Singaraja, koranbuleleng.com | Bunyi bel menyedot perhatian sejumlah murid di SD Negeri 1 Paket Agung, pagi itu. Mereka yang semula sedang berada di halaman sekolah sedang bercengkerama, langsung berhamburan menuju kelas masing-masing.
Di sekolah ini, melekat sejarah dari silsilah keturunan Bung Karno. Dulu masih dikenal sebagai sekolah rakyat. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo pernah mengajar di Sekolah ini. Soekemi muda sempat kepincut hati dengan sosok gadis cantik dari Bale Agung, Singaraja, Rai Srimben. Kedua sejoli ini menjalin hubungan kekasih walaupun pihak keluarga tidak menyetujui.
Kekuatan cinta membawa sejoli ini untuk bertekad membangun bidak rumah tangga. Namun, Ketika sejoli ini sudah menikah, mereka sudah tidak lagi tinggal di Singaraja, namun di Soekemi mengajar di sebuah sekolah di Surabaya. Raden Soekemi Sosrodihardjo tidak lagi mengajar di sekolah rakyat pertama di Bali itu.
Karena sejarahnya itu, seringkali sekolah ini dijadikan alasan sebagai penguat Singaraja sebagai kota Pendidikan.
Bagi-guru-guru di sekolah ini, menjadi tugas berat untuk menjaga catatan sejarah itu tetap melekat di benak masyarakat.
Para guru tetap mengajarkan kepada peserta didiknya untuk senantiasa melesetarikan sejarah terbentuknya sekolah itu. Bukti-bukti fisik bagian dari sejarah masa lalu disimpan secara baik. Salah satunya lemari buku bekas dan bangku peninggalan zaman kolonial yang masih digunakan dan kuat sampai sekarang.
Baca juga : Tim Saber Pungli Ingatkan Pelayan Publik Tidak Lakukan Pungutan Liar
Setiap upacara bendera dihari senin, inspektur upacara juga selalu mengingatkan anak didiknya tentang sejarah sekolah ini.
Menjaga sejarah sekolah memanglah penting, akan tetapi, sekolah juga harus tetap beradaptasi dengan perubahan era yang signifikan. “Kita tidak bisa diam saja, kan terus berkembang. Apalagi sekarang di zaman IT ini, kan ilmu terus berkembang, informasi cepat sekali, dan juga anak-anak kalau tidak diajarkan dari sekolah menggunakan media IT mereka bisa bablas mencari informasi” ucap Marniati, Kepala Sekolah SDN 1 Paket Agung.
Singaraja telah dikenal sebagai Kota Pendidikan, sejak lama. Di permukaan, julukan itu tampak kekal seiring bertumbuhnya sejumlah Lembaga Pendidikan dan perguruan tinggi. Bahkan, dua universitas negeri terbesar di Bali, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) dan Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan berdiri semakin kokoh di bumi Panji Sakti. Tentu ada pula perguruan tingga swasta lain, yang terus bertumbuh mengimbangi kota ini.
Menerawang dari sejarah, Singaraja juga paling awal menerima sentuhan modernisasi termasuk bidang Pendidikan. Sejumlah sekolah paling awal jauh sebelum Negara ini merdeka. Tengoklah, sekolah rakyat pertama di Bali ada di Singaraja.
Baca juga: Transisi Energi yang Adil, Bukan Sekedar Menurunkan Emisi Karbon
Berawal dari zaman kolonial, tepatnya tanggal 1 Agustus 1875 pemerintah hindia Belanda membangun sekolah pertama di Bali yang bernama Twede Klasse School, dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah pada masyarakat yakni buta huruf dan tidak bisa berhitung. Lalu pada tahun 1945, nama-nama sekolah yang ada berubah menjadi sekolah rakyat.
Sekolah Dasar Negeri 1 Paket Agung merupakan sekolah yang mengalami transisi nama tersebut. Sekolah ini berlokasi di Jalan Veteran, dekat pasar Buleleng. Sampai saat ini, sekolah ini masih ada. Sekolah ini mempunyai 358 siswa dan 17 guru termasuk kepala sekolah, yakni Ketut Marniati.
SMA Negeri Singaraja juga adalah sekolah menengah atas pertama di Bali. Sekolah ini berdiri sejak era penjajahan Belanda. Bangunannya secara fisik juga memanfaatkan gaya arsitektur Belanda. Sekolah ini telah banyak menamatkan orang-orang sukses dari Bali utara.
Keberadaan lembaga pendidikan yang hadir lebih awal dari Bali utara, mempengaruhi iklim intelektualitas masyarakat setempat. Singaraja pernah menjadi barometer pergerakan untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Semestinya, suasana pergerakan dimasa silam bisa terawat dimasa kini oleh manusia-manusia yang menghuni kota Singaraja di masa ini. Sehingga Julukan Kota Pendidikan benar-benar mempunyai ruh yang kuat merasuki jiwa dan pikiran penghuni kota ini.
Sejumlah kalangan menilai, julukan sebagai kota Pendidikan hanya sebatas simbol semata, belum kuat malah terkesan melemah.
Sastrawan dan Budayawan Bali yang tinggaldi Singaraja, Made Adnyana Ole mengutarakan untuk memperkuat kota ini sebagai kota Pendidikan sebenarnya pendidikan non-formal juga ikut andil dalam membangun iklim Pendidikan di sebuah kota.
Ilmu yang diberikan di luar sekolah atau kampus, dapat meningkatkan pemikiran pelajar serta menguatkan citra kota Pendidikan. Disinilah peran komunitas-komunitas yang ada dibutuhkan, serta saling bersinergi satu sama lain dalam menjalankan visi nya masing-masing.
Mahima, salah satu komunitas di Singaraja yang berfokus kepada Pendidikan Bahasa, seni, dan budaya menjadi rumah para pelajar, baik siswa maupun mahasiswa untuk mengenalkan dan mendalami seni menulis.
Baca juga : Timsel Dorong Keterwakilan Perempuan Seleksi Calon Anggota Bawaslu Bali
Ole, seorang sastrawan sekaligus pendiri Komunitas Mahima menyayangkan sikap pelajar di Singaraja, diera ini malah kurang greget membangun iklim Pendidikan itu. Dia mengingatkan bahwa tidak hanya sekolah dan kampus yang punya peran besar dalam memunculkan suasana Pendidikan yang baik dan bermanfaat bagi kota, namun diperlukan juga pemikiran serta sikap yang benar-benar menandakan bahwa Pendidikan itu ada dan hidup di sebuah kota.
Sudah semestinya, mahasiswa-mahasiswi di setelah keluar dari kampus, di sore harinya, mereka tidak lagi membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang mereka pelajari di sana. Pembahasan yang sering ia dengar hanyalah masalah pertemanan maupun percintaan. “Memang tidak ada yang salah, namun apakah hal tersebut mencerminkan iklim Pendidikan?.” terang Ole.
Jika memang disebut sebagai kota Pendidikan, maka iklim dari kota tersebut harus mencerminkan Pendidikan itu sendiri, kata Ole.
Sonia, ialah salah satu dosen di Universitas Pendidikan Ganesha. Ia juga menyebutkan bahwa kota Pendidikan semestinya wadah yang dapat merumuskan pikiran-pikiran manusia yang ada di dalamnya. “Saya yang memaknai itu adalah manusianya, yang berada di Singaraja itu sendiri. Pikiran-pikiran ini yang menginspirasi dan memotivasi untuk membangkitkan iklim Pendidikan di Singaraja. Semua terletak dari pemikiran manusianya sih,” ucapnya.
Pemikiran cemerlang nan berani sebenanrnya kekaldimasa lalu. Karakter orang Buleleng mampu mencipta dan menuangkan ide dalam bentuk karya.
Dulu, di Singaraja juga pernah tumbuh media massa. Keberadaan media massa dalambentuk tabloid dan majalah menjadi referensi dalam berfikir untuk pembacanya.
Salah satu indikator yang menjadikan Singaraja sebagai kota Pendidikan adalah munculnya pemikiran-pemikiran manusianya melalui kemunculan media massa, walaupun dari sudut kota yang kecil. Selama ini, kemunculan media massa seringkali lebih banyak di ibu kota. Namun, tidak bagi Singaraja yang sedari awal punya pergerakan tersendiri.
Dulu pernah lahir majalah seperti Bali Adjana dari tahun 1924-1930 dan Surya Kanta dari tahun 1925-1927. Dua media tersebut sudah merumuskan pikiran-pikiran manusia Singaraja pada zamannya. “Itu menandakan, walaupun dulu belum berjuluk kota Pendidikan, tetapi orang-orang di masa lalu itu banyak merumuskan hal-hal baik, semestinya bisa diikuti saat ini sehingga Singaraja benar-benar menjadi kota pendidikan yang bermanfaat,” kata Sonia.
Akademisi dari Undiksha, Made Pageh mengutarakan munculnya ide “Kota Pendidikan” adalah sebagai pembeda dengan daerah lainnya di Bali. Keterkaitan dengan Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan Sumber daya manusia yang ada. Namun menurut dia, fokus yang diambil oleh penguasa justru lebih ke arah pariwisata, dan ini terkesan terkesan seperti mengekor dengan apa yang terjadi di Bali Selatan. Jika dilakukan seperti itu hanya untuk mendapat “rembesan”, maka yang didapat pun hanya sekedar “rembesan” saja.
Made Pageh juga memandang wacana pembuatan program Taman Pendidikan Digital yang direncanakan Pemkab Buleleng saat ini . Dia mengganggap program itu seperti taman pintar di Yogyakarta, namun hanya menambah kata digital. “Kalau digital tidak perlu difokuskan seperti itu, kenapa? Karena dimanapun orang akan bisa membuat, asal misalnya teknologi penunjangnya mendukung, seperti sinyal internet.” tuturnya.
Dia menyarankan pembangunan prasarana juga harus mencerminkan rasa home, baik bagi warga lokal maupun pendatang yang belajar di Buleleng. Pemerintah juga harus menjamin keamanan pelajar di tempat tinggal atau di sekolah mereka.
Sebagai akademisi, Pageh mendukung penguatan singaraja sebagai Kota Pendidikan dan pemerintah bisa berani mengambil resiko untuk penguatan itu.
Sementara salah satu guru besar Undiksha, Prof.Dr.Sukadi, M.Pd., M.Ed,. mengaku terlibat dari awal tentang ide menjadikan Singaraja sebagai Kota Pendidikan.
Dalam sebuah podcast dari Balitbang Inovda Pemkab Buleleng, Sukadi menyatakan dirinya tidak melihat Singaraja sebagai kota Pendidikan hanya dari banyaknya Lembaga Pendidikan, tetapi justru iklimnya lebih cocok sebagai pendidikan baik secara historis dan budaya masyarakat.
“Pemerintah harus punya komitmen yang kuat untuk memberikan karakteristik.” ujar Sukadi.
Namun sampai saat ini, “magnet” Singaraja belum bisa menarik orang untuk mengenyam pendidikan ke Singaraja. Daya tariknya saat ini belum maksimal dibidang pendidikan.
Sukadi mengakui saat ini ruh kota Pendidikan ini tenggelam tapi sebenarnya pemerintah sedang berusaha untuk kembali menguatkan ruh tersebut.
“Saya melihat komitmen untuk membangun sumber daya manusia masih sangat terbatas dari pemerintah, kebanyakan orientasi ekonomi seperti pariwisata. Masalahnya pariwisata di Buleleng tidak sehebat di Bali selatan,” kata Sukadi.
Sukadi menegaskan Singaraja masih terbuka sekali untuk dikembangkan secara menyeluruh sebagai kota Pendidikan di Bali. (*)
Pewarta : Rizqy Yoga Ramadhan
Editor : I Putu Nova Anita Putra
Catatan; Hasil reportase diatas dilaksanakan oleh pewarta yang sedang menjalankan program magang sebagai jurnalis di media siber koranbuleleng.com.