Singaraja, koranbuleleng.com| kasus Demam Berdarah (DB) di Kabupaten Buleleng mengalami lonjakan tajam. Hingga Bulan September tahun 2020 ini, sudah tercatat tiga ribu lebih kasus DB yang tersebar di seluruh Kecamatan. Bahkan jika merujuk data kasus DB ditahun 2019, kasus DB kali ini mengalami lonjakan hingga dua kali lipat.
Berdasarkan data pada Dinas Kesehatan (Diskes) Buleleng, kasus demam berdarah di Buleleng kini mencapai 3.290 kasus dengan tujuh kasus kematian. Sementara jika membandingkan dengan angka ditahun 2019 hanya mencapai 1.631 kasus dengan satu kasus kematian.
Jumlah terbanyak ditemukan di Kecamatan Buleleng mencapai 843 kasus, 386 kasus di Kecamatan Banjar, 366 kasus yang ditemukan di Kecamatan Tejakula, dan 365 kasus yang ditemukan di Kecamatan Seririt. Kemudian di Kecamatan Sukasada tercatat 324, Kecamatan Gerokgak 318, Kecamatan Sawan 233, Kecamatan Busungbiu 228, dan Kecamatan Kubutambahan terdapat 227 Kasus.
Wakil Bupati Buleleng dr I Nyoman Sutjidra menjelaskan, DB sudah menjadi penyakit endemis di Buleleng, karena setiap tahun selalu terjadi. Lonjakan kasus seperti tahun ini biasa terjadi pada kurun waktu 4-5 tahun. Jumlah kasus DB terakhir meledak di Buleleng pada tahun 2016 lalu yakni menyentuh angka 4.000 kasus.
“Tetapi jika dihitung jumlah kasus dengan jumlah kematian akibat DB, case fatality ratenya sangat rendah yakni hanya 0,2 persen. Ledakan kasus ini terjadi di semua daerah yang menjadi endemis DB, tidak hanya di Buleleng saja,” jelasnya.
Sutjidra menyebut jika kasus DB ditahun ini juga banyak ditemukan di daerah pedesaan, terutama di Kecamatan Tejakula. Kondisi ini diduga karena banyak bak-bak penampungan air bersih di wilayah tersebut. Idealnya bak penampungan itu dicek secara berkala dan ditaburi bubuk abate. Terlebih nyamuk kerap bersarang di air yang bersih.
Selain itu, lonjakan kasus DB tahun ini juga diakibatkan karena mobilitas penduduk Buleleng sangat tinggi. Jumlah kasus juga berbanding lurus dengan jumlah penduduk Buleleng yang terbanyak di Bali dan banyak yang hidup di perantauan. Saat penduduk yang merantau kembali ke kampung halamannya diprediksi rentan membawa penyakit DB.
“Kita tidak bisa menahan orang pulang kampung, nah mobilitas penduduk kita yang sangat tinggi ini juga bisa bawa pulang penyakit, padahal kena di daerah rantau pas pulangnya sakit. Ada kasus yang seperti itu,” terang Sutjidra. |RM|