Klian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna |FOTO : Luh Sinta Yani|
Singaraja, koranbuleleng.com |Hari raya Pagerwesi adalah hari raya umat Hindu yang bertujuan untuk memuja Hyang Pramesti Guru. Hari raya Pagerwesi jatuh setiap 210 hari tepatnya pada Buda Kliwon Wuku Sinta.
Di Desa Adat Buleleng, tradisi perayaan Pagerwesi biasanya ramai dan khusuk. Sama halnya seperti merayakan Hari raya Galungan dan Kuningan. Warga Buleleng sering menyebut perayaan Pegorsi.
Menurut Klian Desa Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna menyampaikan Pagerwesi dirayakan untuk memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya Tuhan sebagai guru alam semesta. Makna kata pagerwesi yakni, Pager artinya pagar atau pelindung, wesi artinya besi.
“Jadi pagerwesi maknanya adalah perlindungan yang kokoh manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam alam semesta,” jelas Jro Sutrisna.
Masyarakat Hindu memberikan manifestasi Tuhan berupa simbol ilmu pengetahuan yang dilakukan secara pageh/tetap dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Desa Adat Buleleng pada khususnya melakukan persembahyangan yang dimulai dari lingkungan pura keluarga dan dilanjutkan ke pura Sad Kahyangan.
Dalam tradisi masyarakat adat Buleleng, pada saat pagerwesi mereka akan memberikan aci-aci atau sesajen yang diistilahkan dengan nama “Munjung”.
Munjung adalah sebuah banten atau sesajen yang berisikan olahan khas Buleleng seperti nasi dengan tipat blayag, daging ayam, sayur-sayuran atau rambanan, ikan, tum, dan pisang. Itu dibuatkan layaknya seperti sagi. Munjung tersebut akan dihaturkan pada leluhur di setra atau kuburan tersebut. Lalu sanak saudaranya akan makan bersama di setra tersebut. Tradisi ini dilakukan di setra kuburan dimulai dari pukul 05: 00 Wita sampai pukul 10:00 Wita.
“Yang kami tahu, masyarakat desa adat Buleleng tidak pernah tidak merayakan hari raya Pagerwesi,” ungkap Jro Sutrisna.
Jro Sutrisna bernostalgia saat dirinya masih kecil, tradisi munjung dijadikan sebagai rekreasi bersama keluarga. Namun pada kemajuan teknologi seperti sekarang, tradisi ini sudah sedikit yang melakukan karena banyak masyarakat yang melakukan pengabenan.
“Saat ini sedikit yang melakukan proses pemakaman dengan mekinsan di pertiwi. Di desa Adat Buleleng yang paling banyak melakukan tradisi mekinsan di pertiwi adalah Banjar Adat Banjar Jawa,” terang mantan Kadis Pariwisata Kabupaten Buleleng ini.
Di masing-masing rumah biasanya masyarakat akan menghaturkan “Soda” kepada leluhurnya. Biasanya di dalam “Soda” itu terdapat beberapa makanan kesukaan dari para leluhurnya, seperti kopi, rokok, nasi, dan makanan lainnya. Masyarakat percaya bahwa leluhur adalah salah satu manifestasi Tuhan yang pernah hadir di dunia untuk menjadi guru yang menuntun dan membimbing mereka.
Leluhur juga akan melindungi mereka dari segala marabahaya. Maka dari itu, masyarakat menghaturkan “Soda” sebagai bentuk penghormatan dan rasa terimakasih atas perlindungan yang diberikan dan tuntunan ke arah yang benar.
Pada masa pandemi, agar tetap menjalankan instruksi pemerintah dan tetap bisa merayakan pagerwesi, maka desa adat Buleleng membuat pembatasan orang yang hadir di dalam pura melalui pembagian waktu yang sudah ditentukan. Masyarakat Buleleng yang dibagi menjadi 14 banjar adat akan datang bergiliran dan ketat terhadap pelaksanaan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Desa adat Buleleng menugaskan pecalang yang berada di masing-masing wewidangan. Tiap banjar adat, pecalangnya akan turun untuk memantau di wilayahnya. Pecalang juga ditugaskan untuk memantau di setra. Jika ada yang tidak membawa masker, maka akan langsung disuruh pulang.
“Nah ini adalah langkah-langkah strategis kami agar perayaan Pagerwesi sesuai dengan tatanannya,” ujar Jro Sutrisna.
Menurut Jro Sutrisna, pemaknaan hari raya Pagerwesi bukan hanya sekadar menghaturkan banten, namun juga masyarakat melakukan harmonisasi dan implementasi dari Tri Hita Karana.
Hubungan manusia dengan Tuhan yaitu dengan melakukan pemujaan terhadap Ida Sanghyang Widhi Wasa. Hubungan manusia dengan manusia yaitu dengan menjaga toleransi dan saling menghargai. Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu menjaga hubungan manusia dengan alam.
Untuk itu, desa adat Buleleng menciptakan sebuah konsep untuk merapikan setra yang ada di wilayah desa adat Buleleng. Setra akan dibuatkan dalam bentuk terasiring dan layaknya seperti taman. Jadi setra bukan lagi memiliki nuansa seram namun bisa dipakai sebagai tempat rekreasi dan tempat yang asri.
“Ini juga sebagai bentuk nyata dalam memuliakan Tuhan sebagai guru alam semesta” tutup Jro Sutrisna. (*)
Pewarta : Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A. Putra