Gerakan “Turba” Dosen

Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.|FOTO: Arsip koranbuleleng.com|

Sebagai komponen esensial dan agent of change di perguruan tinggi, dosen dituntut tak hanya dapat memberikan ilmu yang bersifat teori, tetapi juga membagikan pengalaman di dunia riil yang lengkap dengan praktik.

- Advertisement -

Dalam artian, dosen sebagai orang dosen akademisi sekaligus praktisi. Akan tetapi untuk saat ini masih sedikit dosen di Indonesia yang dapat mengusai keduanya. Dalam artian mampu menyampaikan ilmu-ilmu yang bersifat teori sekaligus penerapannya dalam praktek riil dunia kerja.

Pada umumnya, dosen di Indonesia memiliki kecenderungan sebagai seorang dosen akademisi yang lebih menitikberatkan pada penyampaian materi perkuliahan dengan teori-teori dan hasil riset. Padahal untuk menghadapi persaingan global dunia kerja ekonomi, mahasiswa juga membutuhkan pengalaman di dunia riil yang lengkap dengan praktiknya. Dimana biasanya ilmu tersebut dapat diperoleh dari praktisi yang telah terjun di bidangnya selama bertahun-tahun dan seringkali praktiknya berbeda dengan teori yang diajarkan.
Kompetensi dosen perlu di-refresh dan meningkatkan kompetensi mereka, dengan terjun langsung di industri, meninggalkan kampus untuk sementara waktu (minimal selama enam bulan). Yang mana hal ini merupakan salah satu wujud nyata Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Tidak hanya menyediakan kurikulum belajar di luar kampus bagi mahasiswa tetapi justru dosen-dosen juga dalam waktu yang sama melakukan gerakan “turba” (turun ke bawah) bekerja di dunia usaha dan dunia industry (DUDI).

Menjadi dosen saja, yang berkutat di kampusnya, dalam forum seminar, menulis publikasi di jurnal-jurnal, hari gini sudah tidak memadai lagi. Dosen dituntut melakukan hubungan dengan dunia praktisi atau DUDI atau dunia kemasyarakatan (gerakan-gerakan swadaya masyarakat). Cara ini ampuh menyeimbangkan materi kuliah yang teksbook atau diktat; dengan realitas. Pengalaman nyata, dimana sebuah ilmu memberi sumbangan atau bagi segala kebaikan manusia, akan membuat ilmu itu bermakna dan keyakinan atau kepercayaan mahasiswa terhadap ilmu tersebut tumbuh subur.

Mahasiswa yang diajar oleh dosen praktisi atau dosen akademi yang juga bekerja di DUDI sejak dini tahu dinamika perkembangan dunia ilmu sehingga perkuliahan dan dunia nyata tidak berjarak lagi dan ruang-ruang kuliah atau laboratorium memenjara mahasiswa. Kelak, setelah mahasiswa tamat mereka tidak terkejut atau kelabakan menghadapi loncatan-loncatan dalam bidang ilmu dan pekerjaannya. Sebelumnya, sudah lazim seorang sarjana yang baru kerja benar-benar mulai dari nol. Di DUDI seorang sarjana yang masuk bursa kerja biasanya mulai belajar dari awal.

- Advertisement -

Di sini mereka benar-benar belajar untuk tujuan praktis, dapat mengerjakan dengan baik dan penuh tanggung jawab terhadap pekerjaannya sehingga mendapat pengakuan dari pimpinan. Demikianlah kelaziman yang terjadi dalam kehidupan sarjana baru di DUDI dan hal ini dibiarkan karena dunia kampus berprinsip hal itu atau kehidupan sarjana yang diwisuda di auditorium mewah universitas, sama sekali bukan tanggung jawabnya lagi. Kampus terlalu jemawa dengan prinsipnya bahwa tugasnya hanya mendidik. Artinya kontribusi ilmu kuliah nyaris tak ada karena perkembangan dunia usaha dan industri melesat sekian ribu km di depan materi-materi kuliah perguruan tinggi yang stagnan yang mata kuliahnya diampu dosen akademisi kutu buku.

