Hari Suci Saraswati : Momen Membangun Kesadaran Aksiologis

Dr. I Wayan Artika |Sumber FOTO: arsip|

Hari suci Saraswati dapat dipahami pada linieritas tumpek. Kalender Bali memiliki lima tumpek sepanjang satu siklus waktu (enam bulan Bali). Tiap tumpek didedikasi kepada satu elemen kultur masyarakat dan hadir sebagai ritual (hari suci).

- Advertisement -

Tumpek landep didedikasi kepada elemen teknologi yang berwujud simbolik sosial di Bali pada pande. Tumpek pengatag, dedikasi kepada elemen tumbuhan. Uye adalah tumpek yang didedikasi bagi elemen hewan (khususnya domestik, peliharaan), Elemen seni tampak pada tumpek wayang. Dan, tumpek (walau tidak lazim disebut demikian) saraswati didedikasi kepada elemen ilmu. Jadi, hidup relegi, sosio, ekonomi massyarakat Bali tidak bisa lepas dari elemen teknologi (yang diwakili oleh unsur besi dan maujud filosofi “senjata”), tumbuhan (ekologi, vegetasi), binatang (wewalungan), seni (Sanghyang Ringgit), dan ilmu (Dewi Saraswati).

Hari ini siklus Saraswati, ilmu diturunkan, sebagaimana disinggung pada pidato singkat Albert Einstein (1938), berkah bagi harkat dan martabat kemanusiaan. Ilmuwan (para kawi, pemikir, filsuf, guru-guru, sangging, undagi) mengemban profesi keilmuan. Mereka semua suntuk dalam keheningan laboratorium Biara, seperti “meditasi” Geoger Mendel. Wallace menghabiskan uang dan waktu serta terancam malaria tropis, yang tak sedikit untuk petualangan di Nusantara, mempelajari dari anggrek kantong semar hingga menarik Garis Wallace, serta menulis surat-surat ilmiah untuk menguatkan temuan-temuan Darwin. Memang sumbangan terbesar teori evolusi adalah dekonstruksi atas hegemoni gereja dalam bidang kebenaran penciptaan yang bersumber dari firman atau wahyu.

Sejak Darwin menerbitkan The Origin of Species, orang mulai meragukan firman. Kemajuan ilmu yang dikontribusi oleh para ilmuwan sejati dan berjiwa murni, untuk menemukan kebenaran yang teruji metodologi ilmiah, tanpa lembaga seperti agama, tanpa keinginan menebar misi pengagamaan, semakin merangsek agama. Berhadapan dengan dikhotomi atau oposisi biner firman/wahyu vs ilmu (dan pengetahuan), manusia diam-diam lebih memilih arif atau berpura-pura berjalan dalam khusuk doa suci rumah-rumah ibadah; ketimbang menjadi Marxis.

Filosofi ilmu pada kaitannya dengan Saraswati serta siklus perayaannya, dipahami secara parsial dan dimurnikan dalam belenggu mitologis simbolik, dewi nan cntik, alat musik, angsa, teratai, ganitri, kropak, Saraswati; tidak digunakan untuk memahami sumbangan atas dedikasi yang tidak pernah selesai para ilmuwan, seperti teori relativitas, yang mungkin saja banyak di antara mereka tidak pernah sanggup menuntaskan pertanyaan-pertanyaan sendiri karena usia yang dimiliki ternyata tidak cukup. Tapi syukur, para ilmuwan baru lahir untuk melanjutkannya.

- Advertisement -

Einstein memang amat menyadari bahwa ilmu tidak netral. Ia digunakan untuk menjagal dan meracuni umat manusia ketika perang melanda. Ketika damai, ilmu yang bersinergi dengan mesin atau peralatan teknis, mencipta pabrik industri; hanya menjadikan manusia budak kerja sepanjang hari, untuk memperoleh sedikit ransum. Pemikiran Einstein mempertemukan dua kutub berlawana: ilmu dan agama, terungkap dalam pidato yang dibacakan di hadapan mahasiswa Institut Teknologi California, “Hakikat Nilai dari Ilmu”, menegaskan bahwa tugas ilmu sejatinya sama dengan agama: humanisme. Agama memilih jalan janji-janji ideologis (seperti surge) dan Ilmu memilih jalan material teknik.

Esai ini bermaksud untuk memahami hari Saraswati secara sekuler, menghindari janji ideologis. Mencoba untuk mengganti sosok Dewi Saraswati dengan daftar panjang ilmuwan sejati sepanjang sejarah, misalnya pernah dicatat dalam buku “100 Orang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”. Tulisan ini menyampaikan pemaknaan yang berpijak pada filsafat ilmu, terutama dari segi aksiologi. Ilmu memiliki guna atau manfaat bagi manusia.

Ritual Saraswati sedapatnya dibebaskan dari mitologi ilmu, pada diri masing-masing. Sehingga, tercipta momen untuk menaruh rasa hormat yang stinggi-tingginya kepada para ilmuwan. Mereka menemukan pengetahuan-pengetahuan semesta yang ternyata menyelamatkan manusia dari serangan penyakit, melipatgandakan produksi, memudahkan hidup, memperpendek langkah, dan menghemat waktu. Namun demikian, memang konsekuensi lain tidak bisa dimungkiri: instanisme dan pragmatisme hidup.

Renungan hari Saraswati untuk mereka semua yang telah menukan komputer, teknologi satelit, jaringan telefon, generasi awal mesin cetak hingga printer dan percetakan jarak jauh, penemu listrik, sistem pemrograman digital, dan lainnya; sehingga hari ini umat manusia telah dibebaskan dari kuasa televisi dan keangkuhan para redaktur kapitalisme kertas (media cetak dan penerbitan buku).  

Era disrupsi telah menghancurkan lembaga-lembaga yang muncul pada saat kejayaan kapitalisme kertas, yang sesungguhnya baru disadari telah mengendalikan kehidupan dan pemikiran masyarakat melalui kuasa media dan ini terbukti dengan keangkuhan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi.

Di balik kemajuan teknologi informasi (TI) telah bekerja banyak ilmuwan dan penemu dan dengan harga murah umat manusia bisa mengecap buah kerja keras dan ketekunan mereka, sudah sepatutnya kiranya menjadi bahan untuk memaknai Saraswati, betapa penting ilmu atau pengetahuan itu bagi kehidupan manusia secara universal.

Dewi Saraswati adalah ide mengenai ilmu pengetahuan, yang sebenarnya kurang tepat menyebut ilmu dan pengetahuan itu suci/indah, tetapi tepatnya netral, seperti pengalaman Alfred Nobel. Ia amat sedih karena dinamit digunakan untuk membunuh manusia dan memporak-porandakan suatu peradaban. Untuk menebus rasa bersalah itu, kekayaan Alfred Nobel yang diperoleh dari berbagai royalti temuannya, disumbangkan bagi ilmuwan yang berjasa bagi kemanusiaan.

Para ilmuwanlah yang berjasa besar menjadikan ilmu atau pengetahuan itu nyata dan bermaslahat. Di bawah naungan spirit aksiologis, para ilmuwan bekerja bagi kemanusiaan. Pada momen Saraswati ini, patut kiranya merunduk takzim di hadapan nama-nama besar ilmuwan dunia. Membangkitkan kesadaran aksiologis ilmu sehingga ketika mengetik status atau mengirim file-file digital, ketika menyimak video, dll., pada layar sentuh gawai, sejatinya sedang menikmati berkah ilmu, buah pemikiran, pergulatan metodologis para ilmuwan, yang semua proses panjangnya itu, seribu kegagalan, semangat kembali mencoba tiada terperi.

Dengan kesadaran askiologis itulah, bahwa segala produk hidup dan aneka teknik yang melayani kerja dan belajar adalah berkah ilmu dan pengetahuan. Dengan kesadaran ini, manusia tidak pernah lepas dari sumbangsih ilmu (dan pengetahuan), yang semakin nyata setelah para ahli teknik mewujudkan sebuah persamaan matematika menjadi barang yang bisa digunakan oleh siapapun. (*)

Penulis :  Dr. I Wayan Artika, Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts