Penanganan limbah medis |FOTO : Alit Kertaraharja|
Singaraja, koranbuleleng.com | Pengelolaan limbah medis oleh lembaga rumah sakit menjadi hal penting diperhatikan untuk menghindari persebaran penyakit karena limbah medis dari rumah sakit tergolong dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Di beberapa daerah banyak ditemukan diduga ada tata kelola limbah medis yang belum maksimal, dan cenderung ditemukan dugaan penyimpangan dari aturan seperti yang digariskan pemerintah. Akhirnya, Polri melakukan gerakan bersama yang disebut Akselerasi Nasional Penanganan Limbah Medis.
Di Buleleng, program penanganan limbah oleh sejumlah rumah sakit yang ada di Buleleng justru sudah dilakukan dengan seksama dan memperhatikan kondiso pelestarian lingkungan.
Menurut keterangan Dirut RSUD Buleleng, dr Putu Arya Nugraha bahwa pihaknya sejak dulu sudah melakukan antisipasi terhadap sisa pembuangan atau limbah medis khususnya limbah B3 yang bersifat infeksius. “Karena sesuai dengan Undang Undang dari Lingkungan Hidup kita tiidak boleh mengelola sendiri. Apalagi pengelolaan limbah medis yang berbahaya perlakuannya sangak khusus.’’kata Arya Nugraha keada wartawan beberapa waktu lalu.
Jadi tambahnya dalam pengelolaan limbah medis khususnya limbah yang bersifat infeksius, pihak RSUD Buleleng telah bekerjasama dengan dua rekanan yaitu khusus pengangkut atau transporter dan khusus rekanan sebagai pengolah sampah medis di Mojokerto-Jawa Timur.
Menurutnya, limbah medis tergolong limbah berbahaya dan aluripengelolaan sudah diatur oleh aturan yang sangat kuat.
“RSUD Buleleng sudah melakukan kerjasama dengan dua perusahaan yang telah memiliki sertifikat dibidangnya, yaitu transporter atau pengangkut dan dengan pihak pengolahan. Jadi tekhnisnya kami sebagai penghasil limbah kemudian diangkut oleh transporter kemudian dibawa ke Jawa Timur untuk dimusnahkan atau diproses sesuai ketentuan yang sudah ada,’’ paparnya.
‘Arya Nugraha menyataan dengan tegas bahwa RSUD Buleleng tidak mungkin mengelola lombah medis sendiri karena tidak memiliki sertifikat atau ijin mengolah limbah medis secara mandiri.
“Jadi kami lakukan kerjsama dengan pihak ketiga,’’tambahnya.
Pengawasan juga sudah dijelaskan dalam kesepakatan. Mulai dari mekanisme pengambilan penggambilan hingga ke pengeolah.
“Di sini tidak hanya tentang limbah medis, tetapi dalam MOU pihak ketiga memberikan pelatihan, atau edukasi terhadap pihak rumah sakit khusus menangani limbah rumah sakit. Apakah limbah yang dihasilkan rumah sakit bisa didaur ulang, dimusnahkan dan lain lain,’’ tambahnya.
Hal senada juga ditegaskan oleh Kepala Humas Rumah sakit Shanti Graha, Seririt, Sri Wahyuni. Kataya pihaknya juga melakukan kerjasama dengan salah satu pengolah limbah medis di Mojokerto – Jawa Timur.
Sebelum ada kerjasama, pihaknya terlebih dahulu melakukan survey terhadap perusahaan itu, yakni PT. Pria di Mojokerto, Jatim.
“Kami melihat langsung bagaimana limbah medis dikelola. Saat limbah medis masih di rumah sakit, pihak perusahaan menyediakan peralatan untuk menampung limbah,” ucap Sri Wahyuni.
Agar limbah medis yang dikelola itu tidak berdampak negatif bagi lingkungan maupun aspek hukum yang ditimbulkan. Terpenting, tata kelola limbah ini setiap 6 bulan wajib melaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang berisi bukti pengambilan sampah medis hingga diberikan sertifikat hasil pemusnahannya.
“Jadi semua sudah memenuhi standar dan kami sudah melakukan study banding dan best practicenya. Jadi ini pertimbangannya selain karena jarak dan mempermudah pemantauan,” ungkapnya.|tim|