Kini dengan dosen yang secara sadar kerja di DUDI, ia adalah pembangun jembatan antara ruang kuliah dan laboratorium yang teoretik terasing dari lompatan beribu-ribu kilometer kemajuan dan dinamika ekonomi industry; yang sudah jelas teraliansi dengan dunia praksis ilmu dalam berbagai tujuan produksi ekonomi dan jasa. Karena itu tidak ada lagi keterasingan teorteis dan metodik yang meracuni jantung nalar mahasiswa. Di sinilah peran dosen yang secara sadar membangun jembatan antara ruang kuliah dan laboratorium kampusnya dengan perusahan atau pabrik-pabrik atau gerakan sosial lainnya.

Sebelumnya tanggung jawab atau tugas meretas jarak keterasingan itu dilakukan oleh mahasiswa dan dosen tetap bercokol di kampus dan memantau mahasiswa lewat bimbingan. Dulu tanggung jawab dan tugas meretas jarak keterasingan kmpus dan dunia usaha dan industri hanya dibebankan pada mahasiswa lewat progaram magang atau kuliah praktik di luar kampus. Dalam hal ini hanya beberapa kali dosen datang memantau, dan dosen merasa bagai seorang rahib turun gunung yang menjunjung tinggi dunia utopia ilmiah metodik yang semakin usang di kepalanya.

Kini dosen sendiri juga harus berlaku sama dengan mahasiswa. Dosen bekerja di dunia usaha dan inddustri. Semua ini demi mahasiswa agar segala ilmu dan metodik yang dipelajari di universitas tidak sia-sia dan secepatnya meningkatkan berkah bagi diri dan masyarakatnya.
Namun demikian, mungkin untuk beberapa bidang ilmu, sangat mudah seorang dosen menemukan tempat bekerja karena kebutuhan untuk itu dsangat tinggi. Maka bagi dosen yang ada dalam kelompok ini, tidak sulit baginya mendapat tempat kerja di DUDI.

Namun ada banyak dosen akademisi yang sangat sulit diterima di dudi.
Karena itu, kerja dosen di DUDI adalah tantangan atau pukulan bagi dosen yang selama ini kutu buku tok atau dosen yang dunianya sebatas dunia ruang kuliah dengan rasa kuasa dan rasa hebat luar biasa yang sangat tinggi di hadapan mahasiswanya. Karena itu peraturan yang meminta dosen PT kerja di DUDI adalah evaluasi bagi kebergunaan atau daya guna seorang dosen dan refleksi sosiologis apakah dosen mampu mengembangkan ilmu secara pragmatik, tidak lagi memandang ilmu semata-mata sudah cukup dari segi ontologi dan epistemologi tetapi di atas keduanya dan muaranya yang utama: aksiologi, bagaimana dosen mengembangkan ilmu dari aspek manfaat.

Hal ini juga akan mementahkan semua penelitian dan PkM (program pengabdian kepada masyarakat) yang mereka kerjakan yang semuanya hanya formalitas dan tidak bersentuhan dengan masyarakat. Jika dosen tidak sanggup kerja di DUDI berarti dia selama ini hidup terasing. Dengan keterasingan ini mereka mengajar dan lahirlah sarjana yang baru belajar setelah kerja. Tapi ini diterima baik dengan satu adigium, ilmu dan belajar yang sesungguhnya terjadi di masyarakat dan setelah seorang sarjana tamat. O ya? Kalau demikian, jadi kuliah di universitas adalah belajar dan buang uang serta waktu untuk belajar ilmu palsu yang tidak dibutuhkan? Mungkin ini terlalu ekstrem.
Paradigma dan adagium ini harus ditinggalkan. Belajar di PT belajar ilmu yang berguna di masyarakat dan untuk ini dosen harus dimerdekakan dari kurungannya sendiri, dengan bekerja di DUDI. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts