Ogoh-ogoh “Asing” di Desa Pakraman Lemukih

Singaraja, koranbuleleng.com| 10 hari kedepan, Masyarakat di Bali akan melaksanakan catur brata penyepian atau secara nasional sebagai Hari Suci Nyepi. Sejumlah rangkaian tradisi adat dan ekagamaan dijalani oleh masyarakat di Bali, termasuk di belahan utara Pulau Bali, buleleng.

Salah satu rangakian yang dijalani oleh masyarakat Bali dalam pelaksanaan rangkaian hari raya Nyepi tu adalah hari Pengerupukan. Di hariini, masyarakat biasanya mengusung ogoh-ogoh atau patung raksasa yang disimbolkan sebagai kepribadian Bhuta Kala. Setelah diarak, Ogoh-ogoh ini biasanya dibakar oleh masyarakat.

- Advertisement -

Budaya dan tradisi yang menjadi ciri khas sekaligus tontonan menarik penuh makna bagi masyarakat sekitar, dan umat Hindu di Bali pada khususnya.

Terkecuali di Desa Pakraman Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng-Bali. Tradisi pengarakan ogoh-ogoh tak berlaku di desa yang terletak di lereng perbukitan ini.

Ketika mencoba mengitari rumah-rumah atau pun balai desa setempat, memang tidak ada satu pun masyarakat yang terlihat melakukan pembuatan ogoh-ogoh. Perayaan Nyepi di Desa Pakraman Lemukih terlihat biasa saja.

Menurut keterangan Jro Mangku I Gede Ginarsa (64) salah seorang tokoh masyarakat Desa Pakramam Lemukih mengatakan, desa Lemukih memang sejak dahulu tidak menganut tradisi pembuatan hingga pengarakan ogoh-ogoh dalam rangkaian upacara tawur kesanga khususnya saat dilangsungkan pengerupukan Nyepi.

- Advertisement -

“Bukan tabu, ogoh-ogoh ini kan baru, sejak jaman dulu memang tidak ada. Kalau Dresta desa kami, hanya menggelar ngoncang pada saat Pengerupukan Nyepi. Serentak dilakukan oleh masyarakat di rumahnya masing-masing,” sebut Ginarsa saat ditemui koranbuleleng.com, Jumat 17 Maret 2017.

Namun, saat pengerupukan masyarakat desa Lemukih menggelar tradisi ngoncang (menumbuk lesung) dan bukan dengan arak-arakan ogoh-ogoh yang dilakukan umat Hindu pada umumnya.

Biasanya, tradisi Ngoncang dilakukan usai ritual Tawur Agung Kesanga dan itu berlangsung mulai dari sore hingga malam hari.

Diakuinya, Desa Pakraman Lemukih memang memiliki keunikan saat ritual Tawur Agung Kesanga digelar. Khususnya, pada ritual pecaruan dengan hewan persembahan yang berbeda di setiap tahunnya.

Hari Raya Nyepi pada Tahun Caka ganjil, ritual pecaruan harus memakai Sampi Cula dan pada Tahun Caka genap juga memakai pecaruan Godel (anak sapi).

Nah, untuk tradisi ngoncang itu sendiri dikatakan Ginarsa lagi, hanya dilakukan pada pelaksanaan ritual tawur agung kesanga dengan persembahan sampi cula (sapi jantan yang sudah digetok).

Mantan Sekretaris Desa (sekdes) Lemukih yang pernah menjabat selama 33 tahun itu juga menerangkan bahwa upacara tawur agung kesanga memakai hewan persembahan itu merupakan sebuah keharusan. Lantaran ritual upacara tersebut merupakan simbol dari penyucian diri yang dilaksanakan satu hari sebelum Catur Bhrata Penyepian atau Hari Raya Nyepi.

“Asal usul kami kurang tahu, karena sudah tradisi turun temurun, tidak ada yang berani merubahnya. Ritual hewal persembahan dalam acara Tawur Agung Kesanga diyakini oleh masyarakat sebagai kebenaran yang bersifat mutlak,” jelasnya.

Selain itu, ritual tawur agung kesanga juga bermakna sebagai wujud keselarasan antara umat manusia dengan alam. Keselarasan yang dimaksud tertera dalam ajaran agama Hindu disebut Sad Kertih. Penjabaran masing-masing Sad Kertih terdiri dari, Wana Kertih, Danu Kertih, Segara Kertih, Buana Kertih, Manusa Kertih dan Pitra Kertih.

Dari sisi awig-awig, pecaruan dengan hewan persembahan dan pengarakan ogoh-ogoh yang sangat asing itu memang tidak tertulis dalam awig-awig Desa Pakraman Lemukih.

“Disini (Lemukih) harus, pecaruan tawur agung kesanga memakai hewan sampi cula atau godel dan tidak boleh menggunakan caru ayam seperti surat edaran dari PHDI. Setelah dicocokkan dalam sastra, hewan persembahan itu bagian dari ritual Buana Kertih, dan pecaruan itu nantinya dilaksanakan di depan Pura Bale Agung,” ungkapnya.

Penyampaian senada juga diutarakan Klian Desa Pakraman Lemukih, Gede Widiarta ketika ditemui dirumahnya.

Dijelaskan Widiarta bahwa Desa Pakraman Lemukih memiliki dua Hari Raya Penyepian yakni Nyepi Desa dan Nyepi pergaantian tahun Caka.

“Ada dua penyepian setiap tahunnya, Nyepi Desa setiap purnama kedasa, dan Nyepi yang sudah diakui dalam agenda nasional. Paling sakral Nyepi purnama kedasa,” kata Widiarta.

Soal Ogoh-ogoh dirinya menerangkan bahwa memang sejak dahulu Desa Pakraman Lemukih tidak memiliki tradisi pembuatan ogoh-ogoh. Namun, seingatnya pada bulan Maret tahun 2013 lalu, tepat di pengerupukan pernah para pemuda menarikan barong bangkung. Karena bukan dresta desa, barong bangkung yang ditarikan puluhan para pemuda desa setempat itu pun hilang dan tak berlanjut dengan begitu saja.

“Wah, kalau ogoh-ogoh memang tidak pernah ada di desa kami. Sudah warisan turun temurun seperti itu, kami tidak berani mencoba apalagi berinovasi. Pernah ada medalang (mengeluarkan) barong bangkung milik desa dan ditarikan saat pengerupukan, tapi ya tahun itu saja. Ogoh-ogoh, terkesan asing disini,” tutup Widiarta.|NH|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts