Rindik Tujuh Nada Buatan Gede Edi Dikirim ke Berbagai Negara

Singaraja, koranbuleleng.com| Cuaca di Buleleng siang ini terasa sejuk cocok rasanya dipakai untuk bermalas-malasan. Saya coba buka beberapa sosial media, beberapa lama menjelajahi media sosial Instagram. Ada hal yang menarik yang saya temukan yakni, akun Instagram de_percussion penjual alat kesenian musik dari bambu. Akun tersebut mempunyai jumlah pengikut hingga 18 ribu lebih. Saat saya telusuri lagi, ternyata Rindik beserta kesenian dari bambu itu di produksi di Desa Alasangker, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.

Yah daripada bermalas-malasan, mending saya coba cari tahu bagaimana proses pembuatannya. Mumpung tempatnya tidak jauh, hanya menghabiskan 30 menit dari rumah saya di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada. Langsung saja stater sepeda motor dan meluncur kesana.

- Advertisement -

Tidak susah mencari tempat produksinya, tepat di kiri jalan dari arah awal perbatasan Desa Jinengdalem-Desa Alasangker. Tepatnya di Toko Ud Tani Sari Unggul, Banjar Dinas Pendem, Desa Alasangker, Buleleng. Di belakang toko itu I Gede Edi Budiana, ciptakan alat musik tradisional Bali yakni Rindik. Bahkan rindik yang dibuat Edi tersebut dijual hingga sampai ke luar negeri.

Edi nampak sibuk dengan aktivitasnya membuat Rindik. Dia tampak memilah bambu yang akan digunakan untuk membuat rindik. Setelah bambu itu dipilah lantas, Edi langsung memotong bambu tersebut sesuai dengan ukuran rindik yang akan dibuat.

Setelah dipotong, bambu itu kembali dihilangkan setengahnya untuk dilakukan penyetelan nada. Biasanya Alat musik Rindik yang dibuat Edi berjumlah 11 hingga 13 buah bambu. Setiap potongan bambu akan memiliki ukuran yang berbeda dengan nada tangga nada yang berbeda pula. Setelah selesai semua proses itu bambu itu akan ditata dan dicat. Setelah itu Rindik kembali dites bunyinya dengan cara dipukul.

Dalam suasana santai, Edi menceritakan, untuk mengerjakan satu buah Rindik yang lengkap biasanya membutuhkan waktu kurang lebih dua hingga tiga minggu. Lama proses pengerjaan sesuai tingkat kesulitan atau hiasan tambahan yang akan digunakan pada Rindik. Bambu yang dipakai terlebih dahulu dicek dengan digetok untuk memastikan suaranya bagus.

- Advertisement -

Kata Edi, biasanya ada tiga jenis bambu yang sering digunakan yakni santong, hitam, dan tabah. Bambu hitam itu didatangkannya dari Pulau Jawa. “Karena disini hampir sulit dicari. Kalau bambu santong dan tabah, dipesan dari Buleleng. Untuk yang ukuran yang saya pakai 1 meter, 1.05 meter, dan yang paling besar 1,10 meter,” kata Edi.

Setelah semua Rindik yang dibuatnya selesai. Ia  memasarkan Rindik itu melalui akun media sosial Instagram de_percussion. Rindik buatannya dipatok dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp 900 ribu hingga Rp 5 juta. Tidak hanya pesanan dari wilayah Bali saja, Rindik buatan Edi juga dipesan hingga mancanegara.

“Terakhir, seminggu yang lalu, ada pesanan Rindik untuk kegiatan pertunjukan seni budaya Bali di Singapura. Sebelum pandemi juga ada yang pesan dari Australia, untuk pertunjukan seni di sana,”ucapnya.Selain itu, Pria kelahiran 27 Maret 1996 ini menuturkan, sebelum pandemi Covid-19. Biasanya rata-rata dalam selama sebulan Ia bisa mendapat pesanan Rindik hingga 7 buah. “Kalau masa pademi ini berpengaruh sekali, pesanan turun. Tapi saya tetap bersyukur masih ada yang memesan,”ujar Edi.

Sambil membuat Rindik, Edi kembali melanjutkan ceritanya. Ia mengaku keterampilan membuat Rindik itu dipelajari secara otodidak. Selain itu kegemarannya dengan Rindik sudah muncul sejak masih duduk di bangku SD. Kegemarannya itu muncul setelah dia mendengar gambelan rindik dari kaset radio. Melihat kegemarannya itu orang tuanya pun  lantas membelikan Rindik untuknya. Setelah mempelajari rindik secara otodidak, Edi pun terus mendalami kegemarannya bermain Rindik.

Sehingga, pada saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) ia mulai mencoba membuat rindik dengan mencari bambu bekas. Keisengan itu terus berlanjut hingga dia SMA dan kuliah. Di sela kesibukannya kuliah di STIKOM Bali, Edi mulai membuat Rindik untuk dijual. Kemudian, pada 2019 lalu Edi membuka usaha pembuatan Rindik yang diberi nama ‘De Percussion’.

Dari kegemarannya membuat Rindik itu, Ia juga berinovasi membuat Rindik yang sebelumnya hanya memiliki 5 nada, ditambah menjadi 7 nada. Rindik dengan tujuh nada itu tercipta, berawal dari kebosanannya terhadap ridik umum yang hanya memiliki 5 nada. Dia akhirnya terinspirasi membuat rindik dengan tujuh nada, seperti gamelan yang sering ada di Bali selatan.

Inovasi itu muncul juga karena Edi sebelumnya telah tinggal di Bali Selatan tepatnya di Kabupaten Gianyar. Selama 23 tahun ia sering memainkan gamelan khas Bali Selatan.

“Saya terinspirasi dari gambelan-gambelan yang memiliki 7 nada itu, terutama dengan yang ada di Bali selatan. Selama 23 tahun saya sering memainkan gamelan yang ada nada pemberonya. Hanya di gambelan aja yang ada nada pemberonya jadi saya terinspirasi membuat Rindik tujuh nada itu,” pungkasnya.

Tidak terasa sudah lima batang rokok saya hisap selama mengobrol dengan Edi. Waktu pun sudah semakin sore, terlihat langit sudah berubah menjadi gelap pertanda hujan. Saya pun berpamitan kepada Edi agar tidak keburu turun hujan.

Setelah berpamitan, saya pun langsung meluncur pulang dengan agak ngebut. Sambil mengemudikan motor saya berpikir, dari cerita yang dibagikan Edi itu. Dari kegemaran kita terhadap sesuatu bisa mendatangkan rejeki kepada kita, asalkan kita tekun melakukannya. (*)

Pewarta : Kadek Yoga Sariada

Editor    : I Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts