Ritual Meboros Dapatkan Seekor Kidang

Singaraja | Ritual meboros yang digelar oleh warga Desa Adat Tigawasa, Kecamatan Banjar, dapatkan seekorĀ  Kidang (Rusa) di wilayah hutan desa yang dikeramatkan oleh warga setempat, Rabu (27/4). Kidang betina yang ditangkap warga ini selanjutnya akan dirawat untuk sementara waktu sampai digelar Upacara Ngebek dan Pecaruan Desa menjelang Nyepi Desa Adat Tigawasa.

Mengikuti ritual perburuan ini sangatlah menarik dan cukup unik karena perburuan dilakukan tanpa kekerasan sedikitpun. Perburuan dilakukan dengan niat yadnya untuk kepentingan ritual adat dan budaya sesuai dengan keyakinan warga Desa Tigawasa.

- Advertisement -

Padahal, Warga setempat juga tidak mengetahui secara persis berapa populasi sebenarnya hewan yang kini sedang dalam perlindungan undang-undang ini. ā€œYang jelas populasi Kidang (Rusa, red) masih ada di sini. Warga sering melihat hewan ini masuk ke dalam perkebunan, tapi kadang sulit juga menemukannya. Ketika kita melakukan perburuan seperti ini pasti akan selalu bisa menangkap karena niat kami untuk meyadnya, menjaga tradisi leluhur,ā€ ujar Made Kartika, salah satu warga yang ikut berburu.

Perburuan dilakukan kurang lebih selama lima jam. Awal perburuan dilakoni dengan matur piuning di Pura Desa dan rumah Kebaan. Kebaan adalah jabatan tertua dalam Ulun Desa atau struktur kepengurusan Ā Desa Adat Tigawasa.

Setelah itu, barulah warga melakukan perburuan ke hutan yang sangat disakralkan oleh warga desa Tigawasa. Dari Sembilan dusun atau banjar, masing-masing diwakilkan oleh sepuluh warga dusun. Pembagian tugaspun dilakukan.

Ada tim pemburu yang punya keahlian khusus untuk meboros. Ada kelompok pemasang jaring, ada kelompok pengintai.

- Advertisement -

Tim Pemburu ini yang punya keahlian untuk mengendus jejak-jejak Kidang yang akan diburu. Ā Jejak itu berupa jejak kaki ataupun bekas tumbuhan yang dimakan oleh Sang Kidang. Dari jejak itu, mereka tahu persis, arah perjalanan Kidang yang diburu dan sekaligus tempat persembunyiannya.

Jika sudah ketahuan, Tim pemburu yang Ā tediri kurang lebih 25 orang ini langsung melakukan perburuan untuk menggiring Kidang ke arah jaring yang Ā telah dipasang sebelumnya.

Saat perburuan tadi, Tim pemburu sebenarnya melihat dua ekor Kidang namun hanya menangkap satu ekor sesuai yang dibutuhkan. Perburuan inipun menyita tenaga ekstra. Mereka kewalahan mengejar buruan karena medan juga cukup terjal. Kidang bahkan sempat melewati perkebunan cengkeh milik warga yang berbatasan dengan hutan.

Kidang ini akhirnya ditangkap dibatas hutan dan perkebunan milik warga. Setelah ditangkap, Kidang ini dimasukkan ke dalam kerangkeng yang terbuat dari bambu.

Kerangkeng inipun dibuat sebelumnya dengan perencanaan yang sangat matang, baik dari sisi ukuran ketinggian dan lebarnya serta tidak menyakiti hewan buruan.

Perbekel Tigawasa, Made Swadarma Yasa mengungkapkan karena perburuan dihari pertama sudah mendapatkan Kidang maka perburuan dihentikan dari rencana sebelumnya berlangsung selama empat hari.

Selanjutnya, Kidang ini akan dipelihara di Pura Desa yang akan dilakukan oleh para Ulun DesaĀ  dan Datuna. Ā ā€œSetelah itu rangkaian akan dilanjutkan dengan Tabur Rah, Pecaruan Desa dan diakhiri Nyepi Desa. Dalam pecaruan ini memang harus berisi sarana bebantenan daging Kidang ini. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak lama. Kami sebagai keturunannya harus melanjutkan warisan dan tradisi ini,ā€ kata Swadarma Yasa.

Menuurt Ā Swadarma yasa, perburuan ini tidak akan menganggu habitat dan ekosistemnya karena selama ini tidak pernah dilakukan perburuan secara liar. Perburuan hanya dilakukan setiap ada momen ritual adat Nyepi Desa.

ā€œMasyarakat kami yang juga menjaga habitat dan ekosistem di hutan ini sesuai dengan tradisi dan keyakinan kami. Mereka tidak ada yang berani untuk masuk hutan apalagi untuk berburu bila tidak ada ritual seperti ini. Kami secara tidak langsung telah mengupayakan pelestarian hutan dan habitatnya,ā€ kata Swadarma Yasa.

Swadarma Yasa menyakini, populasi Kidang di Hutan Desa Tigawasa masih dalam jumlah ratusan namun memang sangat sulit untuk dicari. Kidang-kidang ini menempati area-area yang emmang sulit dijangkau oleh manusia.

ā€œTetapi ketika ada perburuan karena niat yadnya, Kidang itu biasanya muncul dengan sendirinya. Jadi setiap kali perburuan karena ritual pasti akan selalau dapat. ā€œ ujarnya.

Setelah mendapatkan Kidang yang diburu, warga juga beramai-ramai membawanya dalam kerangkeng bambu itu dengan sangat hati-hati. Kidang ini diperlakukan dengan sangat halus, baik saat membawa maupun dalam perawatan di dalam area pura.

Mereka yang merawat harus menjaga Kidang ini selama 24 jam sampai nantinya disembelih untuk keperluan banten pecaruan. Yang menyembelih juga bukan orang sembarangan. Warga yang ditugaskan secara khusus untuk menyemblih dinamakan Pengurekan. Mereka punya keahlian menyembelih hewan Kidang sebagai hewan kurban pecaruan.

Hutan Sakral

Dibalik perburuan Kidang ini, ada keyakinan yang sangat menarik dari warga tentang keberadaan hutan Desa Adat Tigawasa.

Warga meyakini, hutan adalah tempat yang sakral dan tidak boleh melakukan aktifitas yang Ā terlarang atau pantangan-pantangan tertentu.

ā€œPak,saya berepsan saja mungkin juga sudah diberitahu sama Pak Mekel. Nanti kalau masuk hutan jangan sampai melakukan aktifitas yang tidak diperkenankan. Seperti kencing didalam hutan tidak diperkenankan, berkata kasar atau sejensinya. Bagi kami hutan ini sangat sakral dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pantangan dan keyakinan yang kami yakini soal hutan,ā€ ujar seorang warga.

Warga Desa Tigawasa menganggap hutan adalah sebuah tempat sakral, tingkat kesakralannya sama dengan sebuah pura.

Di hutan tempat perburuan Kidang ini pun dianggap sebagai areal pura. Warga setempat meyakini, di dalam hutan ini ada sebuah pelinggih yang Ā tidak berwujud. Hanya saja ketika saat upacara piodalan tiba di dalam hutan, warga membuatkan sebuah pelinggih dari kayu atau turus lumbung.

ā€œKalau hari persembahyangan tiba, maka kami membuatkan pelinggih dari kayu. Itu sifatnya sementara. Ada lokasi khusus tempat pelinggiih itu,ā€ kata Swadarma Yasa.

Yang lebih unik, Konon di dalam hutan juga ditemukan sebuah Lingga Yoni, simbol Dewa Siwa. Namun simbol ini kadang bisa dilihat namun kadang tidak bisa dilihat dengan kasat mata.

ā€œKeyakinan kami itu sebagai Lingga Yoni, Simbol Dewa Siwa. Itulah yang membuat kami yakin bahwa Hutan adalah tempat yang sangat sakral dan harus dihormati,ā€ kata Swadarma Yasa.

Karena keyakinan itu, Hutan Desa Adat Tigawasa ini masih tetap hijauĀ  tanpa ada kerusakan. Tidak ada yang berani menebang pohon secara liar, kecuali menebang pohon kayu Majegau untuk kepentingan pura dan sanggah keluarga. Dan itupun sebelumnya harus meminta ijin dari Pemerintahan Desa Tigawasa dan Para Ulun Desa Adat Tigawasa.

Di dalam hutan, pohon-pohon kayu besar menjulang tinggi masih banyak terlihat. Umurnya diperkirakan ratusan tahun. Ketika pohon ini lapuk dan tumbang juga dibiarkan saja sehingga tidak menganggu ekosistem hutan.|NP|

 

 

 

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts