Ironi Pembelajaran Daring

Kontributor : Wayan Artika

Singaraja, koranbuleleng.com | Tim PkM (Pengabdian kepada Masyarakat) Program Studi Pendidikan Bahasa (Pascasarjana) Undiksha,  kali ini menyasar SDN 4 Wanagiri, Kecamatan Sukasada melakukan pengabdian bidang pendidikan.  Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa, Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd. secara langsung mengkoordinir kegiatan itu.

- Advertisement -

Materi disajikan oleh Dr. I Putu Mas Dewantara, S.Pd., M.Pd., yang juga adalah Sekretaris Prodi. Kegiatan ini diikuti oleh kepala sekolah beserta seluruh guru, bertempat di SDN 4 Wanagiri.

Dari pantauan, sebagaimana situasi sekolah semasa pandemi, SDN 4 Wanagiri, hari itu, 27 April 2021, terasa lengang. Sekolah ini seolah kehilangan roh, keceriaan anak-anak petani penggarap yang meniti jalan berliku pendidikan di sebuah sekolah yang dibangun di lereng balik kaldera Gunung  Api purba Pancasari.

Semasa pandemi, moda daring menjadi pilihan jalur pembelajaran. Inilah pula yang memantik semangat TIM PKM Prodi Bahasa Pascasarjana Undiksha. Namun setelah berada di lapangan, Tim seperti tengah mengamini kondisi besar dengan segala narasi ketidakmungkinan. Daring dengan gawai mungkin hanyalah kesempatan atau milik orang kota kelas menengah atas. Sementara anak-anak petani Desa Wanagiri yang bersekolah di SDN 4 masih jauh dari kenyataan tersebut.

Boleh dikatakan jika daring di sekolah ini tidak berjalan dengan baik. Jangan Tanya komitmen guru-guru muda yang dipimpin oleh Nyoman Subagia, S.Pd., Sd., selaku kepala sekolah. Maka guru-guru di sini sama sekali tidak menganggap daring sebagai pilihan yang tepat. Namun mata birokrasi bisa saja abai terhadap kenyataan yang tak seberapa jauh dari ujung hidung. Bagi desa ini, jaringan internet ternyata masih jadi barang mahal. “Di Sini hanya ada sinyal di titik tertentu sekolah dan itupun hanya sampai pukul 10 atau 11 pagi.” Kata salah seorang guru, seolah ingin mengadukan nasib buruknya ketika teknologi tidak berpihak kepada anak didiknya.

- Advertisement -

Di samping teknologi yang menjadi persoalan besarnya, seperti jaringan yang tidak stabil dan lemah, yang mana hal ini sering tidak bisa diselesaikan dengan komitmen dari bawah; masih ada kendala struktural yang sangat mendasar: kemiskinan keluarga. Anak-anak di SDN 4 Wanagiri datang dari mayoritas keluarga petani penggarap.

Mereka pada umumnya buruh tani. Mungkin tanah subur yang terhampar di lereng pegunungan di selatan Singaraja ini dikira milik orang tua siswa. Ternyata tidak. Mereka pada umumnya tengaga penggarap yang langsung diizinkan membangun rumah di tanah yang digarap oleh pemilik atau tuan. Hal itu terjadi bertahun-tahun. Ketika pekerjaan di tanah garapan tidak ada, mereka bekerja di luar desa, pada berbagai sektor. Karena itu, daya dukung keluarga untuk penyediaan fasilitas belajar daring, seperti HP, masih menjadi persoalan.

Perjuangan untuk bisa makan masih menjadi kebutuhan pertama. Perhatian orang tua memang dihabiskan untuk kerja menafkahi keluarga. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan masih bisa dinoomorduakan.

“Siswa kami tidak memiliki HP tersendiri. Satu HP digunakan bersama oleh satu keluarga.” kata Wayan Suda Adnyana, S.Ag., salah seorang guru. Hal ini terjadi karena keluarga tidak mampu membeli. Jika dirunut akan sampai kepada masalah lain yang lebih menukik, yakni biaya paket internet. Dengan demikian, sejatinya, praktis kegiatan belajar moda daring di sekolah ini tidak berjalan dengan baik.

Maka terhadap kondisi ini, dedikasi dan komitmen para guru di SDN 4 Wanagiri mengembangkan program kunjungan rumah. Guru merambah jalan menurun dan menanjak yang hanya disemen dalam bayangan cantik kota Singaraja di bawahnya. Semua itu demi anak-anak terkasih yang ketika terkendala teknologi dan kemiskinan, mereka tidak bisa diabaikan.

Berhadapan dengan kondisi yang terkendala teknologi dan kemiskinan struktural, Tim PkM Prodi Pendidikan Bahasa, Pascasarjana Undiksha, dapat melihat secara langsung persoalan besar pelajaran daring.

Sedikit tidak menjadi sebuah ironi antara tema PkM kali ini dengan persoalan yang ada. Namun demikian, tidak mengubah makna kegiatan dan semangat Tim. Justru keadaan yang memang sangat ironis ini menyadarkan kalangan kampus bahwa belajar daring tidak menjadi pilihan yang masuk akal bagi anak-anak SDN 4 Wanagiri.

Ironi lainnya hanya pantas diungkap dan bukan untuk digugat, yang mungkin hal biasa dalam kehidupan bermasyarakat. Di desa-desa tetangga Wanagiri kemajuan terjadi dengan sangat hebatnya. Pusat wisata Danau Buyan, Tamblingan, Beratan berkembang pesat dan ramai, desa wisata Munduk, berbagai agrowosata dikembangkan, dan di sekitar Wanagiri menjamur villa dan tempat-tempat ekowosata. Namun, mengapa hanya untuk jaringan internet bagi 54 siswa SDN 4 Wanagiri, sedemikian jauh dari harapan mereka. (*)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts