Catatan dari Arena PKB 2022 : Tidak Mungkin Berkesenian Saat Perut Lapar

Pesta Kesenian Bali dimulai pada tahun 1979, pencetusnya adalah gubernur Bali ke 6, almarhum Ida Bagus Mantra. Di awal adanya PKB, diadakan selama 2 bulan, dari tanggal 20 Juni 1979 sampai dengan 23 Agustus 1979. Dengan adanya pesta kesenian Bali, segala bentuk seni yang ada di pulau Bali menjadi berkembang.”

Demikianlah satu tulisan awal mengenai Pesta Kesenian Bali (PKB) yang dikutip dari internet. Sebelum PKB Pemerintah Daerah Bali telah menyelenggarakan Pesta Seni (1975-1978) di sekitar stadion Ngurah Rai Denpasar, selama seminggu dengan menampilkan berbagai jenis kesenian Bali. Tahun 1979 peristiwa kesenian ini diganti dengan Pesta Kesenian Bali (PKB), baru dikukuhkan dengan peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 07 Tahun 1986.

- Advertisement -

Esai ini membicarakan hubungan kesenian dengan base ekonomi, struktur dasar dalam Teori Marxis. Struktur basis masyarakat adalah ekonomi atau produksi materi. Pputaran roda produksi menentukan gerak sejarah (Materialisme Historis).

Seni maju, agung, megah, dan mendapat apresiasi jika didukung oleh base  ekonomi yang kuat. Mungkin benar jika seni adiluhung baru lahir di tanah peradaban yang surplus.

Pada masa ekonomi agraris, seni disponsori oleh puri karena satu alasan terpenting, memiliki kekuasan dan uang. Puri menyediakan panggung. Puri adalah akumulasi artistik pada masanya. Keindahan seni puri menjadi ukuran kejayaan atau masa emas seorang raja. Puri adalah pusat kreativitas. Hubungan para sangging dan undagi dengan puri sangat harmonis. Ngayah adalah satu prinsip kerja tulus untuk mendukung puri sebagai episentrum politik, yang juga dipraktikkan dalam dunia kesenian tradisional yang agraris.

Hubungan seni dan puri memiliki motif ekonomi karena seni puri berkembang menapki puncak-puncak tidak lepas dari penyayoman dan pembiayaan. Dana yang dikeluarkan oleh puri bukan untuk membayar honor para sangging, undagi, penabuh, atau penari tetapi untuk menyediakan bahan-bahan, seperti cat, kayu, paras, pahat, logam untuk membuat berbarung-barung gamelan, kulit sapi untuk ditatah menjadi wayang kulit atau kostum penari legong atau gambuh, kayu untuk bahan berbagai jenis tapel (rangda, godogan, barong, wayang wong), kertas, tinta cina, dan lain-lain. Ketersediaan bahan-bahan tersebut menjadi jaminan tetap membaranya api kreativitas para seniman. Makna ngayah dalam kesenian sangat jelas. Di sini ngayah bukan sama sekali kerja sosial seperti pengertian modern barat yang dianut. Ngayah adalah konsep kolaborasi dan sinergi untuk mencapai tujuan-tujuan materi dan ide dalam dikhotomi Bali. Ngayah adalah persembahan tenaga, kreativitas dalam seni sebagai modal nonbenda yang dimiliki para sangging dan undagi serta masyarakat kebanyakan. Dalam lingkup kerja seni skala prestise politik sebuah puri, tidak cukup hanya tenaga dan kreativitas karena seni membutuhkan bahan dan makanan. Di sinilah puri mengambil bagian.

- Advertisement -

Pada dunia pariwisata, seni mendapat tempat terhormat sebagai menu untuk menarik minat wisatawan dunia ke Bali. Industri ini berhasil membangun konsep tandingan terhadap ngayah. Tidak hanya pariwisata memang yang memukul paradigma ngayah namun juga nilai-nilai modern yang merasuki Bali. Terutama pariwisata dan juga pendidikan adalah kontainernya. Maka jagat kesenian Bali terguncang dan tergoda. Tumbuh gerakan massal untuk melakukan komodifikasi seni.

Puri mencatatkan semua cerita sukses membangun kesenian sebagai komunalisme yang prestisius. Pariwisata dan modernisasi melahirkan seniman-seniman kaya raya, terutama seniman seni rupa. Pariwisata dan modernisasi menggiring seni Bali ke wilayah baru: jual beli. Namun demikian, hal ini sama sekali bukan hal yang baru. Ketika pelukis Barat datang ke Bali semasa kolonial, seperti Bonet, Walter Spies, atau Le Mayeur, jual beli sudah ada tetapi belum merupakan gerakan massal dan kala itu ngayah yang bercokol kuat di benak seniman Bali sama sekali masih aman. Kala itu hanya segelintir seniman barat yang tinggal di Bali hidup mewah dengan rumah atau studio bak puri.

Pariwisata dan modernisasi Barat dinilai sebagai tandingan yang terlalu kuat bagi terjadinya dominansi baru yang menggerus agrarisme kesenian dan kebudayaan Bali. Maka di sinilah Budayawan Profesor Ida bagus Mantra mencetuskan PKB.

Sejak itu, seni Bali memasuki babak baru. Hanya satu-satunya provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan pembangunan kesenian. PKB sebagai wujud nyata pembangunan itu memang diterima oleh setiap pemimpinan sehingga tidak ada seorang gubernur pun setelah Gubernur Mantra yang coba-coba meniadakan PKB semasa pemerintahannya. Kesuksesan Bali membangun kesenian dan kebudayaan dapat dilihat pada kemegahan kesenian yang selalu dikagumi dunia dan oleh orang Bali sendiri pada setiap tahun perayaan PKB di Kota Denpasar.

