Stop Jaruh!

Singaraja, koranbuleleng.com| Tayangan berupa Joged Bumbung Jaruh atau porno masih acap kali menghiasi dinding sosial media. Entah di facebook, youtube ataupun keluyuran di pesan whatsapps. Sudah pasti, jogged porno itu ada karena pesanan, tak dipungkiri. 

Sehingga kini, bukan lagi hanya menjadi tugas Pemerintah saja untuk menghapus keberadaan joged porno ini. Diperlukan peran serta semua pihak, termasuk masyarakat khususnya generasi milenial atau anak-anak muda, agar joged porno ini tidak berkembang, bahkan bisa hilang tidak ditampilkan lagi.

- Advertisement -

Setidaknya hal itulah yang ingin dilakukan Ketut Dita Wijayanti. Siswi SMA negeri 4 Singaraja ini adalah seorang penari Bali yang aktif di salah satu sanggar di Kabupaten Buleleng. Ia merasa terpanggil untuk terlibat dalam kampanye “Stop Joged Jaruh” ini. Selain karena kepeduliannya terhadap kesenian tradisi Bali, Dita juga tidak ingin jika kecintaannya dalam kesenian tari memudar, yang disebabkan oleh noda dan citra buruk yang dilakukan oleh pelaku kesenian itu sendiri.

Rasa cintanya tehadap joged bumbung sudah muncul sejak Ia duduk di bangku SMP. Kala itu, Ia melihat sebuah video di facebook yang viral karena dalam video itu, nampak seorang penari joged bumbung, yang menyajikan gerakan tarian secara erotis. Ia miris melihat tayangan itu.

“Saya kemudian bertanya kepada guru tari saya, apakah memang seperti itu gerakan tari joged bumbung? Guru saya kemudian menjelaskan dan mengajarkan sediti teori dan pakem joged yang sebenarnya. Disitulah saya kemudian tertarik dan memutuskan untuk belajar,” jelasnya.

Berbekal teori dan pakem itu, Dita Wijayanti kemudian semakin mendalami joged bumbung. Ia juga belajar secara otodidak dengan melihat gerakan-gerakan tari bumbung dengan pakem benar di youtube. Hingga kini Ia sudah duduk di bangku SMA, Dita sudah piawai menari joged bumbung dan beberapa kali tampil.

- Advertisement -

Bahkan bersama dengan teman-teman sekolahnya, Dita Wijayanti mendapatkan kesempatan tampil dalam Pagelaran Joged Bumbung yang digagas Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Buleleng Jumat, 25 Oktober 2019 di Wantilan Puri Seni Sasana Budaya Singaraja.

Baginya, pagelaran itu adalah sebuah panggung bagi generasi muda, generasi milenial Buleleng, untuk menunjukkan bahwa Joged Bumbung tanpa gerakan erotis, tetap bisa memberikan hiburan. Ia juga berharap, melalui keguatan tersebut, bisa mengekang bahkan menghapus keberadaan joged porno di Kabupaten Buleleng khususnya.

“Saya mengajak semuanya sebagai generasi milenial, mensosialisasikan kepada teman-teman, apalagi Pemerintah juga melarang joged porno. Sangat berharap hal itu (Joged porno) tidak ada lagi. Harus punah, yang harus lestari itu joged dengan pakem sebenarnya,” tegasnya.

Sementara itu, selain untuk memerangi joged porno atau joged jaruh, pagelaran joged gumbung itu juga sebagai sarana aktualisasi diri generasi muda dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ada enam kelompok yang dilibatkan masing-masing SMKN 1 Singaraja, SMAN 3 Singaraja, SMAN 4 Singaraja, SMAN Bali Mandara, Sanggar Seni Karya Remaja Desa Sari Mekar, dan Sanggar Seni Giri Ulangun Desa Lemukih.

Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang mengatakan, parade itu merupakan strategi dalam menampilkan joged yang beretika. Mengingat kesenian joged telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh UNESCO.

“Memang informasinya joged Buleleng itu disoroti. Tapi setelah saya telusuri, tenryata tidak. Jadi joged porno itu dilakukan oknum-oknum tertentu, sehingga seolah-olah dari Buleleng,” katanya.

Kini, Dinas Kebudayaan Buleleng tengah menyusun strategi agar kesenian joged juga dipentaskan di sekolah-sekolah. Karena selama ini, joged identik dengan aktifitas di sanggar maupun sekaa. Sementara sekolah hanya memfasilitasi tari-tari yang bersifat pertunjukan, bukan tari pergaulan seperti joged. Sasarannya, untuk mensosialisasikan pakem joged yang benar pada kalangan muda.

“Kalau sudah di sekolah, kan anak-anak bisa tahu, seperti apa joged yang patut dan seperti apa ngibing yang beretika. Kami ingin ini disampaikan dan masuk dalam kurikulum kesenian di sekolah,” tegas Gede Komang.

Dari strategi yang disiapkan itu, ada harapan untuk bisa mengembalikan citra tari joged, yang kini identik dengan joged jaruh. Apabila kesan jaruh masih melekat, dikhawatirkan UNESCO akan mencabut gelar WBTB yang telah disematkan pada tari joged beberapa tahun lalu. |Rika Mahardika|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts