Singaraja, koranbuleleng.com | Akhirnya hari ini, saya merasa lega. Tau kenapa?
Jawabannya, saya sendiri tidak menyangka. Karena selama dua hari lalu,
24 – 25 Mei 2022 sebuah pertaruhan. Pertaruhan soal cara berfikir sebagai seorang manusia yang menjalani profesi sebagai wartawan. Ini juga pertarungan batin, psikologi dan banyak lagi. Saya lega sudah melewati tanggal itu.
Dua hari itu, Saya mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar oleh Dewan Pers dan berkolaborasi dengan tiga lembaga uji kompetensi, diantaranya Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Antara, dan AJI.
Saya mengikuti UKW yang difasilitasi oleh LPDS Jakarta. LPDS adalah lembaga pendidikan bidang Pers, tertua di Indonesia. LPDS awalnya terbentuk melalui Yayasan Pers Dr.Soetomo. Tahun 2001, nama yayasan berganti nama menjadi Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro.
UKW yang diselenggarakan di Hotel Mercure Sanur, Jalan Mertasari, Sanur, Denpasar, diikuti oleh 53 wartawan dari Bali dan beberapa wartawan dari luar Bali.
“Pasukan” peserta dari Buleleng cukup banyak, dan kami cukup solid dari awal. Seperti sehidup dan semati mengadu nasib yang sama dalam UKW ini. Ada tujuh orang wartawan dari Buleleng, satu orang wartawan mengikuti jenjang Utama, satu orang wartawan mengikuti jenjang Madya, dan lima orang mengikuti jenjang Muda. Saya ikut jenjang muda, sebagai anak bawang dalam dunia kewartawanan di Buleleng dan Bali tentunya.
Sejak awal dibuka oleh Wakil Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya, kekhawatiran itu sudah menyelimut pikiran. Agung menyatakan uji kompetensi ini penting untuk menjaga harkat dan martabat profesi Jurnalis. Dalam uji kompetensi ini, bukan hanya secara khusus menguji keterampilan wartawan dalam menjalankan pekerjaan keseharian, namun harus mampu menegakkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Tapi saya meyakini, apabila anda sudah benar-benar menjalankan profesi itu secara sungguh-sungguh, uji kompetensi ini bukanlah sebuah kesulitan,” ujar Agung.
Agung menegaskan selain di Denpasar, UKW juga diselenggarakan di sejumlah kota di Indonesia yang didukung oleh Bappenas. Pemerintah Indonesia bersama Dewan Pers berkomitmen untuk terus menerus meningkatkan kompetensi wartawan Indonesia. Dia juga berharap, pemerintah daerah juga mendukung upaya ini agar bisa bekerjasama dengan Dewan Pers maupun lembaga uji kompetensi menyelenggarakan UKW di berbagai daerah.
“Kita sering menuntut mereka agar mampu menjadi wartawan yang baik, jadi jangan dituntut saja tapi tidak difasilitasi. Ya harus difasilitasi dong,” ujarnya.
Usai pembukaan itu, tibalah pembagian kelas. Degdegan itu masih hinggap di hati. Suhu ruangan yang sebenarnya teramat dingin, tidak terasa. Saya ada dalam satu kelompok berjumlah enam wartawan dan satu penguji. Saat itu, saya bersama tiga wartawan dari Buleleng dan dua dari Denpasar, diuji oleh Lestantya R. Baskoro. Lestantya didampingi penguji pendamping, I Putu Nova Anita Putra.
Kami memanggilnya Pak Bas. Pak Bas merupakan anggota Komisi Pendataan dan Penelitian Media Dewan Pers. Dia juga mengajar mata kuliah Kode Etik Wartawan, UU Pers, dan Investigasi Reporting pada sejumlah perguruan tinggi juga Pengajar pada Tempo Institute. Pernah menjabat Redaktur Eksekutif Tempo, Kepala Biro Pendidikan Tempo, dan pelaksana harian Ombudsman Tempo Media Grup.
LPDS, selain menugaskan Pak Bas, juga menugaskan dua penguji lain dengan pengalaman jurnalistik yang maha luas. Diantaranya Priyambodo RH dan Maria Dian Andriana.
Priyambodo RH merupakan wartawan senior di LKBN Antara dan pernah menjadi Direktur Eksekutif LPDS. Ia juga pernah menjadi Kepala LKBN Antara Biro Eropa berkedudukan di Lisabon (Portugal), kemudian di Brussels (Belgia) periode 1998- 2011. Sementara Maria Dian Andriana adalah penguji yang pernah menjadi Kepala Biro LKBN Antara di Tokyo, Jepang.
Selama dua hari mengikuti UKW ini, banyak ujian yang tidak terduga. Pertanyaan-pertanyaan penguji mengoyak susunan logika namun menjadi tambahan ilmu yang sangat berarti.
Wartawan dituntut aktif dan reaktif dalam menjalankan tugas. Dalam rapat redaksi, wartawan diminta untuk aktif mengusulkan ide-ide liputan. Tidak hanya diam menunggu penugasan. Seorang wartawan juga dituntut lihai berargumentasi.
Begitupun ketika ada jumpa pers, mencari lokasi duduk yang strategis antara Narasumber juga menjadi penilaian penting. Jika cara duduk saja dinilai, maka bertanya kepada narasumber juga menjadi penilaian besar. Pertanyaan yang diajukan wartawan itu sebagai cermin kemampuan intelektual. Lelah, iya! Karena menghadapi ujian kompetensi ini bukan hanya mengandalkan fisik namun menggunakan pikiran dan perasaan.
Hari kedua, galau belum hilang. Untuk menemukan rasa yang santai itu seakan mahal sekali. Pagi buta sebelum ujian, pikiran sudah terbawa ke pertanyaan, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Dari tempat menginap menuju lokasi UKW, pagi hari itu, kami biasa singgah di sebuah warung kecil penjual nasi kuning. Rombongan peserta ujian ini berusaha menenangkan diri dengan mengisi perut melalui menu nasi kuning. Perut terisi tapi waswas tetap menyelimuti.
Maka seperti biasa, untuk menghilangkan ketegangan, perbincangan-perbincangan lucu diantara pesertapun menyeruak. Namun begitu, ketika ujian sudah mulai dan berhadapan dengan penguji, bahan uji yang sudah dibaca sebelumnya justru hilang begitu saja dari otak. Argumentasi dengan penguji seakan mentah begitu saja.
Ujian Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Hukum Terkait Pers salah satu ujian genting. Inilah koridor hukum yang harusditelaah dengan baik oleh masing-masing wartawan. Meski sudah sempat membaca nampaknya pemahaman tentang KEJ dan Hukum Pers.
Kami masih sedikit salah, dalam mengartikan soal yang diberikan. Saat itu, kami diberikan soal tentang apa itu Hak Tolak, Embargo, dan bagaimana menulis berita yang benar tentang pelecehan seksual. Jujur saja, masih banyak kekeliruan atas jawaban kami.
Namun Pak Baskoro memberikan pencerahan yang amat baik.
“Hak tolak adalah hak wartawan untuk merahasiakan nama atau identitas narasumber. Sampai di meja persidangan, wartawan di penjara, wartawan harus tetap merahasiakan nama narasumber tersebut. Hingga narasumber sendiri yang mengungkapkan dirinya ke publik,” terang Baskoro.
Sementara, untuk Embargo merupakan penunda pemuatan berita yang diminta oleh narasumber. “Namun penundaan itu, harus memiliki jangka waktu yang ditentukan,” katanya.
Dalam kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual, wartawan tidak boleh menyebutkan nama asli, inisial, atau alamat asli korban, termasuk untuk anak di bawah umur. Ada beberapa pandangan hukum soal anak di bawah umur. Namun dalam Jurnalistik, pedoman yang digunakan adalah 18 tahun ke bawah.
“Wartawan juga tidak boleh menyebutkan nama korban dan pelaku maupun inisial, maupun alamat asli, supaya tidak terjadi dugaan-dugaan publik,” terangnya.
Rasanya, sebagai anak bawang, Saya sangat berterimakasih kepada Pak Bas. Karena sudah menuntun menjadi wartawan yang benar dalam menulis berita, berprilaku dan memahami etika. Semua itu terhubung dengan tugas dan fungsi wartawan memberi informasi yang akurat dan kredibel kepada masyarakat.
Rasanya bahagia, ujian UKW jenjang muda berakhir. Priyambodo RH mengumumkan, 99 persen peserta UKW LPDS dinyatakan kompeten. “Dan satu persen tergantung Dewan Pers dong, karena kami harus mengajukan hasil ini dulu,” ucap Priyambodo saat mengumumkan hasil.
UKW ini menjadikan pelajaran penting ke depan agar menjadi wartawan yang baik, dan selalu memihak kepada publik. (*)
Pewarta : Kadek Yoga Sariada