Keberhasilan besar pembangunan kesenian lewat program PKB telah melahirkan puncak-puncak kesenian baru. Esai ini mencatat di antaranya: Adi Merdangga, Sendratari Epos Mahabharata, dan Gong Kebyar. Hal ini karena dukungan dan dana yang kuat. Dalam konteks ini, base ekonomi berperan penting dan sebaliknya, industri pariwisata coba-coba hendak jadikan kesenian Bali sebagai mesin produksi untuk menghasilkan kapital baru.

Adi Merdangga dan Sendratari Epos Mahabarata menunjukkan hubungan baik pemerintah dengan lembaga atau sekolah seni. Sementara itu, Gong Kebyar adalah kesuksesan daerah tingkat dua atau kota yang dipucuki oleh para bupati dan wali kota, dalam melestarikan, membangun, dan mengembangkan seni di dalam habitus agraris yang senantiasa bertransformasi sosial, hingga tetap dapat disaksikan sampai detik ini.

Sebagai puncak pembangunan kesenian, Sendratari dan Gong Kebyar  adalah episentrum setiap PKB. Demikian pula kesenian Adi Merdangga. Kesenian-kesenian lain yang tidak kalah pentingnya adalah mozaik kekayaan keanekaragaam hayati dalam ekosistem kesenian Bali yang sedang bertransformasi.

Transformasinya tampaknya semakin mengerucut. Jika pada era industri pariwisata ketika pariwisata Bali masih menghabiskan wisatawan generasi kolonial dan Perang Dunia II, dengan seabrek nostalgianya; kesenian Bali sampai di titik-titik persimpangan antara ngayah, persembahan, dan berdagang (komodifikasi). Di sini para ahli kesenian Bali dari berbagai universitas di dunia melakukan kajian sehingga melahirkan rumusan politik kesenian Bali yang mengapung: kesenian Bali dibagi menjadi dua, yakni wali dan profan.  Komodifikasi seni dikembangkan di wilayah profan. Wayang Wong Epos Ramayana dari Desa Tejakula (Buleleng) atau Drama Tari Barong pun bisa memasuki arena komodifikasi yang dibangun oleh para ahli jualan di industri pariwisata.

Transformasi lainnya adalah pernah terjadi debat yang berkepanjangan setiap PKB yang bepusat pada pertentangan tradisi dan modern. Seniman modern Bali kala itu, menuntut agar seni modern atau kontemporer mendapat panggung terhormatnya di arena Taman Budaya, Denpasar.

Dalam perkembangan hingga memasuki empat dekade lebih, PKB rupanya telah menemukan pola untuk menjawab perdebatan tersebut. Lewat beberapa pertunjukan Gong Kebyar PKB 2022 dan pada satu nomor pertunjukan teater yang paling megah di dunia, sendratari penutupan, jawaban tersebut tampak dalam karya.

PKB membuktikan bahwa, kesenian tidak membutuhkan perdebatan dan diskusi tetapi karya. Sebut saja persembahan repertoar Aji Darma yang diambil dari cerita Ni Diah Tantri atau di Jawa disebut Canda Pinggala, atau di India adalah Panca Tantra dari khazanah sastra non-epos yang masuk ke Nusantara; tampak sangat kuat aspek modernisasinya atau kebaruan kreativitasnya. Lihat saja cerita Aji Darma dalam pagelaran Gong Kebyar Duta Kota Denpasar ini. Cerita disajikan dengan struktur naratif film. Cerita Aji Darma yang disaksikan selama pagelaran adalah cerita yang disampaikan oleh seorang ayah kepada anaknya, sebagaimana dikenal di Bali dalam kegiatan mesatua.

Unsur-unsur pertunjukan ini, seperti kain layar, tata rias tokoh yang sudah jauh melewati pakem tradisi tata rias dan busana kesenian Bali, bloking, dan lain-lainnya lazim ditemukan dalam garapan teater modern di Bali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teater modern yang mencoba tetap eksis, di bawah hegemoni seni pertunjukan tradisi. Penggunaan instalasi air dan salurannya, yang terkait dengan kredo memulaiakan air sebagai sumber kehidupan yang ada dalam konsep politik Danu Kertih Bapak Gubernur Bali, serta penari yang memerankan tokoh merana (serangga atau hama padi) yang masuk langung ke air di kolam yang mengeliling depan panggung Ardha Candra, adalah dimensi kreativitas dinamik yang terjadi dalam pagelaran ini.

Repertoar-repertoar cerita tradisi yang kaya tetap mengalir namun kreativitas dan modernisasi ada di wilayah lain yang telah dibuktikan oleh garapan-garapan Gong Kebyar PKB dan Sendratrai penutupan.

Pada masa PKB sebelumnya seniman berdebat dan berseminar soal oposisi biner tradisi dan modern dan pembangunan dan pengukuhan hegemoni tradisionalisme yang kuat itu, yang sebatas wacana dan kini PKB telah sampai kepada jawaban yang berwujud karya yang mulia agung. Modernisasi dalam PKB bukan soal panggung tetapi soal integrasi kreatif sehingga kehadiran yang modern pada berbagai pagelaran Gong Kebyar yang sangat teaterikal Bali itu, nyaman dan tak disadari sebagai telah dimasuki oleh “barang asing”, sebagaimana sebutir pasir tersangkut di rumah tiram dan tumbuh jadi mutiara indah.

Semua itu dicapai jika seni dapat pengayoman dan biaya sehingga kreativitas seniman bergerak tiada tersendat, sebagaimana pandangan Teori Marxis bahwa seni tumbuh dan berkembang untuk menapaki keagungan dan kemuliaan sebagai akibat prestise sosialnya, membutuhkan daya dukung base ekonomi. Tidak mungkin berkesenian di saat perut lapar! (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., .Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts