, Pelangi, Penyu, Cegcegan, serta Pot Sungenge. Semuanya memiliki peminat masing-masing. Namun salah satu yang paling diminati adalah motif Keplok kurung dikarenakan motifnya yang sederhana dan menawan.Meski prosesnya panjang, dibalik keindahannya, tersimpan kisah perjuangan dalam produksinya.

Pemilik usaha Sari Artha, I Nyoman Sedana, menghadapi tantangan dalam hal produksi, terutama dari segi SDM yang kurang kompeten.

- Advertisement -

“Orang-orang di sini bekerja sesuai dengan keinginan karena kita di Bali sering ada upacara agama dan mereka libur. Ini menjadi kendala produksi,” ungkapnya.

Pemasaran kain tenun Mastuli dilakukan tanpa menggunakan media sosial karena kekhawatiran tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Meski begitu, kain Mastuli telah merambah ke seluruh Bali. Dengan harga bervariasi antara Rp400 ribu hingga Rp500 ribu rupiah, penjualan dalam 1 bulan mencapai Rp2 juta rupiah.

Menjelang Hari Raya Galungan, permintaan dari konsumen meningkat. Namun di Desa Kalianget, ada kepercayaan bahwa pada waktu Sugihan, para pengrajin tidak boleh menenun kain. Untuk mengatasi ini, para pengrajin melakukan penimbunan produk di gudang, menenun jauh sebelumnya agar dapat memenuhi permintaan ketika sedang ramai peminat.

“Ketika hari raya Galungan tepatnya waktu sugihan, para perajin tidak ada yang menenun, sebenarnya saya minta buat nenun saja gak masalah kok, tapi mereka yang tidak mau, karena mungkin sudah dari dulu dipercayai seperti itu, katanya tidak akan direstui oleh para leluhur dan kamennya tidak laku, jadinya para perajin menenun dari jauh hari agar bisa distok,” kata Sedana.

Pemilik usaha ini berharap generasi selanjutnya dapat melanjutkan usahanya dan mengembangkannya menjadi perusahaan yang lebih besar. Ia juga memberi pesan kepada generasi muda agar tidak malu menjadi pengrajin tenun, melihatnya sebagai bagian dari budaya yang indah dan warisan leluhur yang patut dibanggakan. (*)

Kontributor : Putu Rika Mahardika

Editor : I Putu Nova Anita Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts